SANTET
Semua nama tokoh di samarkan.
Namaku Dewi anak ke-4 dari 4 bersaudara, aku akan menceritakan sebuah kejadian yg pernah menimpa keluargaku, sebelumnya aku akan kasi gambaran seperti apa keluargaku ini.
Bapakku seorang muslim yang taat, beliau punya toko baju di pasar kecamatan. Ibuku seorang renternir desa tapi bukan renternir kejam seperti di film-film yang kalau gak bisa bayar tagihan menyita barang barang rumah. Haha bukan seperti itu.
Aku hanya tinggal sama Bapak dan Ibu, karena semua kakakku sudah berkeluarga dan ikut suami.
Baiklah cerita aku mulai dari kejadian pertama.
Waktu itu tahun 2007, aku lupa bulan berapa tepatnya.
Aku nganggur setelah lulus sekolah, jadi kegiatanku hanya membantu Bapak jualan di pasar. Jarak pasar ke rumah -+ 3km.
Aku ingat cuaca siang itu sangat cerah dan pasar masih ramai seperti biasa, karena pasar di sini hanya pasaran seperti pon dan legi, jadi akan ramai dari pagi buta sampai sore hari.
Tiba-tiba dari arah timur terlihat seperti awan hitam gelap melaju cepat menuju arah pasar di sertai angin yang luar biasa kencang, tempat yg terlewati awan itu menjadi sangat gelap, aku lihat jam tanganku menunjukkan pukul 1 siang, tp suasana sudah seperti jam 7 malam. Angin kencang memporak porandakan dagangan yang sontak membuat para pedagang panik, mereka langsung memasukkan dagangan mereka tak terkecuali aku dan ayahku, ayahku sibuk merapikan baju baju yang di gantung di depan toko, dan aku merapikan yang berserakan di lantai.
Anak anak yang ikut orang tuanya kepasar teriak "tsunami tsunami"
Yah tentu saja bukan tsunami, mereka tidak tau apa apa, mereka hanya belum bisa move on dari tsunami aceh desember 2006 yg sampai waktu itu masih menjadi berita utama di tv.
Sambil tetap merapikan dagangan, aku mendengar obrolan para pedagang yg ngumpul di samping lapakku
"kalo ini sih kiriman.." Celetuk salah satu pedagang
"iya.. ini seperti kiriman" sahut pedagang yg lain.
Para pedagang tidak langsung pulang setelah selesai merapikan dagangannya, karna angin kencang dan awan gelap masih belum beranjak pergi dari pasar.
Aku tau apa yang mereka maksud dengan kiriman, tapi aku diam saja.
"Baca doa yg kamu bisa"
alih alih ikut menanggapi, Bapakku memintaku untuk membaca do'a. Aku hanya mengangguk, meskipun sedari tadi aku juga sudah merapalkan doa yang aku bisa. Aku lihat ke langit, merasa aneh karena awan gelap seperti hanya menyelimuti langit pasar, tp aku enggan berfikit macam macam. Sampai dirumah aku tanya ke Ibuku.
"Bu, apa di sini juga terjadi angin kencang dan awan gelap?"
"cuma lewat sebentar tadi" Sahut tetanggaku yang lagi bertamu di rumah.
Aku kemudian menceritakan kalo di pasar kejadiannya lumayan lama.
Kejadian berikutnya
Hanya selang kurang lebih 3 hari dari kejadian di pasar waktu itu.
Aku sedang di rumah bersama keponakan pacarku yg kebetulan main kerumah. Bapakku sedang di pangkalan ojek pojok kampung.
Pangkalan ojek itu dulu yang mendirikan Bapakku, dulu masih ramai karena belum banyak yang punya motor pribadi, dan pojok kampung itu merupakan pertigaan yang menghubungkan desa lain yang tidak terjangkau angkutan umum.
Saat itu sekitar jam 3 siang tiba tiba hujan turun tidak deras tapi di sertai angin kencang beserta petir. Tidak ada awan hitam seperti beberapa hari lalu, tapi kali ini angin dan petirnyanya sungguh luar biasa, aku dan putri (keponakan pacarku) yang ketakutan dari semula di ruang tamu pindah ke ruang tengah, kemudian terdengar suara ledakan yg sungguh kencang tepat seperti di atas rumah. Aku dan putri berpelukan ketakutan. Ibuku terlihat santai saja melanjutkan kegiatan memasak seperti tidak terganggu dengan ini semua. Kemudian selang beberapa menit terdengar lagi suara ledakan yg jauh lebih besar dari sebelumnya. barengan dengan ledakan itu, genting ruang tengah tepat diatasku terangkat ke atas.
Aku bisa melihat langit karena tinggi genteng yang terangkat serentak. Saat itu atap rumah hanya genteng saja tanpa paflon / ternit. Aku dan putri ketakutan setengah mati karena saat genteng terangkat, air hujan dan kotoran yang menempel di genteng masuk semua menimpa kita yang berdiri di bawahnya. seperti berada diruangan tanpa atap. Dan anehnya berapa detik kemudian genteng itu turun kembali seperti semula tanpa ada yg merosot/ menggeser atau pecah. Sungguh di luar nalar, normalnya saat genteng itu turun lagi sudah banyak yang pecah. Beberapa menit kemudian semua kembali normal, tapi ada yang mengganjal di pikiranku, selain genteng kembali ke posisi semula tanpa menggeser sedikitpun dan dua kali suara ledakan, aku semakin yakin kalau itu bukan suara petir.
Sungguh berbeda dengan suara petir, aku sangat yakin itu.
Tapi aku tidak berfikir negatif dan sama sekali tidak mengaitkan dengan kata kata pedagang pasar waktu itu yg membahas soal "kiriman"
Sungguh, aku tidak berfikir sampai kesitu, aku pikir ini kejadian alam biasa.
Beberapa bulan kemudian aku sudah bekerja di mall di jogja, aku tidak lagi bisa membantu Bapakku, paling Ibuku yang menggantikan Bapakku saat Sholat Jum'at, karna Bapakku kalo sholat Jumat selalu pulang kerumah tidak pernah sholat di masjid pasar. Beberapa minggu di jogja, hampir tiap hari Bapakku selalu menanyakan kabarku. Di antara saudara saudaraku, akulah orang terdekat dengan Bapak, aku bahkan terang terangan lebih menyayangi Bapakku daripada Ibuku.
"Ah aku pikir semua kakakku juga sama, hanya saja aku yg terlihat terang terangan"
Well, aku bukan orang yang pandai bersandiwara.
Kenapa anak anak lebih sayang ke Bapak daripada Ibu? Karna perbedaan sikap yg begitu jauh. Bapak yang sabar dan penyayang sedangkan Ibuku pemarah. Bapak yang banting tulang untuk mencukupi keluarga dan Ibuku yang uangnya tidak pernah sedikitpun untuk keluarga bahkan untuk anak anaknya.
"Masa bodoh dengan kebutuhan keluarga dan anak anak".
Tapi Bapakku sama sekali tidak mengeluh,
"duit ibumu bukan duit halal, tidak usah berharap lebih dari ibumu"
Selalu itu yang Bapak ucapkan. Bukan bermaksud untuk menghasut agar membenci Ibuku, justru Bapak ingin memberi pengertian ke anak anaknya yang kadang merasa sedih, kenapa Ibu tidak pernah peduli dengan kebutuhan kami, padahal punya uang banyak, perhiasan banyak.
"Punya Istri renternir, apa Bapakku tidak menasehati?"
Tentu sudah berkali kali, bahkan Bapakku menawarkan Ibuku untuk memilih mukena terbaik yang Ibuku suka hanya demi melaksanakan kewajibannya sebagai muslim. Tapi Ibuku masih belum mau melaksanakannya. Kata Bapak
"kalo sudah di nasehati berkali kali tetap keras kepala, sudah gugur kewajibannya" Ucap bapakku
"Kenapa Bapak tidak meninggalkan Ibuku?" Tentu saja Bapak bukan orang seperti itu, menerima sebagai Istri berarti siap menerima apapun kelebihan dan kekurangannya. Bapak yakin suatu saat Ibu di bukakan pintu hidayah, sebagai suami tak lupa meminta kami untuk tetap mendoakan Ibu.
Entah kenapa beberapa hari ini perasaanku tidak enak, aku merindukan Bapak, biasanya Bapak telpon tapi beberapa akhir akhir ini Bapak tidak menelponku. Aku memutuskan untuk menelpon ke nomer Bapak. Aku agak kecewa karena yang menerima Ibuku.
" Bapak dimana bu? Bapak sehat?" Tanyaku
"Bapak baik baik saja, lagi ke warung nduk" Jawab ibuku
Baiklah aku tutup telponnya. Tapi entah kenapa aku masih merasa tidak tenang, perasaanku benar benar tidak enak. Esok harinya aku kembali menelfon ke nomor Bapak, lagi lagi Ibuku yang menerimanya. jawabannya seolah semua baik baik saja.
"Bu, nanti kalo Bapak pulang suruh telpon aku ya? "
Tapi sampai berganti hari Bapak tak kunjung telpon. Aku coba telp lagi dan tetap Ibuku yg angkat, katanya Bapak tidak punya pulsa. Tp aku ngerasa aneh, sangat jarang Bapak meninggalkan hpnya meski alasan Bapak kewarung, hp di carge lah ini itulah tapi kalo sampai berkali kali selalu Ibuku yang angkat. Meski aku tetap positif thingking tapi tetap saja aku ngerasa ini aneh.
Hari berikutnya aku berencana menelpon kembali, tp aku pikir nanti malam saja yang memungkinkan Bapak sedang di rumah. Baru mau naruh hp, ada sms masuk.
"Dewi, Bapakmu sudah 4 hari sakit gak bisa apa apa cuma terbaring di rumah, kakak kakakmu blm ada yang pulang jenguk" Isi pesan singkat dari tetanggaku
DEG! terjawab sudah kenapa beberapa hari ini perasaanku tidak enak. Kenapa Ibuku menutupi sakitnya Bapak? Sedih banget aku dengernya, 4 hari sakit gak bisa beraktivitas dan selama 4 hari itu pula aku coba telpon yang Ibuku menutupinya. Ada perasaan sedih, jengkel jadi satu. Aku tau persis sifat Ibuku, dia selalu iri jika anak anak lebih dekat dengan Bapak tapi dia tidak pernah mencoba memperbaiki sikap agar kami nyaman dekat dengannya. Tapi menutupi sakitnya Bapak dan tidak ada satupun anak yg di kabari itu sungguh keterlaluan. Aku tidak tau, apakah kakak²ku ini juga merasakan perasaan tidak enak beberapa hari ini? Atau mereka biasa aja.
"Ah sudahlah aku ingin segera pulang ke rumah"
Jarak dari jogja ke rumah tidak sampai 2 jam.
Aku tidak mau menyebutkan kotaku dimana. Tidak perlu juga mencari tau. Nikmati saja ceritanya, ambil hikmahnya.
***
Aku sampai dirumah, ternyata kakak ketigaku sudah di rumah. Ya benar, Bapak hanya terbaring lemas tapi masih bisa bicara. Aku menangis memeluknya, tentu saja karna aku anak yg paling dekat dengan Bapakku, 4 hari ini Bapak tidak makan, hanya minum karena tenggorokan terlalu sakit untuk menelan makanan. Dan kepala seperti di tusuk tusuk katanya.
Yang membuatku sedih kenapa tidak mencoba jelly drink atau minuman sereal biar setidaknya mengurangi lapar. Daripada menanyakan ke Ibuku aku memilih langsung mencarikan jelly drink dan sereal. Aku juga tidak menanyakan kenapa menutupi sakitnya Bapak. Aku terlalu malas.
Saat membuatkan minuman sereal, kakak keduaku menelfon, menanyakan apa yang di rasakan Bapak biar nanti di carikan obatnya. Karena Bapak tidak mau opname hanya minta di panggilkan dokter tetangga desaku yang sering memeriksa tensi darahnya. Bapakku punya riwayat hipertensi tapi kali ini kata dokter, tensi Bapak normal, dan sakit yang di rasakan Bapak itu tidak ada hubungannya dengan hipertensinya. Oiya saat masih terhubung dengan kakakku, Ibuku menyela ingin bicara dengan kakakku reni.
"Ren.. Ibuk juga sakit, beliin obat juga ya.., uhuk uhuk, nih Ibu batuk"
You know what? Itu suara batuk jelas di buat buat.
Bapakku yang sakit tersenyum melihat tingkah Ibuku. Begitu juga aku dan Kakak ketigaku yang saling pandang tanpa kata.
"Drama queen" batinku.
Memang begitulah sifat Ibuku. Bisa dibilang toxic people tapi kita semua sebenernya menyayanginya meski sering muak dengan sifatnya. Andai Ibuku tau, kita hanya ingin Ibu merubah sikap, maka kita juga akan dekat dengan Ibu seperti kita dekat dengan Bapak. Dan Ibu tidak perlu drama ini itu hanya untuk mendapatkan perhatian. Sebenernya Ibuku ini sering menghasut kami untuk membenci Bapak, seolah Ibu yg terdzalimi.
Terdzalimi karna apa? nanti kalian akan tau.
Dan karena kami anak anak mampu membedakan mana yang benar dan yg salah, makanya hasutan untuk membenci Bapak itu sama sekali tidak membuahkan hasil.
"Jadi ya sok drama cari perhatian gitu" Oh mommy"
Beberapa hari kemudian Alhamdulillah Bapak sembuh. Aku kembali ke jogja kembali dengan aktivitasku. Dan komunikasi dengan Bapak juga kembali lancar. Aku sudah mendapatkan gaji, aku sudah bisa memberi sedikit hasil kerjaku ke Bapak meski Bapak tidak pernah memintanya.
"Kenapa aku tidak memberi Ibuku?" karena Uang Ibuku banyak, bahkan kalo aku memberikan seluruh Gajiku, itu gak akan ada artinya buat Ibuku.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan.
Aku Ingat saat itu pulang kerja aku main ke alun alun utara di jogja. Sekedar ngobrol santai. Tiba-tiba kakak keduaku telp. kakak keduaku ini adalah kakak yang paling dekat denganku. Meski umur kita terpaut hampir 10th tapi kedekatan kita gak hanya seperti kakak adik, melainkan seperti temen. kalo ada masalah menyangkut keluarga pasti kakakku ini yang aku kabarin duluan, begitu juga sebaliknya.
Percakapan dalam telfon.
"Dev, lagi apa, dah plg kerja blm? ada yg mau aku omongin penting"
"udah pulang tp lagi maen di alun². Ada apa mbak?"
" tadi Bapak ke tempat kerja cerita sambil nangis, trus aku ajak pulang cerita di rumah."
"Bapak nangis? Knp mbak?"
"Kata Bapak, pas sakit waktu itu Bapak di santet sama Ibuk. Mungkin Bapak bingung pengen cerita ke siapa jd tadi ke tempat kerjaku"
Jujur aku langsung lemes, aku berjalan menjauh dari temenku, aku gak mau temenku denger.
"gimana ceritanya.."
"kamu ngerti mbak yanti yg suaminya dalang itu?"
"iya tau, kenapa?"
"Dia punya utang sama Ibuk 500rb. Tadi Bapak di minta Ibuk anter ke rumah suaminya di kota untuk nagih karna ngutangnya udah lama. Ibu minta Bapak nunggu di gang karna ini urusan pribadi biar Ibuk aja yg nagih kerumahnya gitu kata Ibuk. Sewaktu Ibuk di rumah mbak Yanti, suaminya Mbak Yanti ketemu Bapak di gang arah rumahnya, Kemudian basa basi minta Bapak mampir sekalian ke rumah. Nah sampai di rumahnya ternyata Ibuk dan Mbak Yanti ini lagi ribut.
"Nah Pak Dhe!!ini Bu Dhe kesini mau nagih utang. Orang duitnya sudah buat bayar dukun kok mau di minta lagi." Kata mbak yanti ke Bapakku yg baru memasuki pintu rumahnya.
"Dukun apa?" Bapakku bertanya balik
"Sudah sudah kalo ga mau bayar utang! Ayok Pak kita pulang!" Kata Ibuku sambil menarik lengan Bapakku dan segera beranjak keluar rumah.
Tapi Bapakku bertahan, ada yg masih membuat Bapakku penasaran dan berharap mendapat kejelasan perihal dukun yg sempat di singgung mbak yanti.
"Bu Dhe minta duit yg aku pinjam ini tidak usah di kembalikan, sebagai imbalannya suruh mencarikan Dukun untuk menyantet Pak Dhe, karna santetnya gagal, Pak Dhe tidak mati maka Bu Dhe mau minta duitnya balik" kata mbak Yanti dengan masih emosi.
Bapakku langsung lemes mendengar penjelasan mbak yanti
"Tidak! Tidak bener itu! Kamu jangan mengada-ada!" Teriak Ibuku.
"Diam dulu kamu!" Bentak Bapakku ke Ibuku.
"Dukune orang mana, antar aku ke tempatnya!" Lanjut Bapak,
kali ini ucapannya di tujukan ke mbak yanti dan suaminya. Kemudian Bapak di anter ke rumah Dukunnya. (aku sampai sekarang tidak tau, itu dukun satu kampung sama mbak yanti atau beda kampung)
Sampai di rumah dukunnya yang merupakan temannya suami mbak Yanti yang berprofesi sebagi dalang, Bapak di tunjukkan kaos dalam milik Bapak yg di gunakan sebagai media santet.
"Astaghfirullah, kenapa kamu tega sampai berfikiran untuk mencelakai ku Buk! Itu Musyrik namanya! Dosa besar kamu Buk!" Jelas bapak
Ibuku cuma diam saja. Setelah Bapak bisa menguasai diri, Bapak mengajak Ibu pulang.
Tentu saja pikiran Bapak terganggu dengan yang baru saja terjadi. Ingatan saat sakit waktu itu, kejadian hujan angin di rumah dan ledakan keras di atas rumah menjadi rentetan kejadian yang sekarang terasa begitu masuk akal. Sakit hati, kecewa, sedih menyatu menjadi satu.
Mungkin Bapak butuh seseorang untuk berbagi, sedikit meringankan beban pikirannya. Dan Bapak memutuskan menemui Mbak reni di kerjaannya. Mencurahkan segala isi hati dengan berlinang air mata yang tak sanggup lagi di tahan.
kalian bisa bayangkan seseorang yang hidup bersama selama puluhan tahun melewati segala suka dan duka tega mau membunuhnya.
karena dendam dan sakit hati membuat ibuku melakukan hal itu.
Suara orang orang terdengar ramai dalam kantin, bercanda gurau, tertawa dan sibuk dengan aktivitasnya. Di pelabuhan tanjung priok Bapak bekerja sebagai security.
Saat itu aku belum lahir, tapi aku tahu persis ceritanya.
Bapak bekerja kontrak di daerah Cilincing, dan keluargaku diboyong ikut semua ke Jakarta. Yang namanya Jakarta dari dulu kala selalu bermasalah dengan Banjir. Tapi Banjir dulu itu lebih "menjijikkan" karena begitu banjir tiba, bukan hanya sampah tapi (maaf) kotoran manusia ikut menggenang dimana mana.
*Mohon maaf sebelumnya untuk warga Jakarta, saya tidak ada maksud menghina / menyinggung. Saya hanya menceritakan sesuai pengalaman keluargaku th 80.an
Karena ibu termasuk orang yang menjaga kebersihan, seiring berjalannya waktu, Ibu merasa tidak betah tinggal di Jakarta dan ingin pulang kampung saja. Kakak kakakku juga terserang gatal-gatal kulit, mungkin karena tidak cocok airnya, akhirnya Bapak Pun mengijinkan Ibu dan kakak pulang kampung. Agar punya kegiatan dan tambahan penghasilan, Ayahku membukakan warung kelontong untuk Ibuku.
Ibuku dulu termasuk wanita berparas cantik, banyak yang menyukainya. Terlebih saat itu Bapakku di Jakarta dan Ibuku di kampung. Banyak lelaki hidung belang yang tak lain tetangga sendiri mencoba menggodanya. Sering belanja ke warung hanya demi dekat dengan Ibu. Warung kelontong di pinggir jalan kampung, sedangkan rumahku masuk gang sedikit. Jadi kalo kakak pertamaku sibuk ngurus adik adiknya di rumah, Ibu sendirian jaga warung. Muncul kabar tak sedap, dari Ibu ibu yg jengkel karena suaminya menggoda Ibuku atau mulut tetangga yang menggosipkan Ibuku selingkuh. Gosip sampai terdengar ke keluarga Bapakku, karena kampung ini asli kampung kelahiran Bapak otomatis keluarga Bapak juga tinggal di kampung ini. Namanya di kampung ada gosip apapun, cepet banget nyebar nya ya kan. Bulik Ku (adik Bapak) kemudian menceritakan ke Bapak saat Bapak pulang kampung.
Singkat cerita, Bapak menikahi janda anak 1 secara siri. Tentu saja sudah ijin Ibuku, entah Ibuku merestui atau tidak, aku kurang paham. Mungkin juga karena gosip itu sedikit mempengaruhi Bapak, hingga ia memutuskan untuk menikah lagi. Dan itu menjadi alasan utama Ibuku sakit hati dengan Bapakku. Tapi bagi Bapak, menikah siri itu tidak menyalahi agama, bahkan jika menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pun ada yg menganggapnya sah #Cmiiw
Tapi bukankah itu sudah lama? Dan kenapa baru menyantet setelah puluhan tahun kemudian?
Seperti yang aku bilang, itu awal mula Ibu sakit hati dengan Bapakku. Tapi itu blm membuat Ibuku memikirkan untuk menyantet.
Saat Itu Ibu hamil anak ke-4. Dan menurut Ibu, saat kakakku sakit, Bapakku sedang bersenang-senang karena Istri sirinya juga baru melahirkan bayi perempuan.
Hingga beberapa bulan kemudian kakakku, meninggal dunia. Saat meninggal itu Bapak masih di Jakarta, anaknya yang di jakarta baru usia -+ 2bln. Ibuku sakit hati karena saat anaknya sakit dia ngurus sendiri dan sampai anaknya meninggal, Bapak tidak menyaksikan sampai prosesi pemakaman.
Bapak juga merasa sangat terpukul. satu satunya anak laki-laki di keluargaku sekaligus anak laki-laki yang di idam idamkan Bapakku meninggal. Ibuku stres berat dan hampir gila setelah meninggalnya kakakku itu, hingga Bapakku mustahil meninggalkan Ibuku dan memutuskan resign dari kerjaannya di Jakarta dan menetap di kampung. Gimana gak stress, Anak sakit sampai meninggal, suami sedang bahagia dengan istri muda. Berat memang.
Dilema buat Bapak. Tidak mungkin meninggalkan Istri yang sedang stress berat, tapi di sisi lain, di Jakarta anaknya juga masih Bayi.
Setelah resign, Bapak alih profesi sebagai tukang ojek. Tahun itu Jasa ojek masih laris manis, di kampung yang mempunyai motor masih hitungan jari. Setahun kemudian aku lahir. Bapak sudah tidak pernah ke Jakarta.
Merasa bersalah? Tentu saja.
Tapi Bapak tidak melupakan tanggung jawabnya untuk memberi nafkah. Tiap bulan Bapak mengirimkan uang tentu saja tanpa sepengetahuan Ibuku. Hingga krisis ekonomi melanda waktu itu membuat Bapak kesusahan mengirimkan uang. Apalagi menjenguk keluarga di jakarta. Ibuku selalu ngamuk tiap kali Bapak berencana untuk ke jakarta.
Hingga aku menginjak umur 15, Bapak belum sekalipun kembali ke Jakarta. Rasa bersalah selalu menghantui. Akhirnya saat Bapak diberikan rezeki lebih, Bapak nekat ke Jakarta tujuannya hanya demi Anaknya. Lebih dari 3bln tidak memberi nafkah lahir batin sudah tidak berharap lagi Istri siri mau menerima. Bahkan jika istri sirinya sudah menikah lagi pun Bapak ikhlas. Bapak hanya ingin bertanggung jawab atas anaknya.
***
Pertemuan Bapak dan anak itupun terjadi. Penuh haru dan air mata. Pernah anaknya diajak ke kampung di kenalkan dengan keluarga di kampung. Semua menerima dengan baik. Terlebih denganku yang umurnya berjarak 1 th, kita akrab banget. Dari situ mulailah hubungan kami dengan anaknya. Dia seperti menghidupkan dua keluarga. Meski hubungan dengan istri sirinya sudah di anggap selesai, tapi yang penting hubungan kita baik. Kecuali Ibuku. Meski di depan mbak sarah bersikap baik, tapi di hatinya jengkel karena Bapak beberapa kali rutin ke Jakarta, sering telp, kirim uang untuk anaknya di jakarta dan Ibuku mengartikannya itu juga untuk mantan istri sirinya.
Dari situlah muncul dendam. Niat Bapak sesekali ke Jakarta hanya untuk mbak sarah. Nanti kalo mbak sarah udah nikah biar gantian mbak sarah yang menjenguk Bapak. Semakin tua, semakin memperbaiki Ibadah.
Tentunya semakin merasa dihantui perasaan berdosa jika tidak bertanggung jawab terhadap anak. Minimal sampai anak itu menikah dan menjadi tanggung jawab suaminya. Begitu pikir Bapak.
Tapi Ibuku yang kurang ngerti ilmu agama tentu saja berpikiran lain. Dengan kedekatan Bapak dan mbak Sarah, Aku dan Mbak Sarah, Ibuku merasa di hianati. Seringkali jika mbak Sarah kirim surat dan kebetulan Ibuku yg menerima, Ibuku balas dengan mengatasnamakan keluarga di kampung, tidak pernah di sampaikan ke Bapak. Entah apa isinya hingga lama sekali mbak sarah tidak kirim surat, bahkan Bapak kirim surat tidak pernah di balas. Telpon Pun juga tidak pernah bisa bicara langsung dengan mbak Sarah. Berbagai macam alasannya. Karena yang punya telpon ini pamannya mbak Sarah, jadid kalo Bapak telp, dipanggilkan dulu. Begitu.
***
Kebencian semakin besar dihatinya, hingga muncul pikiran untuk mencelakai Bapak lewat santet.
Gimana? sudah paham kan kenapa Ibuku sampai tega melakukan itu?
kalian mau tau hubungan Bapak dan Ibu setelah pulang dari rumah dukun waktu itu?
jam 3 dini hari, Ibu mengetok kamar Bapak. (Sudah lama sejak aku masih sekolah mereka tidur beda kamar meski aku tau masih sering berhubungan)
Saat itu Bapak pun tidak bisa tidur, pikir Bapak, Bapak sudah siap kalo begitu buka pintu, tiba² Ibuku nusuk Bapak. Dengan Bismillah Bapak buka pintu dan tiba tiba Ibuku sujud menangis dan meminta maav di hadapan Bapak. Bapak Pun memaafkan dan meminta Ibuku bertobat karena sudah menyekutukan Allah SWT.
Paginya Bapak ajak Ibuku ke rumah Kyai untuk mengucap syahadat lagi. Karena saat itu Ibuku meyakinkan ingin tobat, maka di anjurkan untuk ikut Thoriqoh. Di jelaskan juga syarat syaratnya. Bapakku pun setuju, Mungkin dengan itu Ibuku jadi bener-bener hanya fokus Ibadah, meninggalkan dunia renternir dan bertobat nasuha.
Bapakku meninggal malam lebaran 27 juli 2014 menghembuskan nafas terakhir tepat setelah mendengar takbir berkumandang.
Bapak meningal habis Isya' malam takbir lebaran dan langsung di makamkan, karena lebih cepat lebih baik. Lagian akan merepotkan jika di makamkan paginya karena harus sholat ied. selesai pemakaman -+ jam 10 malam. Aku langsung masuk ke kamar Bapak, aku ingin sendiri dan menangis di kamar Bapak.
Tapi..
Begitu menginjakkan kaki di pintu kamar, tercium aroma wangi yang menyengat luar biasa. Wangi yang belum pernah aku cium sebelumnya, yang aku yakin bukan wangi parfum. Aku hanya berfikir
"Insyaallah pertanda baik karena Bapak orang baik yg taat agama"
aku tidak memberi tahu siapapun tentang wangi yang aku cium ini, aku hanya ingin sendiri tidur di kamar Bapak. Baru setelah seminggu kematian Bapak, selesai tahlil aku tanyakan, adakah yg menyemprotkan wewangian di kamar Bapak? Jawabannya tidak ada.
"Bapak meninggal dengan tenang tidak karena sakit yang menimbulkan bau tidak sedap jadi untuk apa semprot wewangian di kamarnya, yg di kasi wewangian ya jenazahnya setelah di kafani" begitu jawabnya.
Proses mengkafani itu di ruang tamu jaub dari kamar Bapak, jadi mustahil wanginya tertinggal di kamar. Sedangkan di ruang tamu sudah tidak tercium wangi.
Semoga wewangian dari surga yang menyambut Bapak. Aamiin.
Bapakku, beliau tidak pernah meninggalkan sholat, saat kerja di pelabuhan biar temen temannya selalu membawa miras, tidak setetes pun Bapakku mau meminumnya. Selalu dzikir selepas Sholat Maghrib sampai tiba waktu sholat isya. Mengaji Al-Qur'an selepas sholat Subuh. That's why aku bilang Bapakku orang yg taat beragama. Mungkin karena itulah santet itu tidak Allah SWT biarkan membunuh Bapakku.
Untuk kalian yg membaca cerita ini, aku mohon jangan mengutuk Ibuku, mohon bantu doa agar Diampuni segala dosanya.
Do'akan juga semoga Bapakku mendapatkan tempat mulia di sisi Allah SWT. Aamiin
Jika ada yg menurut kalian tidak benar disini, jangan dicontoh! Semoga ada pelajaran yang bisa di petik.
Aku akhiri cerita ini. Terimakasih sudah membaca. Maaf jika ada yg kurang berkenan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar