#Mengantar_Jenazah
#Horor
Suara hewan malam terdengar riuh, membuat suasana malam sedikit mencekam. Apalagi sejak sore tadi gerimis masih awet mengguyur seisi bumi. Bau basah tanah menguar, menyuguhkan aroma harum yang menenangkan.
Namun, dua mataku tidak juga mau terpejam, padahal sudah sejak tadi rasa kantuk menyergap.
Ada saja gelisah menggelayut.
"Astaghfirullah, perasaan apa ini?" ujarku lirih, sambil terus berusaha tenang.
Aku beranjak menuju dapur kontrakan. Satu sachet jahe wangi kuseduh perlahan. Penciumanku menghidu wangi jahe. Kuseruput berlahan di depan televisi.
"Tolong ... tolong ...."
Telinga kupasang seksama, suara itu samar tertangkap inderaku. Lirih seperti suara seseorang minta tolong. Wajah kuusap kasar. Pasti hanya halusinasi.
"Mas ... Tolong ...."
Aku bangkit dari tempat duduk, mengendap mencari tahu sumber suara. Hanya saja samar dan tanpa wujud. Pikiranku berkecamuk, meski sudah biasa mengalami hal demikian tetap saja gemetar rasanya.
"Sebentar lagi pasti ada telepon dari rumah sakit, orderan untuk mengantar jenazah," ujarku sambil meringsek masuk ke dalam kamar untuk menenangkan diri. Di ruang televisi tadi suasananya mencekam. Horor.
Benar saja, saat aku merebahkan tubuh di atas kasur. Ponsel berbunyi.
"Man, ada tugas mengantar jenazah ke luar kota, keluarga minta segera di antar secepatnya. Kebetulan Kusno belum kembali sedari tadi, hari ini banyak sekali jenazah yang harus di antar,"
"Oh iya, nanti kamu antar sendiri jenazah itu, personilnya enggak ada, Man," kata Sapto atasanku.
"Tapi nanti ada satu keluarga yang ikut nemenin di mobil," lanjutnya.
Aku menjawab dengan sedikit malas, "Oke, Pak, siap!"
Pikiranku tentang suara bisikan minta tolong tadi sementara terlupakan. Aku raih jaket hitam dan celana panjang yang tergantung. Kukenakan segera dan gegas menuju rumah sakit.
Jalanan lengang, sepi bahkan kendaraan seperti enggan lewat. Padahal biasanya tidak, pasti ada melintas mobil dan ada tanda-tanda kehidupan.
Aneh. Malam ini tumben sepi banget. Padahal baru jam 01.00 dini hari. Jalanan kota jam-jam itu justru ramai lalu lalang kendaraan anak-anak gaul yang masih suka nongkrong dan begadang.
Atau mungkin tersebab hujan yang tak henti turun, jadi orang-orang malas untuk keluar rumah.
"Mas ... Tolong saya." Suara itu datang lagi, kali ini benar-benar membuatku gugup. Merinding, dan menjadi tidak konsentrasi menyetir. Apa suara itu ada kaitannya dengan jenazah yang kubawa nanti.
Mobil ambulance yang kukendarai berjalan berlahan, melewati malam. Sengaja aku ijin membawa mobil itu ke kontrakan untuk aku bersihkan, sudah seminggu lebih tidak sempat dicuci. Baru saja akan berbelok melewati jalan alternatif menuju rumah sakit, terlihat ramai orang menghalangi jalan.
Beberapa orang berusaha menghentikan mobil dari arah berlawanan, tapi tidak ada satupun yang berhenti. Aku gelisah mendapati pemandangan itu, aku putuskan berhenti untuk mencari tahu.
Mesin mobil ambulance kumatikan. Beberapa orang sudah ramai membawa tubuh berlumur darah menuju ke arahku.
"Buka, Mas ... Buka mobilnya!" Pekik salah satu dari mereka.
"Tolong bawa ke rumah sakit, terdekat!" Timpal yang lain.
Gegas aku turuti yang mereka katakan, aku siap memacu mobil ke rumah sakit tempat tujuan awalku. Kerja mengantar jenazah sesuai perintah pak Sapto atasanku.
"Buruan, Mas! Mbaknya butuh pertolongan segera!" Suara dari belakang terdengar keras.
Aku pacu mobil ambulance dengan cepat, berharap segera sampai agar tubuh korban kecelakaan tadi selamat. Sigap, petugas rumah sakit menyambut, tubuh itu segera ditangani tenaga medis yang sedang berjaga.
"Terima kasih, Mas. Semoga korban bisa selamat," ucap seseorang yang ikut mengantar.
Aku mengangguk dan memberikan senyum terbaik. Masih banyak orang-orang baik yang peduli sesama seperti mereka. Kuperhatikan jam tangan, ingat tugas awal untuk mengantar jenazah ke luar kota.
Aku sempatkan membersihkan sisa darah yang tercecer, sambil terus melafalkan zikir. Jujur masih ada rasa takut mengingat bisikan suara tadi. Ponselku kembali bergetar.
"Kamu di mana, sudah siap mengantar, jenazah segera di bawa menuju mobil sekarang,"
"Siap, Bos! Sudah on the spot," jawabku.
Berselang, decit roda membawa seonggok tubuh yang tertutup kain mendekat. Merinding. Kali ini, benar-benar membuat kudukku meremang. Satu orang yang tampak sedih berjalan mengiringi jenazah itu. Persis di samping jenazah.
Beberapa orang tenaga medis membantu mengangkat jenazah itu ke mobil ambulance, merapikan beberapa bagian agar siap untuk perjalanan ke luar kota. Sementara, seorang perempuan yang menemani masih tetap diam tanpa banyak bicara.
"Mas, tolong antar saya ke rumah ya, terima kasih sudah mau mengantar saya ke rumah sakit tadi. Saya hanya mau pulang mengantar jenazah ibu saya tadi," ucapnya tanpa ekspresi.
"Sama-sama, sudah jadi tugas saya," jawabku.
Tanpa berpikir macam-macam akupun berangkat. Mobil berjalan meninggalkan halaman rumah sakit yang sudah sepi, sambil bersenandung aku nikmati secangkir kopi yang sempat kuseduh tadi. Lumayan bisa mengusir lelah dan rasa kantuk. Sebagai supir mobil ambulance rumah sakit sudah biasa harus bekerja jam berapapun. Seperti malam ini.
Saat tiba di lampu merah perbatasan menuju luar kota, sebuah pesan masuk. Aku sempatkan membuka isi pesan yang ternyata dari atasanku.
[Aiman, kamu antar jenazah itu sendiri enggak apa-apa, kan? Apa mau minta ditemani? Kebetulan, tadi keluarga yang rencana mau ikut mengantar keluar kota justru kecelakaan di jalan tadi, kondisinya parah dan baru saja dikabari sudah meninggal.]
Deg,
Astaghfirullah, terus siapa yang ada di belakang bersama jenazah tadi. Bukannya ada perempuan yang mengaku anaknya ikut naik dan mendampingi. Aku segera menepi untuk mengecek kondisi jenazah di belakang mobil ambulance, betapa terkejutnya ternyata tidak ada siapapun. Hanya aku dan jenazah yang akan kuantar.
Tubuhku terhuyung, mendadak gemetar hebat.
Selesai
Jogja, 6 Februari 2021
Mantap
BalasHapus