***Mitos di tempat saya saat kecil. Mungkin setiap daerah beda.
Hujan deras baru saja berhenti. Menyisakan rintik air yang terus jatuh membasahi bumi. Suasana paling menyenangkan untuk bocah seumurku. Ada wahana bermain seru dan memacu adrenalin. Meski tahun depan aku sudah mau SMA, tapi bermain air di sungai setelah hujan tetap menjadi kesukaanku.
Apalagi saat sore, waktu terbaik untuk bermain di sungai bersama teman-teman. Biasanya setelah hujan air sungai melimpah ruah, arusnya menjadi lebih deras, meski keruh dan berwarna kecoklatan. Akan tetapi buatku itu tidak masalah.
Selagi masih aman untuk bermain, pantang buatku untuk takut. Seperti sore itu setelah solat asar aku berencana mengajak Wawan dan Bagus untuk ke sungai. Seru kayanya main pelampung dari ban bekas mobil besar. Kebetulan aku punya. Tiga hari lalu sudah aku pompa di bengkel motor.
"Mak, aku mau main sama Wawan dan Bagus ya," pamitku pada Mamak.
"Mau kemana?" Teriak Mamak dari dapur.
"Mau main ke sungai, cari ikan, kalau habis hujan pasti airnya banyak, ikannya juga, Mak," jawabku.
"Sekalian mandi ya, Mak," lanjutku.
"Sudah mau gelap, enggak usah aja, tar ada Lampor lo! Kemarin anaknya bude Warsih hampir tenggelam karena badannya seperti terikat rambut panjang," ucap Mamakku serius.
Memang dua bulan terakhir kampungku dan beberapa kampung tetangga gempar tentang kabar ada mahluk penunggu sungai. Kalau di tempatku disebutnya Lampor. Makhluk berwujud kepala dengan rambut sangat panjang. Konon panjangnya mengikuti aliran sungai.
Sudah ada tiga orang korban berbeda yang nyaris tenggelam dan terbawa arus. Beruntung semua masih selamat. Rentetan kejadian itu hampir semua sama persis ceritanya. Terikat rambut panjang dan tenggelam. Ada yang sempat terbawa arus hingga berpuluh-puluh meter dan ditemukan pingsan.
"Cuman sebentar aja ko, Mak. Pumpung airnya deras,"
Mamak tampak tidak suka, namun aku tetap nekat melakukannya. Aku bergegas ke rumah Wawan, kami janjian di sana. Aku sedikit berlari menghampiri Wawan yang sudah berdiri menungguku bersama Bagus. Di leher keduanya terpasang ban dalam bekas yang sudah di tiup juga.
"Yuk! Keburu gelap," ajakku tidak sabar.
Wajah kedua temanku semringah. Kami bertiga paling hobi bermain di sungai.
"Kita start di dekat kuburan aja, di situ kan airnya deras, terus jalan menuju ke sungai juga tidak terlalu terjal. Lebih mudah," saran Wawan.
"Ih, enggak mau, serem tahu lewat kuburuan, apalagi habis hujan pasti horor," timpal Bagus.
Hatiku menciut juga mendengar saran Wawan. Akan tetapi aku memilih diam saja mendengar kedua temanku adu pendapat. Kuburan yang dimaksudkan Wawan letaknya ada di hulu sungai, memang terkenal wingit. Apalagi pohon asem yang berada di tengah kuburan. Umurnya sudah ratusan tahun. Diameter batangnya hampir satu setengah meter dan ada lubang besar di tengahnya. Banyak sekali kelelawar yang bersarang di sana.
Setelah berdebat cukup lama, akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti saran Wawan. Aku berjalan paling belakang. Entah rasanya menjadi berbeda, ada desir rasa tidak enak.
Saat memasuki batas makam dan kampung, suara gerampong sejenis serangga hutan terdengar nyaring dan bersahutan. Kami harus melewati belukar cukup banyak.
Aku merasakan hembusan angin datang tidak wajar. Rasanya dingin mengigit, dan berhasil membuatku bergidik. Apalagi aku hanya memakai celana pendek dan kaos oblong tipis. Serasa menusuk tulang.
"Pelan-pelan woi!" Teriakku pada dua temanku yang sudah jauh meninggalkan.
"Katanya keburu malam, buruan!" jawab Wawan.
Aku tegopoh berjalan melewati belukar. Musim hujan membuat rerumputan tumbuh tinggi di jalan menuju kuburan.
"Iya, tapi enggak harus cepet banget gitu kali," protesku.
Baru saja mulut tertutup, mendadak kakiku tersandung sesuatu.
"Awh," teriakku dan akhirnya jatuh tersungkur.
Aku berusaha bangkit, meski ada nyeri di pergelangan kaki.
Sial. Apa itu tadi, rasanya tidak ada apapun yang menghalangi jalan, kenapa aku bisa jatuh. Aku tetap duduk agar sedikit tenang.
Baru saja mau berdiri, aku melihat ada bongkahan mirip jasad terbungkus kain putih. Tergeletak dengan bagian ujung seperti terikat. Sontak tubuhku bergetar. Aku berusaha bangkit mengejar Wawan dan Bagus.
"To-to-loong ... Wawan ... Bagus ...."
Aku lari tunggang langgang, sampai di depan Wawan dan Bagus aku sedikit lega.
"Kenapa kamu, Bin? Kaya orang dikejar hantu aja," tanya Bagus heran.
"Iya, tumben sampai pucet banget mukannya," timpal Wawan terkekeh.
"Kalau aku cerita pasti kalian enggak percaya, barusan aku kesandung pocong," jawabku masih terengah-engah.
Kedua temanku langsung tertawa terbahak-bahak. Sampai rongga dada keduanya bergerak naik turun.
"Ish, kalian enggak percaya kan? Aku punya firasat enggak enak nih. Kita pulang aja, yuk!"
Bukannya takut, Wawan dan Bagus makin tertawa mendengar ajakanku.
"Lah, yang ngajakin kita siapa, kan kamu Bintang? Mosok sekarang nyuruh kita pulang? Lagian sore-sore gini ada pocong, pasti kamu salah lihat," jawab Wawan sengit.
Aku tidak membatah sedikitpun apa yang mereka katakan, aku pasrah dan akhirnya tetap melanjutkan rencana selanjutnya. Bermain ban bekas di sungai.
Sebentar lagi masuk komplek makam. Ada gerbang bertuliskan Sasonoloyo. Degub jantungku makin kencang. Suara-suara hewan asing terdengar, semakin membuatku bergidik, takut.
"Nanti kalau mau masuk ke makam, doa dulu, permisi dan salam!" Bagus mengingatkan.
Aku dan Wawan hanya mengangguk. Kami berjalan mengular, aku memilih di tengah, agar aku tidak tertinggal lagi. Bersyukur, saat melewati makam tidak ada kejadian menakutkan lagi. Aku pun bersiap-siap untuk naik ban bekas yang sudah kubawa.
"Lumayan deras airnya, ati-ati ya!" Wawan mengingatkan, ia paling tua diantara kami.
Aku segera melompat ke atas ban, begitu juga Wawan dan Bagus.
"Nanti kita berhentinya di hilir, kalau airnya seperti ini enggak butuh waktu lama. Kalau sudah dekat dan ada kesempatan menepi langsung ke pinggir saja!" lanjut Wawan.
"Siap, Kakak!" Aku dan Bagus kompak menjawab.
Aku ambil posisi terlentang, banjir sungai tidak terlalu besar. Hanya naik debitnya sedikit, tidak terlalu bahaya jika untuk bermain. Ban bekas mobil yang kunaiki mengalir mengikuti arus air. Sambil memandang langit yang terlihat masih sedikit gelap sisa hujan, dan beberapa pemandangan ranting pepohonan rindang sepanjang sungai.
Entah, tiba-tiba aku teringat saat jatuh tersandung tadi. Aku kembali merasakan ada desir aneh. Aku yakin betul itu pocong yang tergeletak. Kainnya memang dipenuhi tanah, tapi aku masih bisa melihatnya jelas ada ikat di ujungnya.
"Astaghfirullah." Wajahku kuusap kasar. Ngapain juga mengingat hal seram itu, jadi mendadak takut begini. Gelisah menggelayut hebat, tiba-tiba ban yang kutumpangi mengalir deras, aku sedikit kehilangan kendali.
Sial! Kenapa jadi begini, aku mencoba meraih ranting di pinggiran tapi tidak berhasil. Apapun aku coba raih demi bisa berhenti, namun naas di depan persis ada batu besar. Tubuhku terpelanting masuk air setelah ban bekas terbalik karena mengenai batu itu. Aku berenang sekuat tenaga, mencoba muncul ke permukaan.
Namun, aku merasakan ada sesuatu melilit tubuhku kuat, aku sangat penasaran apa yang terjadi. Akan tetapi mataku tidak bisa terbuka, bisa resiko kemasukan air keruh dan membuat sakit. Aku hanya meraba dengan kedua tangan dengan terus berusaha berenang dan muncul kepermukaan.
Ya Allah, mungkin aku mau mati. Pikiranku terus berkecamuk, aku tahu dan yakin sesuatu itu mirip rambut. Jumlahnya banyak dan sangat kuat. Aku kembali teringat dengan nasehat Mamak yang kuabaikan tadi.
Lampor, ini pasti makhluk itu. Aku terus berdoa dalam kalut, minta pertolongan dan keajaiban pencipta.
Beruntung tubuhku seperti terdorong ke atas, sehingga bisa mengambil napas segera. Rasa lega hilang seketika tatkala tubuhku kembali tertarik ke dalam air, kali ini lebih kuat. Tanganku berusaha sekuat tenaga melepaskan lilitas yang menarikku.
Pasti ini akhir hidupku. Aku berdoa sebisanya, apa saja minta kembali mendapat pertolongan. Tenagaku hampir habis, bersuara pun rasanya tidak sanggup. Aku pasrah.
"Bintang, bangun! Bintang, ini Mamak, Nak!"
Mataku mengerjap, kaget sudah banyak orang disekitarku. Mamak terlihat menangis, dan segera memelukku.
"Ya Allah, terima kasih anakku selamet," ucap Mamak terbata.
"Kamu kalau di bilangin Mamak jangan nglawan, lihat apa yang terjadi. Beruntung kamu selamat, tadi Wawan dan Bagus panik minta tolong sama orang kampung. Kamu hilang. Hanya ada ban bekas yang kamu pakai tadi,"
"Untung tetangga pada baik, tadi kamu hanyut dan sudah tidak sadar. Pingsan. Bang Satya yang kebetulan sedang di pinggir sungai berhasil menolongmu, Nak!" lanjut Mamak sambil erat memelukku.
Aku terdiam, merasa bersyukur masih diberi kesempatan hidup. Sejak itu aku percaya misteri Lampor yang diceritakan orang kampung memang benar adanya. Hanya saja aku memilih menyimpan cerita itu sendiri. Takut membuat orang kampung semakin percaya.
Selesai
Jogja, 16 Februari 2021
Serem bang
BalasHapus