Oleh Pale pale palen
Namanya Lasmi, kuntilanak merah yang jagain adek perempuan gue sejak 2013 saat dia kuliah di salah satu sekolah desain di Bandung. Lasmi (masih) tinggal di pohon mangga daerah Wastukencana.
a thread by @falenzaman on twitter
(kiri: foto dia saat masih hidup & kanan: foto sejak jadi kunti sampai kini)
gambar ini diambil barusan banget. baru kali ini gue memberanikan diri ngobrol bareng karena sosok aslinya serem gila. orang bisa sawan, bahkan sakit kalau lihat dia. mediumnya adek gue sendiri yang minta dia buat masuk dan cerita.
Lasmi dulunya seorang sinden musik Sunda, suaminya Asep, yang jadi pengiring. mereka menikah muda di umur 12 tahun pada saat zaman penjajahan Belanda (sekitar 100 tahunan lalu). mereka berdua bertemu di kebun teh, saling suka, lalu Asep meminang Lasmi, nikah dan kerja bersama.
gue sempet heran mereka kok nikah pas umur masih belia banget? tapi Lasmi bilang emang zaman itu nikah di umur remaja awal tuh lumrah. mereka pasangan sederhana, mirip Adek-Kakak.
pas cerita bagian ini, Lasmi ketawa genit melengking dong.
mereka menikah, menjalani hidup di rumah sederhana di daerah Lembang (deket Farmhouse). mereka 'nyinden' setiap kali ada khitan dan nikahan. mereka paling senang pas Belanda nyewa mereka buat meriahin pesta karena dibayar cukup mahal meski nggak menutupi kekejamannya.
singkat cerita, Lasmi sedih karena 5 tahun pernikahan nggak kunjung dikaruniai anak dan ini jadi bahan ghibah-julid para tetangga.
"Si Lasmi teh kunaon neupi ka ayeuna teu boga barudak? mandul lain manehna."
(Si Lasmi kenapa sampai sekarang nggak punya anak, mandul kali ya?)
Asep menghibur Lasmi yang sering nangis saat ingin tidur. Asep bilang, "Udah teu nanaon atuh, Neng. Mun ceuk gusti Alloh ayeuna teh dibere momongan, kun fayakun ge jadi. Tapi mun ceuk gusti Alloh lain ayeuna, kita teh tetep berdoa, Alloh teh moal sare."
Duh. :')
Artiynya: Nggak apa-apa, Neng. Kalau kata gusti Allah dikasih anak sekarang, kunfayakun jadi. Tapi kalau kata Allah belum sekarang, kita tetap berdoa. Allah nggak tidur.
Lasmi cuma mengangguk dan terus berdoa dalam sujudnya. dia sering melamun saat melihat Ibu-ibu hamil. Sedih.
Lasmi kadang2 dengan sopan meminta izin ke Ibu-ibu hamil yang dia temui di jalan untuk mengelus perutnya. minta titip doanya supaya Lasmi lekas 'isi'.
Lasmi kepengin banget punya anak. karena rumahnya terasa sepi, ditambah gunjingan tetangga yang tiap hari makin jadi. :')
Temennya Asep bahkan sampai bilang, "Sep, deuh sia kawin deui weh ulah jeung si Lasmi. Bisi weh sia neupi ka maot teu boga momongan!"
artinya: Sep, lu mending kawin lagi, jangan sama si Lasmi. sampai mati juga gabakal punya anak.
tapi Asep tetap teguh cintanya sama Lasmi. mereka terus bekerja, berdoa, dan berusaha menjalani hidup yang makin berat.
pernah suatu kali saat selesai pentas di acara orang Belanda, Lasmi digoda salah satu Londo yg tau permasalahan mereka. Lasmi 'diajak', siapa tau aja 'jadi'.
tapi Lasmi tersenyum dan menolak, dia balas lewat bahasa Belanda, "Terima kasih, Tuan. Tapi saya tidak akan pernah mengkhianati suami saya."
Londo itu tertawa, lalu menepuk pantat Lasmi sebelum berlalu. Lasmi tetap tersenyum dan menahan tangis. (gue yang dengernya aja kesel
insiden itu makin bikin Lasmi terpukul dan merasa dirinya nggak bisa jadi seorang Ibu. sepulangnya di rumah, tangis Lasmi meledak. Dia terus bertanya dalam hati, "Apakah benar aku tidak bisa punya anak?"
Asep memeluknya, menguatkannya. meminta Lasmi tenang. semua ada waktunya.
Lasmi bilang, "A', kalau kamu memang ingin punya anak, kamu boleh menikah lagi. Aku nggak apa-apa, daripada keadaan terus begini. Aku nggak sanggup."
Asep kaget mendengar kalimat itu terucap, dia memeluk Lasmi erat. membiarkan Lasmi malam itu menumpahkan sedihnya.
setelah itu, Lasmi makin pendiam. Asep juga jadi ikutan sedih, nggak tau harus melakukan apa supaya Lasmi bisa bahagia. ditambah Asep mulai sakit-sakitan karena sering kerja malam pulang pagi. rumah tangga mereka makin terasa dingin.
akhirnya, tahunan mereka berumah tangga, di tengah badai yang sedang melanda ... LASMI PUN HAMIL! Dia hamil di tahun kesepuluh pernikahan.
awalnya Lasmi nggak sadar. dia cuma sering mual dan gampang capek. Lasmi pun menyampaikan kabar gembira ini ke Asep. doa mereka terkabul.
saat Lasmi cerita ini ke gue, dia ketawa girang banget—kebayanglah suaranya, malah bikin takut
Lasmi bilang, pas itu dia cuma pengin segera melahirkan buah hatinya. tetangga2nya pun berhenti berkomentar, dan ngucapin selamat. Lasmi setiap saat ngusap perutnya bilang 'Utun'.
Asep pun lega dan bahagia, meski sakitnya makin hari makin parah. dia ternyata juga kena sakit gula karena faktor keturunan. namun, anak di kandungan Lasmi seperti lilin yang menerangi keluarga kecil mereka.
mereka tetap bekerja, tapi Asep meminta Lasmi istirahat aja di rumah.
tapi Lasmi nggak betah. walau kondisi hamil muda, dia tetap nyinden walau gampang lelah. berkali2 Asep minta Lasmi di rumah. Lasmi tetap kekeuh, dia nggak mau Asep yang sakit bekerja sendirian.
lalu, kejadian yang tidak pernah terbayangkan jadi neraka bagi mereka terjadi ...
Lasmi pulang duluan ke rumah. saat itu, dia sedang berjalan kaki di jalan Wastukentjana. di zaman itu, masih minim lampu. Lasmi yang sedang hamil 3 bulan berjalan pelan sambil menahan lelah dan kantuk.
kemudian, sebuah mobil pengangkut tanpa lampu memadai tiba2 menerjangnya ...
saat mobil pengangkut itu menerjang Lasmi, tubuhnya tereset dan wajahnya menghantam tanah berbatu sampai sejauh -+8 meter. peristiwa tragis itu begitu cepat, tapi Lasmi masih ingat betul rasanya dijemput kematian yang tidak dikehendaki.
tak ada satu mata pun yang menyaksikan.
si supir kaget menyadari telah menabrak seorang wanita. namun, temannya si supir malah berkata, "Huh sia, kumaha yeuh?! maot siah!"
si supir bergegas turun, memeriksa kondisi Lasmi yang sedang kejang mengeluarkan darah dari mulutnya yang robek sampai telinga. rahangnya mencuat.
artinya: Aduh, gimana nih? Kayaknya meninggal deh.
Si supir menelan ludah. Dia sontak , melirik-lirik sekitar, takut ada yang melihat. Kemudian teman si supir ikut turun memeriksa, "Kumaha ieu! Tulungin weh atuh! Meuni karunya!"
Lasmi melihat mereka dengan pandangan mengabur.
si supir menarik temannya masuk ke dalam mobil. temannya sempat tidak setuju, tapi si supir mengatakan, "Eh sia goblog, mun aya nanaon teh kumaha?! Boga barudak ti imah! Buru naik goblog!
Lasmi mendengar samar. darah terus mengalir, rasa sakit mahadahsyat mulai meremas perutnya.
Lasmi hanya bisa menyaksikan mobil yang menabraknya pergi. dia memandang langit, berbagai kenangan berkelebat di ingatannya. senyum teduh Asep, kedua orang tuanya di kampung, masa kecilnya, dan angan-angan membesarkan sang buah hati.
air mata Lasmi berlinang, bercampur darah.
darah menggenang kental di tanah. rasa sakit di wajah dan perutnya keji meremas tanpa ampun. Lasmi tahu dia akan mati, tapi dia tidak mau kehilangan bayinya.
"U-utun ... Uhtun..." Lasmi berusaha mengusap perutnya dengan tangannya yang patah sekuat tenaga yang sudah raib.
Lasmi perlahan merasakan tubuhnya dingin. dia kehilangan hidup dan bayinya. pandangannya yang buram melihat banyak raut tak kasat mata menyaksikannya sedang dijemput ajal. mungkin dia masih tertolong seandainya ada yang melihat.
seandainya saja, itu kalimat di benak Lasmi.
gelap dan kosong. matanya tertutup sempurna dengan air mata yang menetes membayangkan sejenak sosoknya sebagai Ibu. namun, takdir tidak memberinya kesempatan untuk Lasmi mengalaminya.
tiba-tiba saja, Lasmi merasakan rohnya keluar dari tubuhnya. rasanya sakitnya tidak bisa dideskripsikan. Lasmi semalaman berdiri memandangi jasadnya yang nahas sampai ditemukan oleh warga saat pagi hari.
Lasmi hanya menangis dalam diam.
sekitar pukul 5 pagi, sepasang suami istri yg sedang berjalan kaki melihat jasad Lasmi. sontak Lasmi minta tolong agar jasadnya dipulangkan, tapi suaranya tak terjamah mereka.
lalu suami istri itu kalut. melihat jasad yg mengerikan, si suami menyuruh istrinya mengabarkan warga.
tidak lama, beberapa warga berkumpul, seseorang mengetuk kentungan, berseru, "Aya mayit! Aya mayit!"
suasana pun ramai dan tegang. seorang lainnya kenal dgn Asep. "Allahuakbar, eta pamajikannya Asep lain?!"
dia sadar itu Lasmi, karena selendang ciri khas Lasmi saat nyinden.
segeralah dia naik andong ke rumah Asep. saat itu Asep sedang panik mencari Lasmi di sekitar rumah karena istrinya belum pulang. Lasmi pulang duluan tidak lewat jalan yg biasa Asep dan tim sinden lewati.
Asep belum tau Lasmi sudah tiada, tapi ketakutan melanda hebat pikirannya.
satu jam kemudian temannya itu sampai ke rumah. Asep sedang duduk di depan. linglung. melihat temannya, Asep berdiri, "Aya naon kadieu?"
temannya itu menatap iba Asep, "Ieu, Sep, kumaha nya..."
"Aya naon?"
"Lasmi ... tos maot," ucapnya pelan.
Asep langsung jatuh terduduk.
Asep terisak, perasaannya hancur seketika dan tubuhnya gemetar. dia masih belum bisa menerima kabar duka itu.
"Ya Allah, gusti..." kata Asep lirih.
"Sabar, Sep..."
"Kumaha urang bisa sabar?" Asep menggeleng. "Lasmi di mana?"
temannya langsung menuntun Asep ke TKP.
tangis Asep pecah selama menuju lokasi. dia tidak bisa membayangkan hidupnya setelah ini. Lasmi sudah tiada, lalu bagaimana dengan nasib jabang bayi yang sedang dikandungnya?
Asep hanya terus berdoa, berharap ada keajaiban.
sesampainya di lokasi, warga mengerumuni jasad Lasmi. "Ya allah, meuni karunya pisan..." ucap mereka sambil memegang mulut.
Asep menembus kerumunan dengan hati terkoyak. dia mendapati Lasmi yang sudah terbujur kaku. Asep jatuh, memeluk jasad Lasmi, "Ya Allah, Neng...
harapan akan keajaiban sirna saat Asep melihat gumpalan darah yang mengering di kaki Lasmi. Asep sudah kehilangan dua orang yang dicintainya. sorot matanya redup, warga iba kepada Asep yang bergeming dalam isaknya.
roh Lasmi pun hanya menangis, dia ingin sekali memeluk Asep.
bersama temannya, Asep menggotong Lasmi dengan keranda bambu, jasadnya ditutupi kain. lalu, keranda dinaikkan ke andong. roh Lasmi duduk di sebelah Asep.
sepanjang perjalanan, Lasmi menggerakkan tangannya seolah menggenggam Asep. suaminya itu melamun memandangi jasad Lasmi.
Asep mengusap cincin kawin di jemari Lasmi. "Neng, Akang janji, cuma Neng yang ada di hidup Akang. Neng yang tenang, yah."
roh Lasmi mengangguk pelan. lalu, sayup-sayup terdengar suara isakan. Asep menoleh bingung, ternyata berasal dari temannya yang duduk di kursi depan.
hari itu juga Lasmi dimandikan. rumahnya ramai ucapan sungkawa. para tetangga yang dulu mencibir merasa bersalah. mereka meminta maaf kepada Asep dan mendoakan Lasmi.
Asep menanggapi sekenanya dan berusaha tersenyum. masih terbayang betapa Lasmi sedih dengan cibiran mereka.
namun, ada tetangga yang bergunjing, "Eh, eta si Lasmi, meninggalnya pas lagi hamil. Ih, gimana nanti?"
"Gimana apanya?"
"Ya, begitu lah..."
tetangga lain berbisik, "Hush! Jangan diomongin."
mereka diam dan saling lirik-lirikan. mereka tidak tau bahwa roh Lasmi mendengarnya.
tibalah momen yang membuat tangis Asep dan Lasmi benar-benar pecah. sebelum selesai dimandikan, dukun beranak mengeluarkan janin yang dikandung Lasmi.
setelah janin dikeluarkan, Lasmi hanya menutupi wajahnya karena tidak kuat menyaksikan Asep yang begitu terpukul. keluarga Asep sampai menarik-narik Asep untuk menenangkan diri dan mencoba ikhlas.
10 tahun mereka mendambakan kehadiran si buah hati, tapi harus kehilangannya.
Lasmi menatap urukan tanah terakhir janinnya dikubur, lalu dia terpejam. terbesit wajah supir yg menabraknya.
tiba2 kepedihan tak tertahankan mengoyak hatinya. muncul dendam kesumat untuk dibalaskan kepada anak si supir. Lasmi harus menyaksikan si supir merasakan penderitaannya.
Lasmi sangat tidak terima atas kematian dia dan bayinya.
dendam kesumat yang teramat besar di dalam diri Lasmi membuat wujudnya perlahan berubah. tatapan mata yang sebelumnya teduh, berubah jadi sorot berwarna merah darah yang menyala. wajahnya yang ramah, berubah menyeramkan.
saat Lasmi menyadari dirinya berubah jadi sosok kuntilanak merah, dia berteriak kencang dan menangis dalam angkara. mengapa Lasmi malah jadi seperti ini? dia tidak tau. lalu dia tertawa dengan suara yang melengking. tawa yang menakutkan sekaligus memilukan.
Lasmi ...
Lasmi terbang ke lokasi dia kehilangan hidup dan si jabang bayi, lalu berdiri di tepi jalan malam itu. Lasmi menyaksikan ulang kilas balik bagaimana peristiwa tragis yang dialaminya berulang kali.
Lasmi tersenyum dengan wajah yang robek, dia ingin segera membalaskan dendamnya.
Lasmi menunggu si supir melewati jalan tempat dia meninggal. namun, sampai pagi tiba, mobil si supir tidak kunjung lewat. Lasmi menahan geram. dia benar-benar harus menunggu momen yang tepat untuk membalaskan dendamnya.
Lasmi akhirnya pergi ke rumahnya untuk menengok Asep.
Lasmi memperhatikan Asep yang sedang menyapu halaman rumah dari pohon di depan rumahnya. Asep tampak begitu sendu. dia sesekali termenung memegang sapu.
Lasmi lalu berkelebat di sekitar Asep sebagai isyarat bahwa dirinya ada. Asep pun sedikit terkesiap, menggosok tengkuknya.
Asep celingak-celinguk ketika merasakan sensasi hawa dingin.
"Lasmi di sini, A ..." bisik Lasmi dengan senyum lirih yang tentu saja tidak terlihat.
Asep hanya lanjut menyapu. Lasmi pun duduk di kursi teras, memandangi suaminya itu dengan perasaan sedih dan rindu.
"Neng, Neng ... biasanya ada Neng di sini. Sekarang Aa teh meuni kesepian. Rumah sepi ..." ucap Asep tiba-tiba dengan pelan.
Lasmi hanya menahan kesedihan. entah Asep dapat merasakan kehadiran Lasmi atau tidak. Lasmi memandangi Asep yang memunggunginya dan terlihat makin kurus.
saat baru selesai menyapu, teman Asep yg dulu membantunya datang, "Assalamualikum..."
"Walaikumsalam." Asep mengusap tangannya."
"Kumaha Sep, sehat?"
Asep tersenyum.
"Ini Sep, istri saya teh nitip. ubi rebus sama pisang buat kamu." Dia memberikan bungkusannya.
"Hatur nuhun."
Asep menerimanya dengan senyum. "Alhamdulillah, Dang."
"Dimakan ya, Sep. Cepet sembuh kamu teh." Lalu temannya berpamitan.
Lasmi tersenyum, ada kelegaan bahwa masih ada orang baik yang membantu suaminya. Asep pun masuk ke dalam rumah, diikuti Lasmi.
Lasmi hanya memandangi Asep menikmati makanan itu sendirian. rumah makin terasa hampa. Lasmi ingin sekali seperti dahulu ketika mereka makan bersama.
sambil mengunyah, Asep menatap kursi di depannya, seakan mengganggap Lasmi ada di sana.
"Makan yang banyak, A.." ucap Lasmi.
hari itu Lasmi mengelilingi rumah, mengingat kesehariannya. sementara, Asep membersihkan sulingnya, karena malam nanti akan mengisi acara pesta Belanda.
sambil berkeliling, Lasmi mendengar tembang Sunda kesukaannya yg dimainkan Asep dengan sulingnya.
perasaan Lasmi menghangat.
Asep memainkan tembang itu dgn penuh perasaan. tanpa sadar air matanya menetes. dia ingat raut Lasmi yang tersenyum bahagia dan berkata, "Kang, Lasmi pengen denger sekali lagi, ya?"
Asep pun mengelap pipinya. di depannya, Lasmi menangis karena tau apa yang dibayangkan Asep.
sorenya, Asep siap2 berangkat. teman2 tim pengiring menunggu di teras. biasanya Lasmi akan menyambut dan sejenak mengobrol. kali ini hening. Lasmi ke teras, seakan menyapa mereka.
"Ada ngerasa dingin teu?" bisik salah satunya.
"Iya, Lasmi mungkin..."
"Lasmi yang tenang yah..."
Lasmi tersenyum, lalu kembali ke kamar. Asep sedang mengenakan pakaian, lalu meraih salah satu pakaian Lasmi, menghirup aromanya dalam-dalam.
"Akang berangkat ya, Neng," ucap Asep.
"Iya, Kang." Lasmi seakan mencium tangan Asep.
Lasmi mengiringi Asep dan tim ke acara.
tiba di panggung acara, Asep duduk memegang sulingnya. posisi Lasmi telah digantikan oleh anak teman Asep. masih belia, tapi cukup lihai menyanyikan tembang.
Asep termenung, rasanya kemarin Lasmi masih bernyanyi. dadanya sesak, selendang ciri khas sinden telah berpindah tangan.
seluruh tim menyadari Asep melamun. Lasmi duduk di sampingnya.
"Sep, kenapa?" tegur Dadang.
"Eh, engga. Gapapa."
"Sep, mungkin saya terlihat ikut campur. Tapi kamu harus rela, biar Lasmi juga bahagia."
"Iya ..." jawab Asep lirih.
"A, Lasmi yakin Akang pasti bisa," bisik Lasmi.
pertunjukan pun dimulai. Asep memainkan sulingnya seirama dengan alat musik lain. dia menatap punggung sinden baru yang sedang nembang sambil membayangkan itu Lasmi.
perlahan, Asep merasa kakinya kesemutan. tapi dia menghiraukannya dan berusaha fokus, sementara Lasmi khawatir.
Lasmi tau betul Asep sedang menahan sakit gulanya yang kumat. Asep mulai keringetan. tapi Lasmi tidak bisa berbuat apa-apa selain seolah mengusap punggungnya.
Asep membatin, "Gusti, setidaknya saya bisa malam ini.."
Lasmi mendengar suara batin itu, lantas dia menangis.
tim pengiring menyadari ada nada yang meleset dan takut ketahuan oleh penonton Londo—mereka bisa kena masalah.
beruntungnya, Asep dapat bertahan sampai pertunjukan selesai. Dadang menghampiri Asep. "Sep, kamu istirahat dulu abis ini. Takit ada apa-apa."
Asep mengangguk pasrah.
ternyata, ada wanita Londo yang menyadari kesalah Asep. dia menghampiri Asep yang hendak pergi dari panggung.
"Saya sering menonton pertunjukan kalian, tapi kamu tadi berbeda," kata wanita itu.
"Maaf, Non." Asep menunduk takut.
"Mana sinden yang biasa dengan kamu?"
Asep terdiam.
"Kenapa kamu diam saja?" tanyanya lagi. kali ini dengan penekanan.
Asep makin takut. jika tidak dijawab, dia bisa kena masalah. dijawab pun, hanya akan menambah kesedihannya.
"Punten, Non. Asep sedang tidak sehat," ucap Dadang sopan sambil menarik lengan Asep menjauh.
Dadang membawa Asep ke belakang panggung.
"Kamu gapapa?" tanya Dadang cemas.
"Gapapa. Nuhun, Dang," kata Asep masih merasa tegang.
Lasmi menatap tajam wanita Londo yang kembali ke kumpulannya. lalu, gelas yang dipegang salah satu temannya tiba-tiba pecah. mereka sangat kaget.
Lasmi tertawa melihat mereka yang bingung sekaligus ketakutan. pertanyaan itu menyinggung Lasmi dan dia hanya memberikan peringatan. untungnya pecahan gelas tidak melukai. Londo2 wanita itu langsung menjauh dari panggung.
setelah itu, Lasmi menghampiri Asep yang sedang duduk.
Asep sedang memijit kakinya yang masih kesemutan. Lasmi duduk di sampingnya, "Akang gapapa?"
Asep hanya diam. tim pengiring memandangnya iba.
"Sep, kamu gapapa kan sementara ini istirahat dulu?" tanya Dadang, mewakili timnya yg khawatir.
"Oh iya gapapa, Dang." Asep mengangguk.
sebenarnya Asep sedih karena itu mata pencahariannya. bagaimana dia mencukupi kebutuhan hari2 jika tidak bekerja? Dadang memberi upah acara tadi. "Sep, terima ya. Ini ada sedikit rezeki dari kita."
"Ya Allah, hatur nuhun pisan." Asep mengelap air mata, lalu menyalami rekan2nya.
Lasmi pun terharu. dia mengelilingi mereka seakan mengucapkan terima kasih. Asep dan tim pun bergegas pulang.
di jalan, Asep hanya memandang lurus. dia biasanya bergenggaman tangan dengan Lasmi, membahas esok hari dan impian mereka.
namun, kini Asep hanya berbicara dalam hati.
sesampainya di depan rumah, Asep berpamitan dengan timnya. lalu dia duduk sebentar di teras, melepas lelah. biasanya Lasmi akan mengambilkan segelas air putih.
hari ini terasa sangat berat untuk dilalui. Asep harus serbasendiri. Lasmi ingin sekali menguatkannya andai dia bisa.
Asep pun masuk ke dalam rumah, mengambil minumnya sendiri. Lasmi menunduk, jika saja dia bisa mengambilkan minuman untuk Asep tanpa harus membuatnya takut.
"Maafin Lasmi ya, A," ucap Lasmi sendu sembari berdiri di sebelahnya
Asep bergeming sebelum ke kamar. Lasmi mengikutinya.
Asep mengganti bajunya, lalu merebah di kasur. Asep menghadap sisi dia dan Lasmi biasanya mengobrol sebelum tidur. Lasmi pun merebah di situ. mereka bertatapan tanpa Asep tau.
Lasmi tersenyum, "Istirahat, A."
Asep berkata sendiri, "Malam ini dingin, Neng..."
lalu Asep tidur.
Lasmi hanya memandangi Asep yang tidur dengan wajah lelah. sesekali Asep berganti posisi dan mengusap tubuhnya karena kamar yang terasa dingin.
Asep tidak tau hawa dingin itu berasal dari Lasmi. akhirnya, Lasmi pun sedikit menjauh, takut suaminya tidak bisa tidur nyenyak.
Lasmi kembali ke pohon di depan rumah. dia uncang-uncang angge sambil menunggu pagi tiba. Lasmi pun memperhatikan makhluk sejenisnya yang berwarna putih, yang ada di sekitar rumah mereka.
entah kenapa mereka tidak mau mendekati/menyapa Lasmi. mereka hanya tertawa dan melayang2.
Lasmi merespons tawa mereka dengan tawa juga. mereka langsung terdiam dan pergi. saat itu Lasmi heran, kenapa mereka pergi? apakah karena dia berwarna merah sendiri?
Lasmi berpikir, mungkin karena kekuatannya yang besar dan aura merah di tubuhnya itu membuat sesamanya takut.
karena tawanya terdengar menakutkan hingga membuat sesamanya takut, Lasmi termenung. dia khawatir bisa menakuti Asep juga, atau malah tidak sengaja mencelakainya. hawanya saja bisa membuat Asep tidak nyaman.
Lasmi hanya ingin berada di sisi Asep.
pagi tiba, Lasmi masuk ke dalam rumah. Asep sudah bangun dan sedang menghangatkan sisa ubi dengan dandang di dapur. Lasmi memandangi Asep yang kesulitan membuat makan paginya, dan melamun ke arah uap yang mengepul.
ini seharusnya tugas Lasmi, tapi dia tidak mungkin melakukannya.
lalu terdengar suara yang parau dari luar, "Assalamualikum, Sep..."
Asep tersadar dari lamunannya, Lasmi masih ingat suara itu adalah mertuanya, ayah Asep yang juga sudah sakit-sakitan. Lasmi mengikuti Asep menuju pintu. tiba-tiba saja langkah Asep limbung, dia merasa pusing.
ayah Asep melihatnya dan membantu Asep duduk. "Sep, kamu sakit?"
Asep mengangguk.
"Pulang aja ke rumah, jangan sendiri. Bisi kenapa2 kamu."
"Nggak, Pa. Asep teh nggak mau ngerepotin Bapa. Asep bisa sendiri di sini."
Ayah Asep hanya terdiam, dia ingin anaknya ada mengurus.
"Sep, ini mah Bapa nanya aja. Apa kamu nggak mau nikah lagi? Bapa teh pengen kamu ada yang ngurus udah begini. Liat Bapa, Sep. Ditinggal Ibu teh hidup Bapa seperti pincang," ucap ayah Asep.
Asep mengusap wajah, "Pa, maaf, jangan omongin itu dulu sekarang mah."
Lasmi menunduk.
Ayahnya memegang pundak Asep. "Bapa cuma bilang aja, Sep. Kamu teh masih mudah, masih punya kesempatan untuk hidup bahagia. Bapa nggak tega liat kamu begini sendirian."
"Saat ini Asep cuma mikirin Lasmi, Pa. Asep belum mikirin ke sana," balas Asep.
Lasmi hanya terdiam pilu.
"Ya udah, kalau kamu udah kepikiran bilang yah. Kamu teh kasep, banyak yg seneng sama kamu." Ayahnya tersenyum.
"Tapi Asep cuma seneng sama Lasmi. Bapa tau kan, Lasmi cinta pertama Asep. Gimana dulu Asep perjuangin Lasmi."
Lasmi sedih, mengingat ketika mereka berjuang bersama.
Lasmi ingat pertemuannya dengan Asep pertama kali di kebun teh. saat itu Lasmi sedang membantu bibinya memetik teh untuk dijual ke Londo dengan harga murah. Lasmi ingin main, tapi dia tidak punya teman.
Lasmi sebatang kara, dia menyambung hidup dengan membantu bibinya bekerja.
sehari2 Lasmi tinggal di sebuah gubug bersama Bi Entin, adik ibunya. orang tuanya telah lama merantau, tapi tidak diketahui nasibnya, rumahnya pun sudah dijual. Bi Entin seorang janda yg ditinggal suami dan tidak punya anak. dia menganggap Lasmi seperti anak sendiri.
Lasmi kecil tidak punya waktu bermain karena harus membantu bibinya. sampai akhirnya suatu sore, dia bosan memetik teh dan Bi Entin sefang mengobrol dengan temannya.
Lasmi duduk karena pegal. lalu eari belakang, terdengar suara anak laki-laki, "Eh itu rambut kamu ada uletnya."
Lasmi terkejut dan berteriak kaget sambil mengibas rambutnya. anak lelaki itu malah cekikikan melihat Lasmi yang baginya sangat lucu.
"Mana? Nggak ada ulet tuh. Ih kamu mah jahat!" Lasmi cemberut sembari memukul pelan.
"Abisnya kamu bengong aja, euy. Aku jadi iseng. Hahaha."
Lasmi menatapnya kesal, lalu Bi Entin memanggil. "Lasmi siniii, ayo pulang!"
lantas Lasmi langsung menghampiri bibinya sambil menahan sebal. besok paginya, sambil Lasmi membantu bibinya memetik teh, dia mencari anak laki-laki yang kemarin.
sampai sore, dia tidak melihatnya.
sampai beberapa hari, Lasmi tidak kunjung melihat anak laki-laki itu.
Bi Entin geleng2 mendapati Lasmi seperti linglung. "Mi, kamu teh kunaon bengong, celingak-celinguk. Ulah kitu, takut ada apa-apa."
"Iya, Bi." Lasmi pun tersenyum kikuk.
sekitar seminggu kemudian, Lasmi sedang menjemur baju. dia melihat anak laki-laki itu sedang turun dari andong membawa bakul tomat bersama seorang Bapak di dekat gubugnya.
Lasmi melirik Bi Entin sedang memilah daun teh, dia diam-diam menghampiri Asep sambil seolah pura2 lewat.
saat Lasmi melewatinya, anak laki-laki itu bertanya, "Mau tomat?"
Lasmi tertawa, anak laki-laki itu bertanya lagi, "Nama kamu siapa?"
"Aku Lasmi.'"
"Oh, nama kamu Lasmi. Aku Asep." Anak itu tersenyum.
"Itu Bapak kamu?" tanya Lasmi.
"Iya, mau kenalan?"
Lasmi tertawa lagi
sejak itu, Asep sering bermain ke kebun teh untuk menjual tomat kepada seorang tengkulak tanpa ditemani ayahnya. lalu Asep menemani Lasmi memetik teh seharian. Bi Entin hanya senyam-senyum melihat mereka. Lasmi kini punya teman dan terlihat riang, dia tidak sendirian lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar