Oleh : Aras anggoro
Kabut yang bergerak tertiup angin, di mataku bagai sesuatu yang bernyawa. Pemandangan itu malah makin menciutkan nyaliku. Suara gesekan itu tidak hilang, dia ada, hanya suaranya timbul tenggelam diantara bunyi gerimis dan serangga malam.
Srekk...
Kewaspadaanku kembali. Suara itu kian mendekat. Aku bergerak mundur dengan hati-hati agar tonjolan di lututku tak merasakan nyeri, namun tak ada tempat mundur! Semak di belakangku terlalu rapat!
Srekk...
Mataku tak berkedip. Nafasku tertahan.
Srekk...
Suara itu kian jelas. Apa pun itu sudah sangat dekat. Tubuhku menegang. Sebutir keringat mengalir dari dahi ke pipi lalu tetesannya jatuh ke daun kering di bawahku, bunyi lembutnya menambah deru detak jantungku.
Dengan nafas tertahan di kerongkongan, mataku nanar menatap semak dan bayangan gelap pepohonan. Kabut tipis terus bergerak-gerak dengan ganjil sementara kabut yang lebih tebal bergerak tenang hanya setengah jengkal dari tanah. Hutan mendadak diam, tak ada riuh serangga malam, begitu pun suara gesekan. Aku menunggu dengan gemetar, keheningan ini terasa sangat menyiksa.
SREKK...
Suara gesekan itu tepat di sampingku!
Dengan leher yang tiba-tiba terasa kaku, pelan-pelan aku menoleh. Mataku melebar, darahku seakan beku, jeritanku tercekat di tenggorokan.
Yang pertama kulihat adalah rambutnya yang panjang menutupi wajah. Nafas perempuan itu terdengar berat dan mengerikan. Dia berjalan merayap di tanah!
Tak mampu bergerak, aku hanya terpaku kala rambut perempuan itu tersibak. Dengan gerakan yang terasa lambat, wajahnya menatap wajahku!
Matanya melebar dan ekspresinya berubah, lalu suara lengkingan teriakan memekik dari mulutnya. Darahku membeku seketika. Ketegangan yang memuncak meledak. Tubuhku mati rasa. Wajahku tak mampu bergerak dari wajahnya yang ekspresinya kini berubah. Suara teriakannya mereda digantikan gelak tawa kegirangan.
Aura ketegangan menghilang digantikan kebingungan. Mulutku terbuka lebar, mataku menatap tak percaya.
"Put..Putri?!!"
Tawanya makin menjadi hingga terbatuk-batuk.
"Kena lu, hahaha.." dia membalas sambil terus tertawa.
Saat akhirnya mampu menguasai diri lagi, barulah mataku mampu melihat dengan jelas. Di depanku Putri sedang terpingkal-pingkal dengan menyebalkan.
"Jancuk! Anak setan! Lu mau bikin gua mati jantungan!?" semburku meluapkan kekesalan.
"Ahaha, sorry Ka. Gua ngga tahan pingin kasih kejutan. Hahaha.." Putri terus saja tertawa kegirangan.
Aku, Putri dan kami semua adalah teman sejak kecil. Kami kenal orang tua masing-masing. Sejak dulu keisengan anak ini memang absurd dan tidak peduli tempat. Ketakutan berganti kelegaan karena sekarang aku tak sendiri.
"Kaki lu kenapa, Put?" tanyaku setelah memperhatikan dia yang tak merubah posisi kakinya di tanah.
"Kayaknya mata kakinya geser. Sakit banget. Makanya gua jalan merayap kesini." jawabnya.
Aku mengangguk mengerti, jadi itu yang menyebabkan suara gesekan sejak tadi, lalu giliranku menunjukkan kondisi lututku yang mungkin saja lebih parah. Putri melihat mendekat sambil menyipitkan matanya. Dia lalu mengangguk-angguk tanpa mengatakan apa-apa. Namun bagaimanapun kondisinya, aku lega. Sekarang tinggal Dimas dan Ayu.
"Lu kok bisa tau posisi gua, Put?" tanyaku ketika menyadari hal yang sebenarnya aneh ini.
Seakan ingin menjawab namun diurungkan, mata Putri menyipit nampak mempelajari kondisi mentalku.
"Ada laki-laki. Dia yang nunjukkin posisi lu yang ternyata ngga terlalu jauh. Dia minta gua tunggu disini bersama lu sampe nanti dia balik lagi." Putri menjawab dengan suara berbisik seakan sedang merahasiakan sesuatu, lalu melanjutkan, "tapi, Ka. Jangan tanya siapa dia ya. Lu juga nanti jangan banyak tanya. Intinya gua percaya sama dia. Ngerti ya arah omongan gua?"
Aku tak mengerti, tapi aku mengangguk mengiyakan. Sejujurnya, aku sudah cukup lega pertolongan datang lebih cepat dari yang kubayangkan. Dengan adanya Putri, laki-laki penolong itu dan kemungkinan selamat membuat pikiranku tak sekalut tadi. Kini kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tadi tak sempat mendapatkan tempat.
"Tadi di Kandang Badak, lu ada merasa aneh ngga sama badan lu, Put?" tanyaku.
"Ngga. Kenapa?" jawabnya cepat.
"Tadi itu gua liat garis-garis merah di leher dan tangan Ayu sama Dimas. Garis merah itu malah lebih banyak di badan lu." jawabku.
Putri mengangkat bahu. "Nggak. Ngga ada yang aneh."
Sesungguhnya banyak yang ingin kutanyakan, namun laki-laki yang dimaksud Putri tiba-tiba sudah berdiri di depan kami. Aku bahkan tak mendengar langkah kakinya. Dalam kegelapan ini, sosoknya seakan hanya berupa siluet. Wajahnya tak terlihat tertutup kegelapan malam.
Dia melemparkan akar gantung yang ukurannya lumayan padaku dan Putri. Suaranya terdengar lembut namun tegas.
"Diminum."
Tanganku bergetar saat meminum cairan akar gantung itu. Barulah sekarang aku menyadari tubuhku menjerit akibat kehausan yang terlalu. Energiku seakan kembali ketika air segar itu membasahi kerongkonganku.
"Berdiri, ikut aku. Kalian bisa saling memapah." katanya lagi.
Aku dan Putri saling bantu untuk berdiri. Dan benar, dengan cara saling memapah kami bisa bergerak. Sosok itu diam dan dengan sabar memperhatikan kami berusaha dengan canggung. Tangan Putri dikaitkan ke leherku, sebaliknya tanganku menahan pinggang Putri. Memang pelan, tapi setidaknya kami mampu beranjak.
Selama beberapa saat kami terus bergerak dalam diam. Aku tak tahan lagi untuk bertanya.
"Kita mau kemana, bang?"
Aku hanya melepaskan rasa penasaran. Aku hampir yakin dia akan mengabaikanku. Tapi aku salah, nyatanya dia menjawab. Sebuah jawaban yang singkat.
"Mei."
Jawaban apa itu? Mungkin dia tak mendengar pertanyaanku. Namun tangan Putri yang merangkul pundakku berkedut merespon jawabannya. Apa Putri mengenal nama itu?
Jari
tanganku yang makin terasa kaku dengan panik menggali batu yang tak
juga mampu kuambil, sementara suara geraman berat itu semakin mendekat.
Ketidakmampuanku
mengambil batu itu benar-benar membuatku makin frustasi. Tubuhku
menegang dan terasa kaku ketika kegelapan di depanku seakan bergerak.
Dengan nafas tertahan, yang mampu kulakukan hanya menatap pasrah pada
sebuah semak di depanku. Ada sesuatu di balik semak itu yang sedang
menunggu, aku merasakannya. Mungkin sesuatu itu sedang menatap mataku
saat ini, aku tak tahu. Namun dari posisiku, yang kulihat hanyalah
kegelapan dan semak yang sedikit bergoyang.
Dengan berhati-hati,
tanpa mengalihkan pandangan, kupindahkan posisi Ayu. Dia sudah berhenti
meracau, tapi gumaman-gumaman tak jelas kadang masih terdengar.
Semak itu bergoyang lagi.
Aku
sudah berhenti berusaha mengorek batu itu. Aku tak ingin fokus ku
pecah. Entah apa yang ada di sana. Yang jelas, jika apa pun itu akhirnya
muncul, aku ingin dalam keadaan siap.
Semak itu kembali bergoyang.
Mulutku
terasa kering. Setetes keringat jatuh ke mataku, kupaksa untuk tak
berkedip. Nyeri di kakiku kembali berkedut dengan interval seirama detak
jantungku. Tak kugubris semua itu. Aku membisikkan kata seakan doa.
Jangan lengah..jangan lengah...
Semak
itu tersibak. Mataku terbelalak ketika sesuatu itu akhirnya muncul.
Awalnya keterkejutanku ketika sepasang mata kuning besar muncul dan
menatapku dengan dingin, lalu tubuhku langsung menggigil kala perlahan
dia bergerak dari kegelapan menampakkan seluruh tubuhnya yang berbulu
hitam. Ekor panjang di belakangnya menyabet ke kiri dan kanan. Dadanya
nampak bergetar tiap kali terdengar geraman.
Aku diam tak mampu
bergerak. Tiap kali geraman itu muncul, sendi tulangku terasa nyeri. Aku
sudah tak mampu lagi menelan ludah, mulutku mendadak kering.
Aku pasrah.
Dalam keadaanku sekarang, tak ada yang bisa kulakukan untuk melawan binatang besar ini. Mungkin inilah akhirku.
Dia
tak mendekat, namun gerak tubuhnya terlihat tegang dan waspada. Aku
bergidik ngeri, menunggu dia tiba-tiba bergerak mendadak dan mencabik
dagingku. Bahkan dalam diamnya aku sudah mampu merasakan taringnya yang
menancap di tulangku. Kulirik Ayu yang kini terlihat tenang. Kubetulkan
rambutnya yang berantakan.
Mohon maafkan aku...
Kalimatku
tak selesai. Suara berdebum kencang terdengar dari tempat binatang itu
berdiri. Tubuhku menegang, kupejamkan mata dan kudongakkan kepalaku,
menunggu detik saat taringnya merobek leherku.
...tapi kematian itu tak kunjung datang.
Ketika
akhirnya aku mampu membuka mata, kulihat siluet gelap seseorang berdiri
di depanku. Binatang itu masih di tempatnya, belum bergerak sedikit
pun. Mata kuning besarnya menatap sosok di depanku. Mulutnya terbuka
memperlihatkan lidahnya yang berwarna merah darah sambil mengeluarkan
geraman. Tapi binatang itu tetap tak bergerak, begitu pun sosok itu.
Lalu
di tengah situasi yang mencekam ini sebuah tangan jatuh di bahuku. Aku
nyaris berteriak histeris andai tak ada sebuah tangan lagi yang membekap
mulutku.
Raka?
Aku hampir tak mempercayai penglihatanku. Tapi ini benar Raka!
Dengan
jari telunjuk di mulut dia memberikan aba-aba padaku agar tenang.
Seketika aku dipenuhi rasa syukur yang meluap-luap hingga nyaris
melupakan sosok macan kumbang di depanku.
Tubuhku kembali
menggigil saat ekor mataku melihat binatang besar itu bergerak. Aku
nyaris tak percaya, macan kumbang itu justru bergerak mundur. Mata
kuningnya bergerak dengan waspada antara sosok itu, aku dan Raka.
Selangkah
demi selangkah ke-empat kaki makhluk itu bergerak mundur tanpa
membalikan badannya. Sosok laki-laki itu tetap diam di tempatnya sambil
terus mengawasi. Lalu Raka dengan perlahan memapah dan membantuku untuk
berdiri. Aku berusaha menolak, namun Raka mengerti alasan penolakanku.
"Biarkan Ayu diurus Putri.." Dia berbisik pelan di telingaku.
Dan benar, Ayu sedang berbaring tenang dipelukan Putri. Sejak kapan dia ada disitu?
Kaki
belakang binatang itu sudah hilang tertutup semak, dan dia terus
melangkah mundur. Lalu perlahan bagian kepalanya juga mulai lenyap
ditelan kegelapan. Sosok itu dengan tenang bergerak ke arah yang sama.
Sambil
berdiri memapahku, kuperhatikan kondisi Raka hampir sama buruknya
denganku. Wajahnya kotor penuh tanah kering dan terlihat bimbang.
Kulihat dia menoleh pada Putri, aku mengikuti arah pandangnya. Putri
terlihat mengangguk tampak berusaha meyakinkan.
Ada apa ini?
Dengan
kaki yang terluka, kami berdiri saling memapah dengan canggung. Tanpa
berbicara, Raka meyakinkanku untuk ikut bergerak ke arah yang sama
dengan makhluk hitam itu. Aku mengiyakan. Buat orang yang sejak tadi
siap untuk mati, saat ini aku siap untuk apa pun.
Semak itu
ternyata lebih lebat dari yang kukira. Aku meringis menahan nyeri kala
batang kasarnya menggores kakiku. Semakin dalam, rasa sakit di lukaku
kian tak tertahankan. Tepat saat aku diambang pingsan, semak itu
terbuka. Mata kuning makhluk itu kembali terlihat, dia masih bergerak
mundur dengan cara yang sama. Lagi-lagi tubuhku menggigil, aku tak akan
pernah terbiasa. Namun sosok tadi tak terlihat di manapun. Mataku
bergerak mencari. Dia benar-benar hilang. Atau memang sejak awal itu
hanya halusinasiku?
Sekarang aku mulai mempertanyakan kewarasanku. Raka mengkonfirmasi kebingungan yang kurasakan, karena dia juga tampak mencari.
Semburat jingga terlihat di langit. Malam hampir berakhir.
Entah
berapa lama kami berjalan menembus banyak lapisan semak. Sekarang kami
bukan lagi melangkah, lebih tepatnya kaki kami saling menyeret. Aku
sendiri sudah hampir di batas ketahananku.
Saat semak terakhir
tersibak, mata kuning makhluk itu tak terlihat. Di depan kami, tertutup
tumbuhan rambat adalah sebuah celah yang nampak seperti goa. Lubang itu
terlihat suram, gelap dan tampak mengancam.
Kali ini baik aku
atau Raka terdiam. Tak ada satu pun dari kami yang berinisiatif untuk
bergerak. Tanganku mencengkeram bahu Raka lebih kuat, pandangan mataku
mulai berkunang-kunang.
Lalu cahaya matahari pertama menembus
hutan. Pagi sudah datang. Kami menarik nafas panjang hampir bersamaan,
namun tetap tak ada satu pun dari kami yang ingin beranjak.
Aku tahu, Raka pun tahu. Ada maksudnya mengapa makhluk itu membawa kami kesini. Goa itu, pasti ada sesuatu di dalam sana.
Tak
ingin pingsan setelah hampir tiba di tujuan, aku memaksakan diri untuk
melangkah. Goa itu tak sedalam seperti yang kukira. Namun mulutnya yang
kecil dan setengahnya tertutup semak membuat dasarnya terus diselimuti
gelap.
Terusik oleh firasatnya, dengan tenaga yang tersisa, Raka
menarik paksa semak dan tumbuhan rambat. Nyatanya mereka sulit
disingkirkan. Akar serabutnya menusuk jauh ke tanah. Ketika semak
terakhir tercabut, bersamanya runtuh juga sebagian tanah di mulut goa
itu, menyibak rahasia yang selama ini terpendam di sana.
Kami
saling tatap. Baik aku maupun Raka sudah menduga apa yang akan kami
temukan. Namun tetap saja apa yang kami lihat membuat kami terpana. Di
dalam sana bertumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia.
Yang tak kami duga sama sekali adalah jumlahnya. Kami tak hanya menemukan satu, melainkan tiga.
***
Aku
melangkah dengan tenang, menikmati setiap sensasi rasa yang tumpang
tindih. Tampaknya ini hari terakhirku gentayangan di lembah ini. Besok
atau lusa, kami sudah kehilangan alasan untuk tetap di sini.
Jalan
hidup membawaku dan dia ke sudut terjauh di lembah ini. Dengan lembut
kubelai rambutnya. Aku mengerti pengorbanannya. Tak ada jalan yang mudah
untuk menemukan kami. Dia melakukan hal tadi dengan penuh perhitungan,
namun tetap saja rasa sesal membebaninya.
Sambil terus membelai rambutnya, dengan lembut kuberbisik diantara isak tangisnya.
Terima kasih, Mei.
***
"..Keempat
korban sudah berhasil dievakuasi oleh volunteer Cibodas dibantu unsur
SAR lain. Saat ini seluruh korban sudah ditangani oleh pihak RS.
Cimacan. Ganti .."
"Delapan-enam. Laporan diterima dengan baik. Ganti."
"Laporan lengkap segera menyusul setelah kami mencari keterangan lebih terperinci dari pelapor pertama. Ganti."
"Delapan-enam. Mohon konfirmasi kembali nama pelapor pertama. Ganti."
"..Saudara Rio.."
***
Kondisi
kami semua membaik dengan cepat, termasuk Ayu. Aku dengar dia pulih
dengan cepat setelah dirujuk ke rumah sakit di Jakarta. Tampang Dimas
dan Raka juga seperti tak mengalami apa-apa waktu aku berpamitan tadi.
Raka bahkan sempat-sempatnya berteriak dengan nada lucu saat aku
melambaikan tangan.
"Oiii, Put. Lain kali giliran lu yang gua prank. Gua masih dendaaam.. hahaha.''
Aku tertawa lepas mendengarnya. Aku tak akan lupa ekspresi paniknya malam itu.
Di
dalam mobil yang membawaku pulang barulah aku merasa tenang dan bisa
mengevaluasi pengalaman itu di dalam pikiran. Sesampainya di rumah
nanti, ada dua hal yang perlu kubuktikan. Malam itu, dua hal tadi terus
membebani pikiranku sekaligus membuatku merasa lebih tenang. Saat
menyadarinya, aku langsung tahu aku pasti selamat. Ketenangan itu juga
menular ke Raka saat aku menceritakan apa yang kupikirkan. Aku minta dia
mempercayaiku.
Abangku yang mengemudikan mobil nampaknya
mengerti keadaanku. Aku tahu pasti banyak hal yang ingin dia tanyakan,
tapi dia lebih memilih diam dan membiarkanku memejamkan mata.
Sebelum
aku benar-benar terlelap, sebuah lagu terdengar mengalun lembut di
telingaku. Hatiku terasa teriris tiap kali abangku memperdengarkan lagu
itu. Aku tahu dia sedang merindukan seseorang yang tak akan pernah
kembali pulang.
"...giving all the love i feel for you.
Couldn't make you change your point of view
You're leavin.
Now i'm sittin here, i'm wastin my time
I just don't know what i should do.
It's a tragedy for me to see the dream is over
And i never will forget the day we met.
Girl i'm gonna Miss you..."
Setibanya
di rumah, dengan kaki pincang aku menyerbu ke kamar abangku. Tujuanku
adalah sebuah potret lama yang terbingkai di meja kerjanya. Itu adalah
poto lama pendakiannya ke Gunung Gede dengan tiga orang temannya.
Dengan tergopoh-gopoh kuambil poto itu dan kutatap lekat sebuah wajah yang nampak merangkul pundak abangku.
Mataku langsung basah. Itu adalah wajah yang sama dengan sosok siluet penolongku di malam itu.
Air
mataku jatuh tak terbendung, tapi buru-buru kuusap dengan tangan, tak
ingin menimbulkan kecurigaan abangku jika dia tiba-tiba masuk. Sudah
cukup tragedi baginya, aku tak ingin menambah beban pikirannya.
Lalu
sebuah detil muncul yang selama ini tak pernah kuperhatikan. Ada
nama-nama yang tertulis dengan huruf kecil di bawah setiap orang di poto
itu.
Di bawah poto sosok itu, tertulis sebuah nama dengan tulisan yang hampir pudar namun masih bisa terbaca.
...Bayu...
Jadi itu namamu.
Jantungku
berdegup lebih kencang, teringat sebuah nama yang malam itu sempat dia
ucapkan. Itu juga adalah nama yang sama dengan seseorang yang pernah
mengisi hati abangku. Mungkin juga nama yang sama yang selalu muncul
kala abangku memperdengarkan lagu I'm gonna miss you.
Kutatap lekat wajah perempuan satu-satunya di poto lama itu. Di bawahnya, tertulis dengan satu-satunya tinta emas..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar