Oleh : Pale pale palen
sejak itu, Asep sering bermain ke kebun teh untuk menjual tomat kepada seorang tengkulak tanpa ditemani ayahnya. lalu Asep menemani Lasmi memetik teh seharian. Bi Entin hanya senyam-senyum melihat mereka. Lasmi kini punya teman dan terlihat riang, dia tidak sendirian lagi.
dari Lasmi, Asep tau cara memetik teh dan memilah kualitasnya. kadang, Asep pulang membawa bakul berisi daun teh terbaik. Ayahnya sampai bingung Asep rajin menyeduh teh saat pagi dan malam.
“Ini teh dari saha?”
“Temen, Pa.”
“Nu geulis itu?”
“Iya, Pa.” Asep tersenyum malu.
"Kamu teh seneng sama dia? Siapa namanya?" tanya ayah Asep menikmati tehnya di teras.
Asep mengangguk. "Lasmi, Pa."
"Cantik namanya," sahut ibu Asep sembari menaruh kacang rebus.
"Ya udah kalo kamu seneng mah, Bapa ge seneng." Ayah Asep melirik istrinya, memberi isyarat.
usai pembicaraan singkat itu, orang tua Asep datang ke gubug Bi Entin dua hari kemudian. mereka membawa makanan. Lasmi ingat, hari itu sore dan hatinya berbunga-bunga kedatangan mereka. tapi Lasmi malu, dia duduk di belakang Bi Entin. menunduk.
Asep dan Lasmi curi-curi pandang.
Bi Entin pun senang kedatangan tamu yg dia tau kelak menjadi keluarga baru. selama ini, dia dan Lasmi tinggal berdua di tengah hidup yang pas-pasan. Bi Entin mendengar dari tengkulak bahwa ayah Asep adalah orang baik dan seorang petani tomat. dia pun percaya Asep anak yang baik.
Ayah Asep berkata, "Punten, Ceu. Saya Jajang, bapanya Asep. Ini Atna, istri saya. Kami datang ke sini teh pengen kenal sama Lasmi dan Eceu."
"Muhun, Kang, aya naon ieu teh?" tanya Bi Entin sambil menahan senyum.
Ayah Asep melirik Asep. "Anak saya katanya teh hoyong sama Lasmi."
Bi Entin lalu berkata kepada Lasmi yang daritadi hanya menunduk, "Kamu gimana, Mi?"
Lasmi berbisik. "Lasmi malu, Bi."
Ayah Asep dan istrinya tertawa melihat Lasmi. "Tah, Sep, ditolak kamu teh," kata ayahnya.
Asep sontak kaget dan bengong, dia menganggap dirinya memang ditolak.
Asep makin yakin dirinya ditolak karena Lasmi tidak kunjung memberi jawaban.
lalu Bi Entin bilang, "Lasmi juga seneng sama Asep. Dia suka nanya ke Bibi kalo Asep nggak ke sini dia ke mana ya, Bi? Apa lupa sama Lasmi?"
Lasmi menepuk pundak bibinya, seakan jangan membocorkan itu.
"Jadi gimana Lasmi? Seneng juga sama Asep?" tanya Atna.
Lasmi menatap Asep, lalu mengangguk. "Tapi Lasmi belum siap, Bu."
"Ya udah, dijalanin aja dulu," kata Jajang. "Eceu setuju Asep sama Lasmi?
"Saya mah gimana Lasmi aja, Kang." Bi Entin tersenyum.
Asep langsung semringah.
setelah itu, mereka makan bersama. orang tua Asep dan Bi Entin membiarkan kedua anak itu pergi ke kebun teh.
"Kalau aku ngikut kamu, Bi Entin gimana?" tanya Lasmi sambil meremas daun teh.
"Bibi juga boleh ikut. Nanti kamu diajarin nyinden sama si mamah," jawab Asep.
"Mama kamu sinden?" Lasmi takjub.
"Iyah, kamu mau jadi sinden?"
"Mau!" Lasmi bersemangat. "Tapi aku teh nggak bisa nembang."
"Tenang, si mamah pasti ajarin kamu. Aku kalo nggak ke sini teh begadang ikut mamah kerja."
"Oh gitu, kirain mah lupa sama aku." Lasmi tersipu malu.
beberapa bulan kemudian, Asep dan Lasmi menikah dengan sederhana. mereka tinggal di rumah Asep. Atna mengajari Lasmi nyinden setiap hari dan mengajaknya ke acara2. Lasmi pun mulai dikenal sebagai sinden cilik yang berbakat. sementara, Bi Entin membantu Jajang jadi petani tomat.
Atna bangga dengan Lasmi yang pamornya melesat, tim sindennya jadi sering dipanggil acara2 penting. Asep pun belajar bermain suling dari teman ibunya agar bisa mengiringi Lasmi.
sampai tiga tahun kemudian, mereka bisa membeli rumah. berkah rumah tangga keluarga kecil mereka.
namun sayang, tidak lama berselang, Bi Entin jatuh sakit karena sering kelelahan. Lasmi pun terpuruk. sebelum menutup mata, Bi Entin berpesan kepada mereka, "Sep, tolong jaga Lasmi. Dia bagaikan anak bibi sendiri. Jangan pernah tinggalin Lasmi yah, Sep. Bibi titip Lasmi."
pesan itu selalu diingat oleh Asep dan Lasmi. mereka berjanji selalu selalu bersama apa pun yang terjadi. sampai Lasmi tiada pun, dia ingin selalu bersama Asep. itulah kenapa Lasmi sedih Jajang menyarankan Asep menikah lagi.
di sisi lain, Lasmi tidak tega Asep sakit-sakitan.
"Yah, dipikirkan baik2, Sep. Bapa cuma pengen kamu bahagia. Khawatir kamu teh sendiri di sini," ucap Jajang.
"Insya Allah Asep kuat, Pa," balas Asep.
"Sep, punten juga ini mah. Kamu udah tau siapa nabrak Lasmi?" tanya Jajang hati-hati.
Asep menoleh kaget, begitu pula Lasmi.
Lasmi memancarkan aura merah. dendamnya terpercik.
"Siapa, Pa? Bapa teh kenal?" Asep berusaha menahan amarah dan duka yang seketika bergejolak.
"Dia supir pengangkut sayuran, Sep. dulu sering belanja di Bapa. Dia minta maaf, tapi nggak berani menghadap kamu," jawab Jajang.
"Ya Allah, Pa. Asep sebenarnya nggak dendam, cuma karena dia, Asep kehilangan Lasmi," ujar Asep lirih. "Boleh tau siapa namanya, Pa?"
Lasmi menunggu nama itu terucap. dia ingin segera membalas dendamnya.
"Udahlah, Sep. Ikhlas aja, nanti kamu malah tambah sakit." Jajang berdiri.
"Bukan Bapa mau nutupin, tapi dia teh punya anak kecil, Sep. Bapa nggak tega biar gimana pun dia tulang punggung. Dia minta maaf sama kamu, udah jangan dipikirin lagi.
Asep mengangguk paham. "Ya udah, makasih banyak ya, Pa."
Jajang pun pamit, Lasmi mengikutinya dari belakang.
Jajang merasakan hawa panas yang menyelimuti lehernya. perasaannya tidak enak, tapi dia terus berjalan. sekitar setengah jam dan melewati pasar, Jajang tiba di sebuah gubug kecil di pinggir sungai. di situ terparkir mobil.
Lasmi menyeringai, mobil itulah yang menabrak lasmi.
"Pa Jajang!" seru pria beraut pucat membuka pintu. "Punten, Pa, gimana ini? Jujur saya takut setiap hari. Saya sampe gabisa tidur."
"Udah, udah. Kita semua ikhlas, biar Lasmi juga tenang yah." Jajang menepuk2 pundak pria itu dengan suara bergetar.
Lasmi menatapnya penuh amarah.
“Tapi Pa, saya merasa bersalah seumur hidup. Setiap malam saya ngimpi wajah Teh Lasmi. Kang Asep maafin saya nggak yah? Saya dengar Teh Lasmi meninggal dalam keadaan mengandung. Apa yg harus saya lakukan?” Pria itu terisak.
“Sudah, insya Allah anak saya memaafkan,” ucap Jajang.
lalu anak kecil berumur 4 thn muncul. “Odong hayang cau,” katanya sambil menarik2 baju si ayah.
Jajang menatap iba. “Saya pamit dulu, assalamualaikum.”
“I-iya, Pa. Walaikumsalam.”
Jajang pun pergi.
“Hatur nuhun pisan, Pa. Saya nggak akan melupakan kebaikan Bapa," teriaknya.
setelahnya, pria itu pergi ke pasar, sedangkan si anak main ayunan yang terbuat dari kain di depan gubug.
Lasmi duduk di atas mobil, memandangi anak itu sambil tersenyum dan menggoyangkan kepalanya. tubuhnya mengeluarkan aura merah, matanya menyalang.
pembalasannya sudah dekat.
Lasmi selalu mengikuti anak itu. saat anak itu tidur dan main, Lasmi berada di dekatnya. ketika anak itu ke surau, Lasmi sejenak menjauh.
Lasmi menunggu momen yang tepat. dia ingin anak itu berakhir tragis agar ayahnya merasakan bagaimana penderitaan kehilangan seorang anak.
lambat laun, si anak merasakan kehadiran Lasmi. di suatu malam si anak sedang tertidur, kebetulan ibunya sedang mematikan tungku di dapur.
tiba-tiba terdengar suara teriakan Odong. “IBUUU!!!”
sang ibu pun kaget dan langsung berlari masuk ke gubug, memeriksa anaknya yang pucat.
“Ada apa?” Si ibu khawatir.
“Bu, Odong ngeliat.”
“Ngeliat apa?”
“Ada perempuan baju merah megang kepala Odong. Odong takut. Ibu jangan tinggalin Odong lagi,” katanya sambil menangis.
“Astagfirullah.” Ibunya memeluk si anak.
“Odong teh suka ngeliat, tapi nggak tau itu siapa.”
ibunya lantas menyuruh Odong kembali tidur sambil menenangkannya. suaminya sedang pergi ke kota untuk menemani majikan Londonya. malam itu, gubug mereka sangat hening dan mencekam.
di atas gubug, Lasmi melayang dan tertawa betapa dia menunggu waktu untuk mencelakai anak itu.
keesokan harinya, Odong bermain petak umpet dengan teman2nya. dia bersembunyi di balik pohon. perlahan, Odong merasa ada sesuatu di belakangnya. dia gemetar. ketika menoleh, Lasmi berada tepat di depan wajahnya.
Odong langsung pingsan seketika karena melihat wajah hancur Lasmi.
“Odong.. Odong!” teriak teman temannya. kemudian salah satu teman odong menemukannya tergeletak di belakang pohon. lalu teman temannya melaporkan kepada ibu Odong.
Odong pun dibopong oleh teman2nya ke rumah. ibunya berpikir Odong sedang kurang sehat, tapi perasaannya tidak enak.
"Dong, kamu teh kenapa?" tanya ibunya saat Odong siuman.
Odong hanya terdiam, dia terus terbayang wajah Lasmi yang seolah ingin menerkamnya. Odong pun hanya melamun sampai beberapa jam kemudian, ayahnya pulang.
"Dong, kamu sakit?"
Odong menggeleng dan tatapannya kosong.
"Kang punten, ada yang aku mau omongin," kata istrinya di luar gubug.
"Apa, Neng?"
"Udah beberapa hari Odong bilang lihat perempuan baju merah," jawab istrinya cemas.
"Ah paling mah liat apa kali si Odong, udah gausah dipikirin, Neng. Dia lagi sakit ajah kali kecapean."
dalam hatinya, si supir mulai ketakutan apakah yang dilihat Odong adalah Lasmi. sang supir mulai menerka2 kemungkinan dan menyesal. tapi dia tidak bisa melakukan apa2. dia ingin bertemu Asep untuk membicarakan hal ini sekaligus minta maaf, tapi dia pun takut Asep tersinggung.
dua hari kemudian, Lasmi menyimak pembicaraan mereka. istri si supir harus ke rumah saudaranya untuk membantu hajatan.
"Kamu ke sana aja, Neng. Biar aku bawa si Odong narik, bisi nggak ada yang jagain," kata si supir menenangkan.
Lasmi tersenyum. momen yang ditunggu2 akan tiba.
sorenya, ketika sang istri pamit, Odong ikut ayahnya menaiki mobil menuju pasar. Lasmi mengikuti mereka dari belakang. mereka melewati jalan di mana Lasmi ditabrak.
ayahnya berpesan, "Dong, jangan jauh dari Bapa ya."
Odong hanya mengangguk, entah kenapa dia mengamati jalan itu.
Odong samar-samar mendengar suara sinden menembang selama perjalanan. sampai mereka tiba di pasar, ayahnya berkata, "Odong mau ikut Bapa apa nunggu di mobil?"
"Di mobil..." Terdengar suara di telinga Odong.
"Di mobil, Pa," jawab Odong takut.
"Ya udah, jangan ke mana2 yah."
si supir pun mengusap rambut anaknya sebelum turun. Odong memandangi suasana pasar yang masih riuh. dia sesekali melihat ayahnya mondar-manrir dari lapak ke lapak pedagang membeli hasil bumi yang nantinya diantar ke rumah majikan.
satu jam, dua jam, Odong mulai bosan menunggu.
hari pun menggelap dan banyak lapak yang mulai tutup. Odong yang bosan akhirnya keluar dari mobil. dia berjalan di sekitar, mencari ayahnya. dia takut.
Lasmi yang sedari tadi uncang-uncang angge di salah satu atap lapak pedagang tertawa. inilah waktunya untuk membalas dendam.
"Odong ..."
Odong mendengar suara lembut itu, tapi dia tidak melihat di mana orangnya. Odong hanya mengikuti arah suara yang memanggil2nya itu.
perlahan, Odong melangkah menjauhi pasar, melewati pinggir sungai panjang yang arusnya lumayan besar.
Lasmi sudah menunggu di sana.
langkah Odong berhenti di depan jembatan kayu. dari jarak yang tidak terlalu jauh, seorang wanita berbaju merah berdiri dan melambaikan tangan ke arahnya.
Odong tampak bingung, tapi dia menghampirinya. dia berjalan pelan sambil terus mendengar namanya dipanggil-panggil.
Odong sedang memegang pembatas jembatan. ketika Lasmi ingin menuntaskan dendamnya dengan mendorong Odong, tiba-tiba dia mendengar suara pria.
"Sep, eta barudak keur naon?!"
"Sok atuh ditolongin! Bisi kecebur!
Lasmi terkejut melihat Asep dan Dadang berlari menghampiri Odong.
Lasmi terpaku dengan kemunculan sosok yang dicintainya yangangsung menarik tangan Odong. Dadang pun memeriksa keadaan Odong yang langsung menangis.
“Cep, kamu teh tersesat?” tanya Asep.
Odong terus menangis.
“Eleuh eleuh, si kasep ulah ceurik atuh..” Asep menenangkannya.
Lasmi mengurungkan niat untuk membalas dendamnya ketika Asep mengusap kepala Odong dengan penuh kasih sayang.
"Rumah kamu teh di mana?" tanya Asep pelan.
Odong hanya menunjuk ke arah pasar.
"Hayu kita ke sana ya, Cep." Asep berusaha membujuknya. Dadang pun mengangguk setuju.
"Sep, kamu bisa kan nganterin sendiri? Saya harus pulang, si Euis udah nunggu," kata Dadang sungkan. "Kemalaman kalau saya ikut."
Asep mengangguk dan memegang tangan Odong, "Hayuk, Cep."
mereka berpisah di jembatan itu. Lasmi hanya melihat punggung suami dan anak itu menjauh.
Lasmi menyaksikan cara Asep menggenggam tangan anak itu dan terlihat begitu mengasihinya. Lasmi membayangkan bagaimana jika Odong ialah anak mereka.
sambil berjalan, sesekali Asep melucu, membuat Odong yang tadinya menangis jadi tertawa. amarah di hati Lasmi pun perlahan mereda.
Lasmi terbang di atas mereka. seandainya dia dan anak yang dikandungnya tetap hidup, ini adalah momen terindah dalam hidupnya.
"Kapan2 ajak anak Akang main ke rumah aku yah," ucap Odong polos.
mendengarnya, Asep hanya mengangguk dan tersenyum tabah. Lasmi menangis tersedu-sedu.
sesampainya di pasar, Odong berlari ke arah ayahnya yang sedang tertunduk di bak mobil.
"Pa!" Odong berseru.
"Oh ini anaknya, Kang," Asep lega.
"E, eh, iya. Alhamdulilah anak saya ketemu. Saya pikir Odong teh hilang." Si supir gemetar mengetahui orang yang mengantar anaknya.
"Saya pamit dulu." Asep melambaikan tangan.
Si supir kelu. "Hatur nuhun pisan, Kang," ucapnya menahan tangis dan perasaan bersalah, lalu mengajak anaknya naik mobil.
Asep berjalan meninggalkan pasar sambil menatap langit. di sebelahnya, Lasmi seolah menggenggam tangan Asep.
Lasmi tersadar, jika dia menunaikan balas dendamnya, dia tidak akan pernah melihat potret sebuah kebersamaan yang dia dambakan.
"Mungkin anak kita teh laki laki kayak anak itu, yah, Neng? Akang selalu berdoa untuk Neng, yang tenang yah, Neng," batin Asep.
Lasmi pun tersenyum.
malam itu, Lasmi sangat bahagia
mendapatkan potret kebersamaan seandainya anak mereka masih hidup, meski dendam Lasmi tak terbalaskan.
Lasmi terus seolah menggenggam tangan Asep, seperti halnya ketika dulu dia baru hamil. Asep pun tidak merasakan panasnya aura Lasmi.
sejuk.
sesampainya di rumah, Asep mengganti baju dan bersiap tidur. Lasmi menjauh agar Asep yang terlihat sangat letih bisa beristirahat.
sebetulnya, Lasmi ingin sekali memeluk Asep semalaman, tapi Lasmi memilih hanya memandangi Asep dari luar jendela sampai suaminya benar2 terlelap.
saat Asep terlelap, Lasmi memasuki alam bawah sadarnya. Lasmi menghadirkan Asep mimpi keluarga kecil yang bahagia, yang mereka impikan.
di mimpi itu, Lasmi baru saja melahirkan anak laki-laki yang tampan. Lasmi sangat cantik sekali jadi ibu muda dan Asep jadi ayah yang kikuk.
... mengurus bayi. Lasmi tersenyum melihat Asep yang kegirangan sendiri menggendong anaknya.
saat anak mereka tertidur, Lasmi menyampaikan keresahannya. "Akang, Lasmi teh cinta sama Akang. Jangan pernah tinggalkan Lasmi ya, 'A," ucap Lasmi lirih.
Asep tertegun mendengarnya.
"Akang janji nggak akan pernah ninggalin Neng." Asep memeluk Lasmi, mengecup keningnya.
Lasmi menangis dan mengeratkan pelukannya. "Maafin kesalahan Neng. Maaf Neng nggak bisa nemenin Akang setelah ini. Akang sehat terus, yah."
di mimpi itu, Lasmi mengutarakan isi hatinya.
di mimpi yang singkat itu, Lasmi menyampaikan perasaannya. dia memandangi wajah Asep yang tertidur dan menitikkan air mata.
Lasmi sangat berharap semoga saja Asep mengetahui perasaan Lasmi yang begitu mencintainya, dan tidak ingin kehilangannya, bahkan saat Lasmi sudah tiada.
paginya, Asep bangun lalu memasak air di tungku, membuat kopi dan pisang kukus. dia menikmatinya di meja makan sambil mengingat mimpi semalam yang terasa sangat nyata.
kopinya pahit, begitu pula kerinduan Asep. tidak ada lagi wedang jahe buatan Lasmi untuk paginya yang sepi.
sedang termenung, tiba2 Asep merasa kakinya keram, merambat sakit yang menyiksa. Asep menahan sakitnya, dia menarik napas perlahan-lahan.
Lasmi datang dan kaget melihat Asep yang sedang menderita.
"Kang, yang kuat," ucap Lasmi meski dia sadar Asep tidak bisa mendengarnya.
saat rasa sakit di kakinya mereda, Asep sadar sakit yang dideritanya semakin parah. Asep perlahan2 beranjak dengan susah payah untuk mengambil air putih, sebelum siap2 bekerja.
Lasmi hanya memandangi Asep dengan tatapan sedih melihat sang suami sakit dan susah dalam kesendirian.
"Assalamualaikum, Sep."
itu suara Dadang, tim sinden Asep hari ini mengisi hajatan di kampung sebelah.
"Walaikumsalam, Dang. Sebentar!"
"Saya tunggu di sini aja, Sep. Yang lain udah nunggu di bawah."
Asep meraih sulingnya, dia melangkah ke depan rumah dengan kaki yang sakit.
mereka pun berjalan bersama tim sinden ke kampung sebelah untuk mengisi acara hajatan pagi itu. Lasmi pun mengikutinya dari jauh.
sesampainya, Asep mengedarkan pandangan sembari mengelap suling. hajatannya sangat meriah untuk pribumi. mungkin ini acara anak bangsawan, pikirnya.
"Ini teh Asep anaknya Pa Jajang?" tanya seorang wanita paruh baya yang mengenakan kebaya rapi.
"Eh, iya Bu muhun," jawab Asep kikuk. timnya masih mempersiapkan alat2.
"Ya ampun, gimana kabarnya, Sep?"
"Alhamdulilah baik, Bu." Asep tersenyum sopan sambil mengingat wanita itu.
"Bu Nani?" Asep akhirnya ingat, wanita itu teman baik ayahnya.
"Iya, mamahnya Nenden. Main atuh ka imah. Udah lama kamu gak main, ih. Gak kangen Nenden?" Bu Nani terkekeh.
"Iya Bu, insya Allah saya berkunjung," balas Asep, timnya sudah melirik2.
Bu Nani paham, dia pun melipir.
Asep dan tim pun mulai bermusik. Asep meniup suling dan Lasmi duduk di belakangnya.
"Akang, Neng teh kangen pisan nyinden bareng Akang lagi..." batin Lasmi.
namun, perhatian Lasmi teralihkan. dia melihat Bu Nani duduk di barisan paling depan bersama perempuan berwajah manis.
Lasmi terbang di depan mereka.
"Nenden itu ada Kang Asep, gak mau ketemu?" tanya Bu Nani.
"Memang ada Kang Asep?" Nenden kaget.
"Itu di pojok kanan. Sejak kamu kerja di kota kamu gak pernah lagi ketemu Kang Asep, kan? Sok geura nanti temuin."
"Iya," ucap Nenden semringah.
Lasmi kenal Nenden. dulu Asep pernah cerita bahwa Nenden adalah teman kecilnya dan orang tua mereka sempat 'mencomblangi'. tapi Asep tidak sreg dengan Nenden.
Lasmi pun pernah bertemu Nenden ketika kakaknya Nenden menikah, Lasmi hadir dengan asep untuk kondangan.
Lasmi resah.
setelah tim sinden selesai, Nenden langsung menemui Asep. Dadang sempat penasaran, tapi dia membiarkannya.
"Kang Asep, gimana kabarnya?" Nenden tersenyum lebar.
"Eh Nden, kamu di sini juga. Alhamdulillah baik." Asep tersenyum sopan.
"Iya, Kang. Nemenin Ibu."
Asep mengangguk.
"Oh, kamu baru pulang dari kota, Nden?"
"Nden udah gak kerja di kota lagi, Kang. Majikan Nden pulang ke Belanda," jawab Nenden.
Lasmi menatap mereka berdua dengan penuh keresahan. Lasmi takut Asep kelak bersama Nenden. di sisi lain, Lasmi tau Nenden adalah perempuan yang baik.
"Saya pamit dulu, Kang."
"Iya Nden, hati2 ya. Salam buat Ibu."
"Iya, Akang juga! Nanti mampir ya ke rumah," seru Nenden.
Asep terdiam sejenak sebelum menghampiri tim sinden yang bersiap pulang.
Dadang yang sedari memerhatikan pun bertanya, "Sep, siapa itu? Geulis juga."
"Temen kecil saya," jawab Asep.
"Atuh geulis pisan, Sep. Siapa namanya?"
"Nenden." Asep terlihat kurang nyaman. dia lanjut berjalan bersama rombongan tim.
Dadang meledek Asep soal rencana 'mendekati'. Lasmi yang mengikuti rombongan pun geram. Lasmi mendekati Dadang.
"Euy, Sep merinding siah." Dadang mengusap tengkuknya.
"Merinding kenapa, Dang? Saya biasa aja tuh. "
"Teuing, asa tiris juga, euy."
Lasmi tertawa kecil, dia sebetulnya tidak marah dengan Dadang, hanya kesal karena Dadang membahas soal Nenden di saat seperti ini.
Asep berpisah dengan tim, berjalan santai menuju rumahnya melewati jalan menanjak. Asep mengenang momen kala bersama Lasmi pulang menyinden. Di jalan ini mereka bergenggaman tangan dan membahas masa depan.
Tak terasa air mata Asep menetes, dia membatin, "Neng, Akang kangen. "
Lasmi yang berada di belakang Asep, ingin sekali memeluk dan menguatkannyanya, tapi lagi2 Lasmi tidak dapat berbuat apa2. Lasmi hanya seolah memeluk Asep, dia dapat merasakan betapa hati suaminya itu sangat sedih.
"Lasmi juga kangen, Akang," ucap Lasmi tepat di telinga Asep.
sesampainya di rumah, Asep langsung tidur. Lasmi pun tau diri untuk tidak berada di dekat Asep agar suaminya bisa tertidur lelap.
"Tidur yang nyenyak, A." Lasmi tersenyum saat Asep terpejam.
setelahnya, Lasmi duduk pohon dekat rumah. sambil uncang2 angge, dia teringat Odong.
saat malam, Lasmi ke rumah si supir yang menabraknya. dia melihat Odong sedang tidur di sebelah ibunya. Lasmi menatapnya dengan perasaan bersalah. kemudian, Lasmi duduk di sebelah Odong, mengusap2 kepala Odong lembut sambil tersenyum. Odong semakin terlelap tidurnya malam itu.
paginya Lasmi kembali ke rumah. dia kaget mendapati Nenden duduk di teras dengan Asep. tersuguh tape dan ubi kukus di meja.
"Kang, Nden turut berduka cita. Nden tau dari Ibu." Nenden sedih.
"Iya, Nden, nuhun ya." Asep tertunduk.
"Dimakan ya, Kang. Nden cuma mampir sebentar."
"Oh iya, Nden."
"Kalo akang gak keberatan, nanti malam Nden mau ajak Akang."
"Ke mana?"
"Anak majikan Nden nikah. Nden diundang, tapi Nden takut kalo sendiri, banyak Londo yang genit. Kalo akang mau itu juga," ucap Nenden sungkan.
Asep terdiam, mempertimbangkan ajakan itu.
"Yaudah nanti Akang temenin. Tapi Akang pake baju apa yah?"
"Ih si Akang, baju biasa aja atuh." Nenden tertawa kecil,
lalu Nenden pamit dengan senyuman.
Lasmi yang memandangi mereka merasa sangat bersedih. Lasmi menangis, takut sekali Asep akan melupakannya cepat atau lambat.
malam pun tiba. Nenden datang ke rumah Asep, dia sudah rapi dan siap berangkat. berbekal lampu corong yang dipegang Asep, Nenden menuntun menuju lokasi. mereka menyusuri pinggir hutan agar cepat sampai tanpa banyak bicara.
Lasmi mengikuti mereka dari belakang, menahan sedih.
sesampainya, Nenden menyerahkan kertas undangan di pintu masuk, lalu mengajak Asep ke dalam. pesta sangat meriah, berbagai makanan lezat tersaji, dan musik pun terdengar ceria. tapi, terlihat perbedaan strata sosial antara kaum Londo dan pribumi, kecuali bangsawan yang hadir.
Nenden menyusuri keramaian, lalu dia menghampiri meja teman2nya dengan senyum lebar.
"Nden! Kirain kamu teh gak dateng," seru temannya. "Wah, saha eta?"
sontak teman2nya yang lain lirik2an.
"Ini Kang Asep." Nenden mengenalkan Asep antusias.
"Saya Asep." Asep sedikit kikuk.
"Pacar kamu?" tanya temannya lagi.
"Bukan, Kang Asep anaknya teman ibu." Nenden menunduk malu.
"Oh, kirain, kasep pisan." Temannya cekikikan.
Lasmi yang berada di depan jendela hanya bisa meratapi mereka. perlahan, Lasmi mulai menerima bila Asep membuka hatinya untuk Nenden.
Asep mengobrol dgn teman2 Nenden sementara Nenden mengambil camilan.
"Nden, punten," bisik teman Nenden yg lain. "Eta Asep yg suka ngiringin musik hajatan ya?"
"Iya Kang, kenal Kang Asep?"
"Bukan kenal sih, tapi istrinya kecelakaan dekat rumah saya. Makanya kaya pernah lihat."
"Oh iya, betul Kang," balas Nenden.
"Seinget saya ada setahun yang lalu. Meni karunya yah, dilihat mah bageur orangnya."
Nenden mengangguk, dia melirik Asep yang sedang menanggapi teman2nya. Nenden merasa iba. ada rasa ingin menemani Asep agar pria itu tidak merasa kesepian.
Lasmi dapat merasakan kehendak itu, tapi Nenden menggeleng. "Aduh naon sih," batinnya, lalu memanggil Asep. "Kang Asep, sini!"
"Iya Nden, kamu udah mau pulang?"
"Em, sebenernya belum, tapi kita pulang aja deh kayanya mah acaranya sampai malam."
"Oh, yaudah atuh." Asep menurut.
Nenden pun berpamitan kepada teman2nya, Asep hanya tersenyum sopan.
sekeluarnya dari acara, mereka kembali menyusuri hutan, Lasmi pun mengikuti.
"Kang, kalau butuh sesuatu, bilang Nden yah." Nenden memecah keheningan.
"Eh iya, tapi Akang belum butuh apa2 kok," balas Asep.
Nenden perlahan2 memegang lengan Asep. "Nenden takut jatuh, Kang."
Asep sempat refleks menarik lengannya. "Oh iya, hati2 atuh," jawab Asep datar, membiarkan lengannya dipegang.
Lasmi memperhatikan gerak-gerik Nenden yg seakan ingin memanjangkan obrolan di tengah keheningan.
Asep merasa kakinya kesemutan, langkahnya terhuyung. Nenden menyadarinya. "Kenapa, Kang?"
"Nggak apa2, Nden." Asep menggeleng.
sesampainya di rumah Nenden, Bu Nani menyambutnya. "Hatur nuhun, Sep. Masuk dulu atuh."
"Sami2, Bu. Saya langsung pulang aja," Asep tersenyum sopan.
"Nden, ambilin Asep minum," perintah Bu Nani.
"Nggak usah, Bu. Udah malam soalnya." Asep sungkan.
Nenden dan ibunya saling memandang. "Ya udah hati2, Sep. Nanti mampir yah ke sini."
"Hati2, Kang." Nenden menatap Asep khawatir.
"Hatur nuhun, assalamualikum." Asep pun pergi.
Asep kembali menyusuri jalan hutan yang licin. pandangan Asep mengabur, tiba2 Asep terpeleset dan terguling, kakinya sobek terkena akar pohon.
"Akang!" teriak Lasmi, dia ingin sekali menolong, tapi tidak bisa berbuat apa2. Lasmi hanya menangis, lalu pergi ke rumah Nenden.
Nenden yg sedang termenung di bale rumah mencium bau anyir, sebab Lasmi di sampingnya, berharap Nenden melihat ke arah hutan yg tidak jauh dari rumahnya.
"Ih, bau apa yah ini." Nenden mual, tidak enak hati.
saat Nenden ingin masuk, matanya menangkap setitik cahaya dari hutan.
Nenden pun berjalan menuju hutan, perasaanya tak karuan, takut bila cahaya itu berasal dari lampu corong milik Asep. Nenden mendekati cahaya itu dan benar lampu corong tergeletak.
Nenden meraihnya, menerangi ke segala arah, lalu melihat Asep memegangi kakinya. "Ya Allah, Kang!"
Nenden turun ke bawah dgn hati2. Asep meringis kesakitan. Nenden membopong Asep sambil memegang lampu corong.
"Akang nggak apa2, Nden," ucap Asep lemah.
"Nggak apa2 gimana? Akang lagi sakit begini!"
Nenden membopong Asep pelan2 ke rumahnya. dia berteriak, "Bu, tolong!"
Bu Nani lantas keluar. dia kaget melihat Nenden membopong Asep yang kakinya berlumuran darah. "Ya Allah, Sep! Sebentar, ibu ambil obat dulu."
"Sabar ya Kang, Nenden ada obat dari Bapak, dulu kerja sama orang Cina," ucap Nenden setelah mendudukkan Asep di bale.
Asep mengangguk.
Bu Nani membersihkan kaki Asep, lalu Nenden mengoleskan obat. Asep sampai berteriak saking perih dan kramnya. Lasmi hanya menangis.
"Kang, kuat ya, Kang. Maaf Neng nggak bisa bantu," ucap Lasmi.
Nenden menatap Asep sedih. "Kang, malam ini tidur di sini aja yah. Jangan nolak."
Asep menurut, tidak mungkin juga dia memaksakan pulang. Lasmi memperhatikan Nenden menyiapkan kamarnya untuk Asep. lalu, Lasmi duduk di samping Asep, seolah menyentuh pundaknya, berharap dapat menenangkan suaminya. Asep hanya merasakan hawa dingin, tapi tidak menghiraukannya.
Lasmi hanya pasrah melihat Asep dibopong Nenden ke kamar, lalu direbahkan.
"Kang, Nden di kamar Ibu yah. Kalau ada apa2 panggil aja. Nden pasti bangun."
"Iya, Nden. Hatur nuhun, maaf Akang merepotkan," ucap Asep.
"Nggak kok. Akang istirahat yah." Nenden pun keluar dari kamar.
(sarden, dendeng, gorden, ngeden, apa lagi nih sebutan buat si Nenden
paginya, sebuah andong sudah siap mengantar Asep pulang. Bu Nani pun memberikan kain berisi bahan makanan. Asep makin tidak enak.
"Bu, Nden, maaf saya jadi merepotkan."
"Nggak apa2, Sep. Bapa kamu teh juga banyak bantu Ibu," balas Bu Nani. "Nden temenin Asep sampai rumah, yah."
"Nggak usah, Bu."
"Nggak apa2, Nden sekalian bantu beresin rumah. Hayuk!" Nenden langsung membopong Asep naik andong.
Asep tidak bisa mencegahnya. Bu Nani melambaikan tangan, andong pun berjalan pelan.
Asep dan Nenden saling terdiam, sesekali mereka beradu tatap lalu menunduk.
Lasmi yang mengikuti mereka cuma bisa pasrah. berat baginya jika harus mengikhlaskan Asep dengan Nenden. namun, Lasmi pun tidak tega jika Asep yang sakitnya sudah separah ini hidup sendirian.
Lasmi mulai berpikir untuk membiarkan Asep memutuskan pilihan terbaiknya kelak.
sesampainya di rumah Asep, Nenden membopongnya duduk di ruang tamu.
"Punten yah, Kang, Nden izin beresin rumah Akang," ujar Nenden.
"Nggak usah, biar Akang aja nanti."
"Nggak apa2, Kang. Biar rumahnya bersih, kalo kotor gini bisi Akang makin sakit."
Asep akhirnya mengangguk.
Nenden lalu merebus singkong dan air sementara Asep beristirahat. saat menyapu kamar Asep, Nenden termenung memandangi foto pernikahan Asep dan Lasmi di nakas. bahkan di samping bantal, ada selembar foto Lasmi.
Nenden tersenyum, berusaha menerima bila Asep belum melupakan Lasmi.
"Nden..." panggil Asep.
karena tak kunjung dijawab, Asep berjalan tergopoh2 ke kamar. dia menyingkap tirai lain, lalu mendapati Nenden sedang memegang foto Lasmi.
"Kalau saya boleh cerita, saya mencintai Lasmi selamanya, Nden," ucap Asep.
Nenden menoleh, lalu mengangguk paham.
Lasmi yang sedari tadi memandangi Nenden dari jendela kamar menangis haru. Lasmi tidak pernah menyangka bahwa ucapan itu akan didengarnya. padahal, Lasmi sudah mulai mengikhlaskan Asep jika kelak bersama Nenden.
Lasmi sadar dia mencintai orang yang tepat, yaitu cinta pertamanya.
"Iya, Kang. Saya tau." Nenden kembali foto Lasmi dengan raut tabah.
"Maaf ya, Nden," ujar Asep tulus.
Nenden lanjut membereskan rumah sementara Asep duduk di kasur, memandangi foto Lasmi. Lasmi pun seolah menyandarkan kepalanya di bahu Asep. suaminya itu mengusap pelan fotonya.
Lasmi lalu mengamati Nenden yang mencuci baju Asep di belakang.
"Seenggaknya saya bisa bantu Akang," ucap Nenden kepada dirinya sendiri sembari mengelap keringat.
mendengarnya, Lasmi jadi terketuk. dia pun seolah mengusap punggung Nenden.
"Hatur nuhun yah, Nden," bisik Lasmi.
setelah menjemur pakaian, Nenden hendak pamit pulang. namun, dia melihat Asep sedang tidur di kamarnya. Nenden tidak tega membangunkan. dia hanya meletakkan segelas air putih di nakas, lalu keluar rumah untuk naik andong di pengkolan.
Lasmi mengiri perjalanan Nenden pulang.
"Meni kusut pisan, Neng," tegur kusir andong di tengah perjalanan.
"Eh, teu nanaon, Pa." Nenden tersenyum, lalu hening.
Lasmi menatap Nenden yang terdiam, terlihat jelas raut Nenden yang lesu. perlahan, Lasmi pun ikhlas jika Nenden memang ingin merawat Asep.
sampai di rumah, Bu Nani langsung bertanya, "Nden, Asep kumaha keadaannya?"
"Udah mendingan, Bu," jawab Nenden pelan.
"Kamu teh kenapa? Lesu pisan."
"Gapapa, Bu. Nden mau istirahat dulu yah." Nenden masuk ke kamarnya, Lasmi pun ikut masuk.
Bu Nani hanya memandang heran.
Nenden meratapi langit2 kamar, dia mengingat masa kecil kala dia dan Asep sering bersama.
keluarga mereka sangat dekat. dulu, Nenden sering menemani Asep memanen tomat dan bermain. setiap sore, Nenden ke rumah Asep untuk mengantarkan pisang dan ubi rebus, lalu pergi ke surau.
suatu hari, Nenden diajak ayahnya, Ageng, bekerja di Batavia. Nenden awalnya menolak, tapi dia berusaha untuk berbakti kepada sang Ayah.
Ageng bekerja untuk usaha keluarga Tionghoa, majikannya meminta Ageng mencarikan pembantu untuk menjaga anak rekan bisnis Londo-nya di sana.
Ageng dijanjikan komisi besar jika dia bisa mencarikan pengasuh yg dapat dipercaya. Ageng lantas mengajak anaknya sendiri. Nenden sangat berat meninggalkan ibunya dan harus jauh dengan Asep. terlebih, Nenden juga dekat dengan Bu Atna.
Lasmi terkejut mendapat gambaran itu.
Lasmi jadi ingat awal pernikahannya. Asep kadang menceritakan Nenden itu, tapi tidak banyak. pun saat mereka menikah, Nenden tidak hadir. ketika mereka hadir di pernikahan kakaknya Nenden, Asep hanya mengenalkan Lasmi.
Lasmi tidak menyangka Asep dan Nenden ternyaya sangat dekat.
"Kang, Nden mau pamit," ucap Nenden kepada Asep sore itu di kebun tomat.
"Nden mau ke mana?"
"Kerja ke kota, ikut Bapa."
Asep terdiam. "Kok Nden gak bilang dari jauh hari?"
"Maaf yah. Nden bingung bilangnya." Nenden tertunduk.
Lasmi turut bersedih melihat kilas balik itu.
Lasmi bisa merasakan batin Nenden yang sedih mengenang masa lalunya. Nenden yang merasa hari itu bukanlah perpisahan sementara, melainkan selamanya. Asep yang tidak mencegah kepergiannya, dan Nenden yang tidak punya pilihan untuk ikut ayahnya ke Batavia untuk bekerja.
satu tahun kemudian, saat Nenden sedang menyisirkan rambut anak majikannya, dia dipanggil ke bawah oleh penjaga rumah.
Nenden minta izin untuk turun, lalu dibawah, dia diberikan secarik surat. Nenden kegirangan membaca nama pengirimnya.
"Pasti Kang Asep kangen Nden!" batinnya.
pelan2, Nenden membaca isi surat. dia tertawa saat isi surat dari Asep mengingatkan hari2nya dahulu.
namun di akhir surat, Nenden merasa dunianya seakan runtuh membaca kabar Asep akan menikah dengan seorang perempuan bernama Lasmi minggu depan.
Nenden pun turut diundang.
tangisannya pecah sore itu. Nenden pun pulang ke rumah, tapi dia tidak mau ke pernikahan Asep dan Lasmi. Bu Nani sempat membujuk, tapi Nenden bersikukuh hanya menitipkan salam kepada mereka. Bu Nani paham yg dirasakan anaknya.
Nenden mendoakan yang terbaik untuk Asep dan Lasmi.
sejak saat itulah Nenden menjauh dari Asep meski terus mengingatnya. Nenden kembali ke kota dan bekerja bertahun2 kemudian, sampai majikannya pulang ke Belanda dan Nenden kembali bertemu Asep di acara hajatan.
tadinya Nenden ragu, tapi ibunya memberitau kabar duka soal Lasmi.
Nenden pun awalnya ingin pelan2 mencoba lagi, tapi dia ingat foto Lasmi di kamar Asep. Nenden tau Asep masih sangat mencintai Lasmi. Nenden sadar diri bahwa Asep tidak memiliki perasaan apa pun kepadanya.
Nenden berusaha merelakan harapan dan patah hatinya untuk kedua kalinya.
Nani masuk ke kamar. "Nden, kamu sakit?"
Nenden membalikkan badan, memunggungi ibunya.
"Ibu teh tau kamu masih sayang sama Asep. Kalo kamu memang mau menjaga Asep, sok aja."
Nenden tidak menjawab. Lasmi pun hanya bergeming, tapi dalam hatinya, dia mengizinkan Nenden.
sorenya, Lasmi kembali ke rumah. ada Dadang bertamu, membantu Asep mengobati lukanya.
"Ini teh obat dari perempuan itu bukan?"
"Iya, Dang."
"Mahal ini, Sep. Dia baik pisan sama kamu."
"Tau dari mana kamu?"
"Saya pernah ke kota, ke toko obat Cina. di sana teh obatnya mahal2."
Asep terdiam. Dadang seolah dapat menebak pikiran Asep. "Gini Sep, pendapat saya yah, mending kamu nikah sama dia biar ada yang ngurus. Pas saya lihat dia ge, kelihatannya dia tulus sama kamu."
"Dia teman kecil saya, Dang."
"Ya karena teman kamu, dia jauh lebih mengerti kamu."
"Saya belum siap, Dang," balas Asep.
Dadang tertawa. "Ya pelan2 aja atuh. Seenggaknya kamu ada yang ngurus, bisa kerja lagi. Emang kamu mau di rumah terus dengan kondisi begini? Saya yakin Lasmi juga pengen kamu bahagia."
Asep terdiam merenungi saran itu. Lasmi pun termenung.
"Kamu menikah lagi bukan berarti melupakan Lasmi, Sep. Saya tau kamu mencintai dia, tapi ini soal hidup kamu ke depan. Sebagai sahabat, saya dukung yang terbaik," jelas Dadang.
Asep mengangguk. Lasmi terbang ke pohon depan rumah, tidak sanggup mendengar percakapan mereka lagi.
Lasmi paham dengan perasaan Asep. Asep ingin sekali sembuh dan bisa bekerja lagi, tapi tidak mau menduakan cinta Lasmi. Nenden pun memang perempuan yang sangat baik dan menyayangi Asep.
Lasmi akhirnya hanya bisa pasrah. Lasmi hanya ingin Asep tidak melupakannya. hanya itu.
bagi Lasmi, melihat Asep bahagia dan sehat tentu kebahagiaannya juga. dengan menikahi Nenden, kemungkinan besar Asep bisa memiliki keturunan yang didambakan.
Lasmi sadar sudah tidak lagi bisa memiliki Aseo seutuhnya. kehadiran Lasmi pun tidak bisa banyak berbuat apa2 untuk Asep.
hari itu, Lasmi duduk di pohon depan rumah sampai Dadang pulang, barulah dia masuk ke rumah.
Asep sudah berbaring di kamar. luka akibat jatuh di hutan memperparah penyakitnya, lukanya belum kering dan mulai bernanah.
Lasmi makin khawatir, Asep seperti orang yang akan lumpuh.
Asep meneguk air putih di nakas, lalu meraih foto pernikahan mereka. Lasmi pun duduk di samping Asep.
"Neng, seandainya yang sekarang di sisi Akang itu Neng." Asep menghela napas sesak.
"Neng selalu ada di sini, 'A. seandainya Akang tau Neng di sisi Akang," ucap Lasmi pelan.
malamnya, Asep diserang demam. dia tidur sambil menahan gigil dan mengigau memanggil nama Lasmi.
Lasmi hanya bisa di sampingnya sambil menangis, berharap tidak terjadi hal yang lebih buruk dari ini. Lasmi berharap Nenden atau Dadang datang menolong. Lasmi sangat ketakutan.
Lasmi sedikit lega ketika Asep akhirnya tertidur. paginya, Dadang datang ke rumah dan langsung menyibak tirai kain kamar. "Eleuh2, belum bangun si Asep teh."
Dadang lalu merebus singkong di dapur. tidak lama kemudian, terdengar suara seseorang.
"Assalamualaikum, Kang Asep..."
Dadang pun melongok, lalu membukakan pintu. "Eh, punten saha ieu?"
"Punten, saya Nendeng, Kang."
"Oh, iya masuk-masuk atuh mangga."
Nenden tersenyum kikuk, lalu dia tampak bingung ingin bersikap seperti apa. Lasmi lega mereka berdua datang, setidaknya, Asep tidak sendirian.
"Punten, Nenden teh temennya Asep atau siapanya yah? Saya belum pernah kenal." Dadang terkekeh.
"Eeee, saya teh temen kecilna Kang Asep, Kang."
"Oh ..." Dadang manggut2. "Si Asep teh masih tidur, euy."
"Oh gitu, Kang. Kalau gitu saya pulang aja, takut ganggu." Nenden sungkan.
"Eh gak apa2 di sini aja. Sekalian tungguin Asep bangun. Saya juga lagi masak," kata Dadang. "Sini saya bantuin naro barangnya."
"Oh iya, Kang." Nenden menyerahkan kain berisi bahan makanan. "Saya juga bantu deh."
mereka pun ke dapur, memasak makanan pagi untuk Asep.
"Punten, Neng, Asep teh sebelumnya belum cerita ke saya soal temen kecil," ucap Dadang.
Nenden tersenyum malu. "Dulu Ibu saya dekat sama almarhum ibunya Asep, Kang. Kami jadi akrab."
"Oh, kirain mah..." Dadang tertawa.
"Kenapa, Kang, kok ketawa?"
"Engga2." Dadang menggeleng.
"Sebenernya saya teh kasian sama si Asep, Neng. Udah mah dia sakit, sekarang nggak ada yang ngurus," kata Dadang. "Gimana yah, namanya juga temen suka nggak tega."
Nenden terdiam sejenak. "Saya juga, Kang," balasnya lirih.
lalu suasana hening, hanya terdengar suara rebusan air.
"Neng punten ini mah yah, kita baru kenal. Tapi kalau Neng memang berkenan sama Asep, sebagai sahabatnya mah saya setuju. Dengan adanya kamu, Asep jadi ada yang jagain," ucap Dadang tiba2.
Nenden kaget mendengarnya, begitu pula Lasmi. dia menunduk, tidak tau harus bagaimana.
"Kang, punten, saya mau isi air dulu." Nenden hendak beranjak, tapi tatapannya berpapasan dengan Asep yang baru keluar dari kamar.
"Eh, udah bangun, Kang," kata Nenden
"Iyah..."
Dadang juga melirik Asep. "Sep, ini makanan dari istri saya sama Nenden, dimakan yah. Saya duluan."
Dadang tersenyum, lalu meninggalkan Asep dan Nenden berdua. hening sejenak.
"Gimana, Kang, udah mendingan?" tanya Nenden.
"Udah, alhamdulillah. Kamu dari kapan? Kok ada Dadang?"
"Tadi enggak sengaja ketemu, Kang Dadang udah di rumah Akang duluan."
Asep hanya mengangguk.
"Tadi ibu titip salam cepet sehat, Kang."
"Iyah, Nden, hatur nuhun. Salam juga buat ibu."
"Iya, Kang. Ibu juga bilang katanya kalo boleh Nden di sini dulu temenin Akang," kata Nenden hati2.
"Sok aja kalau kamu mau di sini mah." Asep tersenyum.
Lasmi hanya memandangi mereka.
setelahnya, Asep menyantap makan paginya di meja. Nenden cuma menemani.
"Kamu nggak makan juga, Nden?"
"Engga, Kang. Nden udah makan di rumah. Oh iya, Kang Asep deket banget yah sama Kang Dadang?"
"Iyah, dia sahabat Akang sejak Akang kerja. Kalau Kang Dadang megang rebab."
"Kang..."
"Iya, Nden?"
"Maafin Nden yah."
"Maafin apa?"
"Sebenarnya, dulu waktu Nden mau kerja ke kota, Nden nggak mau."
"Maksudnya, Nden?" Asep bingung.
Nenden gugup. "Nden kepikiran dulu Nden pergi tiba2 terus nggak ada kabar. Nden takut Akang ada marah sama Nden."
"Marah kenapa, Nden?"
Nenden menghela napas. "Karena dulu Nden kaget Akang tiba2 ngirimin surat. Di situ Nden nyesel karena Nden pergi."
Asep bergeming. Lasmi paham maksud dari ucapan Nenden yang berarti pengakuan atas perasaannya. Lasmi sudah menyerahkan segalanya kepada Asep.
"Akang nggak marah, Nden. Kamu nggak perlu gitu. Kamu mah udah kaya adik Akang sendiri."
"Iya, Kang, tapi sampai sekarang pun perasaan Nden tetap ke Akang." Nenden menunduk, tidak berani menatapnya.
"Tapi, hati Akang cuma untuk Lasmi," balas Asep pelan. "Maaf ya, Nden."
"Iya, Nden cuma pengen Akang tau perasaan Nden selama ini. Nden pengen di sisi Akang, Nden nggak bisa melihat Akang begini. Dulu Akang selalu ngejaga Nden," jelas Nenden, dia akhirnya menangis.
Asep mengelap air mata Nenden lembut. Lasmi pun seolah mengusap punggung Nenden.
sejak saat itu, Nenden merawat Asep sampai kurang lebih empat tahun lamanya. Bu Nani sempat meminta Jajang membujuk Asep agar menikahi Nenden. tapi, Asep teguh pada pilihannya untuk setia kepada Lasmi.
Asep tidak kunjung sembuh, kesehatannya kian menurun sampai dia menutup mata
hari itu sore, Asep sudah terbaring lemah tak berdaya. Nenden dan Lasmi menangis saat Asep bilang, "Maafin kesalahan Akang selama ini yah, Nden. Maafin Akang banyak ngerepotin kamu dan Ibu."
lalu Asep menggenggam tangan Nenden sebelum terpejam dan mengembuskan nafas terakhirnya.
jujur, gue nggak sanggup menarasikan penderitaan Asep yang nahan penyakitnya. Lasmi bilang, Nenden sabar dan telaten banget ngerawat Asep hari demi hari, kadang Dadang jg ikut bantu.
Nenden udah nyariin obat buat Asep ke man2, tapi Asep nggak sembuh2. sudah takdirnya begitu. :')
Asep dimakamkan di sebelah Lasmi, tapi Lasmi bercerita dia tidak bertemu Asep. Lasmi sangat sedih, tapi ini adalah takdir Tuhan. setidaknya, Lasmi tau Asep mencintainya hingga akhir hayat.
Lasmi menempati rumah mereka yang kosong. kadang, dia menemani Nenden yang hari2nya muram.
singkat cerita, Nenden dinikahi seorang juragan tanah tiga tahun kemudian atas perjodohan ibunya, karena Bu Nani takut sekali Nenden tidak punya pasangan hidup.
Lasmi tau, Nenden tidak mencintai pria itu. setiap akhir pekan, Nenden selalu ziarah ke makam Asep dan Lasmi.
dari pernikahan itu, Nenden dikaruniai seorang anak laki2 yang dinamai Sajati, dipanggil Ajat. saat Nenden mengandung Ajat, Lasmi menjaganya dari jauh agar Nenden tidak diganggu oleh bangsa sejenisnya.
Lasmi sering memperhatikan Nenden mengelus2 perutnya yang makin membesar.
ketika Ajat lahir, Lasmi bahagia. dia menjaga Ajat saat tidur di ayunan kain, menenangkannya kala menangis, karena Nenden sering pergi menemani suaminya, sehingga Ajat dirawat Bu Nani.
Ajat seperti anak yang memang semestinya Lasmi jaga sebagai rasa terima kasih kepada Nenden.
saat Ajat sudah bisa berdiri, Lasmi sering ucang-ucang angge, membuat anak itu tertawa sendiri. kadang Bu Nani menatap heran, tapi dia tidak curiga. Bu Nani justru lega karena Ajat tidak rewel dan merwpotkannya.
Bu Nani tidak pernah tau Ajat sering dihibur oleh Lasmi.
ada satu kejadian lucu. hari itu menjelang Magrib, Ajat ditinggal sebentar oleh Bu Nani keluar.
saat itu ada kuntilanak dari pohon dekat rumah Nenden yang menjahili Ajat. Lasmi yang sedang di rumah Asep mendengar tangisan Ajat. Lasmi langsung ke sana, memarahi kuntilanak itu.
bahasanya kurang lebih begini:
"Kamu jangan mengganggu anak itu, dia sudah seperti anak aku."
"Aku cuma ngajak main."
"Kamu membuat dia menangis, aku tidak suka! Pergi kamu! Jangan pernah ganggu lagi!"
kuntilanak itu pun pergi.
pernah suatu hari Nenden memandikan Ajat dibuat terheran2. Ajat senyam-senyum sendiri memandang ke atas. Nenden menengadah, tapi tidak melihat apa2.
Lasmi cekikikan. "Anak kamu teh bageur, Nden. Jaga dia baik-baik yah..."
Nenden langsung merinding dan cepat2 memandikan Ajat.
sampai Ajat berusia 3 tahun, barulah Lasmi pamit. saat itu Lasmi memandangi Ajat yang tertidur pulas di samping Nenden.
Lasmi mengelus kepala Ajat. "Jat, Bibi sampai di sini yah. Nanti kalau sudah besar jagain ibu kamu. Bibi teh sayang sama ibu kamu."
lalu Lasmi pun pergi. :')
setelah hari itu, Lasmi mengitari daerah Bandung. Lasmi cerita, dia berpuluh2 tahun mengawasi ibu hamil dan menghibur bayi yang sedang sendirian, mereka yang sekiranya bisa Lasmi awasi.
Lasmi sempat kecewa saat rumahnya bersama Asep dijual oleh keluarga Asep kepada orang lain. Lasmi merasa rumah itu bukan lagi rumahnya.
lalu, Lasmi mencari 'rumah' baru yang tidak terlalu bersinggungan dengan makhluk lain, sampai dia menemukan sebatang pohon untuk bersemayam.
(END)
kurang lebih begitulah kisah Lasmi yang bisa penulis sampaikan, terima kasih sudah menunggu dengan sabar dan menyimak kisahnya.
kata Lasmi, "Hatur nuhun sadayana."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar