Oleh : Alfath Ramadhan
Awalnya saya mengira yang dimaksud pocong bermuka dua itu adalah pocong munafik. Ternyata saya salah, pocong itu benar-benar memiliki dua wajah.
Sebagai “warga panutan” yang selalu pasrah kalo ditunjuk Pak RT untuk shift 3 alias jaga ronda, saya nggak pernah nyangka bisa mendapat kehormatan untuk melihat pocong yang punya duplikat wajah itu.
Beberapa waktu silam, para penduduk di desa kami digegerkan dengan kemunculan monyet liar yang meneror dan mengganggu masyarakat. Oleh karena itu, Pak RT, selaku kapten menerapkan kembali sistem ronda yang sudah cukup lama nggak diberlakukan. Maklum, selama ini desa kami termasuk desa safe from thieves alias aman dari maling.
Saat itu, saya mendapat giliran ronda di hari Rabu bersama empat orang lainnya. Demi memuaskan hasrat dan dendam Pak RT terhadap monyet liar yang pernah menjenggut rambut indah putrinya itu, saya dan tim bertekad untuk membawa monyet itu ke hadapan Pak RT dalam keadaan hidup atau mati.
Bagaimana tidak, Pak RT pernah berjanji. Barang siapa yang dapat menangkap monyet itu, akan ditraktir makan nasi padang selama tiga kali dalam sehari.
Namun sayang, sejak hari pertama diberlakukan ronda, tidak ada satu tim pun yang berhasil melaporkan keadaan dan keberadaan si monyet terhadap Pak RT. Sebaliknya, laporan yang diterima Pak RT justru tentang hal yang nggak diduga-duga. Yakni laporan adanya petugas ronda yang demam tinggi setelah melihat sosok pocong bermuka dua yang menampakan diri di teras bangunan bekas kantor desa.
Menurut laporan yang saya tahu, bekas kantor desa itu ditinggalkan karena tempatnya yang angker serta banyaknya interaksi makhluk halus yang kerap mengganggu para staf. Rumput dan ilalang yang tumbuh rimbun, serta bangunan yang mulai kumuh dan tidak terawat itu menambah kesan angker.
Hingga sampailah pada hari di mana saya bertugas. Kami memulai operasi pada pukul 23.00 sampai subuh. Di pos ronda, kami mulai berkumpul dan menyusun strategi operasi tangkap tangan kepada monyet yang selama ini buron.
Kami berkeliling pada pukul 12 tengah malam. Kami berpencar, tiga orang termasuk saya mulai patroli sementara dua orang lainnya jaga kandang.
Di perjalanan, salah satu teman saya bilang kalau orang yang pernah melihat pocong itu menuturkan bahwa si pocong itu bermuka dua. “Kata Pak Muji, pocong yang dia liat itu bermuka dua.”
“Bermuka dua? Pocong munafik kali,” celetuk saya.
Setelah hampir satu jam, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke pos ronda untuk melaporkan kepada dua orang teman kami kalau keadaan kampung aman dan monyet masih belum bisa ditemukan. Akhirnya pukul dua, giliran dua orang teman saya yang bergantian berkeliling. Sementara kami bertiga di pos asyik bermain kartu remi sambil ngopi-ngopi santai.
Belum ada setengah jam, salah satu dari teman kami yang patroli sudah kembali ke pos ronda dengan wajah kebingungan.
“Lah, kok sendirian. Pak Eko kemana?” Tanya salah satu teman saya.
“Saya nggak tahu, tadi waktu jalan lewat depan bangunan bekas kantor desa dia pucat terus tiba-tiba minta izin untuk pulang.”
Mendengar alasan itu, beberapa dari kami berspekulasi bahwa Pak Eko sudah melihat sesuatu yang selama ini hangat diperbincangkan. Ya, tentang pocong bermuka dua yang kerap menampakkan diri di bangunan desa itu.
Tanpa basa-basi, saya langsung telfon Pak Eko untuk mendengar penjelasannya secara langsung. Dari penuturannya, benar, dia telah melihat sosok pocong tersebut dan minta maaf karena udah nggak sanggup melanjutkan ronda. Oke, Pak Eko gugur.
Dengan sifat yang sok berani sekaligus penasaran dengan yang Pak Eko katakan, akhirnya saya mengajak teman-teman untuk menghampiri bangunan angker tersebut, secara bersama-sama tentunya. Karena kalau sendirian saya jelas nggak berani.
Saat berjalan menuju bangunan, tercium bau busuk yang menyengat. Salah satu teman saya mencurigai bahwa bau tersebut adalah bau makhluk yang selama ini mengganggu para petugas ronda. Dengan demikian, teman-teman saya mengajak saya kembali ke pos ronda karena takut terjadi hal yang nggak diinginkan.
Namun entah kenapa, saya bersikukuh untuk tetap terus mencari sumber bau busuk tersebut. Awalnya saya mengira bahwa bau busuk itu adalah bau bangkai hewan. Harapan saya adalah itu bau monyet yang selama ini buron. Siapa yang bisa menolak godaan makan nasi padang tiga kali dalam satu hari!
Kami menyusuri semak-semak belukar di halaman sampai dalam bangunan yang telah kosong dan tak terawat itu. Bau busuk kian menyengat ketika kita berjalan mendekati bekas ruangan Kepala Desa. Setelah kami membuka pintu ruangan yang sudah agak reot itu, betapa kagetnya saat kami mendapati sosok pocong yang menggantung terbalik.
Pocong bermuka dua itu berukuran sekitar dua meter dengan bau busuk yang sangat menyengat. Pocong itu menggantung terbalik sehingga kepalanya berada di bawah, dengan dua wajah yang gosong dan rusak di depan dan di belakang kepalanya. Kain kafan pocong itu kotor sekali. Bola mata yang merah memelototi kami. Sontak, empat pria tangguh menjerit ketakutan, sampai lari kalang kabut.
Saya yang saat itu berada di paling depan sangat jelas sekali melihat penampakan tersebut. Kehadiran si pocong sialan itu membuat kami semua auto lemes sebadan-badan.
Teman saya yang melihat pocong tersebut dari sisi yang berbeda berkata bahwa di belakang muka si pocong, ada muka lagi. Tapi yang terlihat hanya mata yang melotot saja. Tanpa hidung, dan tanpa mulut seperti wajah yang ada di bagian depannya.
Dengan keadaan yang masih merinding dan setengah boyo, kami kembali ke pos ronda dengan berjalan cepat.
“Sialan, itu pocong bener-bener punya muka dua” tutur saya.
“Bener, ‘kan saya bilang. Pocong itu bukan pocong munafik, pocong itu bener-bener punya dua wajah!”
Dari kejauhan kami melihat pergerakan-pergerakan misterius di pos ronda. Setelah kami intai dengan hati-hati, ternyata di pos ronda ada si monyet yang lagi makanin kacang dan makanan-makanan yang kami bawa.
Ahhh, sialan. Walaupun udah gondok setengah mati sama si monyet, tapi kami udah nggak selera mengejar dan menangkap buronan tersebut. Yaaa, itu karena rasa yang udah nggak karuan setelah kami dilabrak pocong bermuka dua tersebut.
Tapi anehnya, si pocong bermuka dua cuma nampakin diri sama para petugas ronda. Sementara sama orang-orang yang pulang kerja, atau pedagang yang berlalu-lalang di depan bangunan tersebut nggak ada satu pun yang ngaku pernah liat si pocong munafik tersebut.
Apess, hari ini ronda kami nggak membawakan hasil selain sandal saya yang putus gegara semalem lari ngibrit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar