Oleh : Aras anggoro
Ka, bengong aja."
Sebuah tepukan di punggungku. Suara Dimas menggema di telingaku, terasa dekat sekaligus jauh, terasa samar sekaligus jelas. Visual di depanku terpuntir dan terkoyak dalam sekejap. Hal terakhir yang kulihat adalah batu yang menggelinding jatuh dari tangan laki-laki itu.
Teguran dan tepukan Dimas menyadarkanku. Ternyata aku masih di tempat yang sama, tak beranjak sedikit pun. Di depanku penuh tenda beraneka warna. Itu adalah tenda yang sama seperti tadi malam, ditambah tenda-tenda baru. Orang-orang sibuk dengan kegiatan paginya. Aroma masakan tercium dimana-mana.
Dimas masih memegang bahuku, tatapannya terlihat khawatir.
"Lu kenapa, Ka?"
Aku memaksakan bersikap biasa dan tersenyum.
"Ngga apa-apa."
Tidak, aku jauh dari keadaan tidak apa-apa. Pemandangan mengerikan tadi masih menari di mataku. Ekpresi putus asa laki-laki itu, jejak darah saat macan hitam menarik sesosok tubuh kaku, aku shock. Aku bahkan tak mampu menggerakkan kakiku. Suhu Kandang Badak yang sejuk seakan tak berlaku untukku. Seluruh pakaian yang kukenakan basah oleh keringat. Setetes air mengalir dari kedua mataku. Bukan keringat, itu airmata.
Ketika akhirnya mampu menguasai diri, ribuan pertanyaan memberondong benakku.
Apa barusan tadi? Siapa mereka? Apakah itu kejadian nyata? Kenapa aku?
"Makan dulu yuk." Dimas kembali menepuk bahuku.
***
Ayu sudah sembuh seperti sediakala. Dia total blank dengan apa yang dia alami tadi malam. Ingatan terakhirnya adalah bertemu perempuan yang lehernya patah di puncak. Dan dia tak kelihatan trauma sama sekali. Dia dengan senang hati mendeskripsikan setiap detil yang dia lihat pada Putri yang memang kepo. Dimas berkali-kali meminta mereka diam dan meneruskan makan sebelum dingin.
Sambil sarapan, Dimas mengumumkan perubahan rencana. Karena kejadian kemarin yang terjadi pada Ayu, Dimas meminta kita bongkar tenda dan turun. Rencana muncak dan semalam lagi di Alun-alun Suryakencana dibatalkan.
Putri terlihat lemas mendengar pembatalan itu karena dia satu-satunya yang belum pernah menyentuh Puncak Gede. Namun, Ayu yang biasanya diam, menolak mentah-mentah rencana itu. Adu argumen lalu mewarnai acara sarapan kami. Ayu yang biasanya jarang berpendapat, kini terlihat ofensif. Begitu pun Dimas, yang biasanya penuh pertimbangan, kali ini dengan keras kepala menolak setiap pendapat Ayu.
Mataku berganti-ganti menatap Dimas dan Ayu. Ada sesuatu yang ganjil, tapi aku tak mampu menebak di mana letak keganjilannya.
Seperti setiap perdebatan, perdebatan ini pun berujung tanpa hasil. Ayu mempersilahkan Dimas jika mau turun, dia akan tetap pada rencana semula. Putri diam-diam mendukung pendapat Ayu. Sementara Dimas mengancam, kalau perlu dia akan menyeret Ayu sampai Cibodas.
Aku tak terlalu ambil pusing, apakah tetap muncak atau balik kanan. Pikiranku masih tertambat pada penglihatanku tadi. Apakah kejadiannya di sini? Di kawasan Gunung Gede? Apakah mereka salah satu kasus pendaki yang hilang dan tak pernah ditemukan? Aku bergidik tiap mengingat taring binatang buas itu menembus daging dan meretakkan tulang perempuan itu, juga jejak darah saat tubuhnya ditarik ke semak. Kurasa cepat atau lambat laki-laki itu pun bernasib sama.
Lamunanku teralihkan saat perdebatan dua orang itu makin meruncing. Garis merah samar di leher Ayu menarik perhatianku. Garis yang sama juga terlihat di pergelangan kaki kanan Dimas, juga di tangan kanannya.
Garis apa itu? Sejak kapan tanda itu muncul? Aku berani sumpah tanda itu tak ada kemarin sore.
Aku makin terkejut saat kulihat Putri memiliki tanda yang sama. Garis itu ada di seluruh wajah, tangan dan kakinya.
Ayu
menyadarinya juga. Dia melihat apa yang kulihat. Dengan panik dia
membolak-balik kedua tangannya. Garis merah itu ada dimana-mana. Lalu
seakan menyadari sesuatu, matanya mulai basah. Dimas hanya melirik
sekilas ke tangan kanannya, seakan tak peduli. Putri bahkan sama sekali
tak menyadarinya.
Ketika airmatanya akhirnya tumpah, ekspresi Ayu
berubah datar. Matanya terlihat kosong. Lalu mendadak tanpa aba-aba dia
berbalik dan lari masuk hutan di belakang pondok Kandang Badak.
Dimas
refleks mengejarnya diikuti Putri dan aku. Suara jeritan dan tangisan
Ayu terdengar dekat namun sosoknya tak terlihat karena rapatnya hutan.
Semakin jauh mengejar, aku semakin tertinggal. Lantai hutan yang
tertutup semak memperlambatku. Kawasan hutan tinggi seperti ini terlalu
berbahaya untuk bergerak tanpa pengetahuan medan. Jurang yang dalamnya
ratusan meter dapat dengan mudah tak terlihat karena tertutup semak.
Menyadari jalur umum pendakian sesungguhnya adalah punggungan yang
artinya di kanan kirinya adalah lembah, aku gemetar ketakutan.
Sambil
mengistirahatkan nafasku yang megap-megap, pandanganku berkeliling
mencari sedikit saja jejak mereka. Tak ada gerakan apapun, bahkan tak
ada secuil pun ranting patah, aku kehilangan jejak. Berusaha menenangkan
gemuruh jantungku, aku diam dan mengedarkan pandangan mencoba
mengorientasi keberadaanku. Tak hanya kehilangan jejak, kemungkinan
paling buruk aku tak mampu menemukan jalan kembali.
Aku
berjongkok mengistirahatkan kaki dan berusaha tidak panik. Ini situasi
serius. Namun sulit sekali mengingat pelajaran yang kubaca di diktat
dalam kondisi seperti ini. Pikiranku terus menerus mengajak berpikir
tentang berbagai keganjilan situasi sejak kemarin.
Dia lari
kenapa pun aku tak tahu. Masak iya hanya karena debat naik atau turun
bisa dramatis begitu, rasanya bukan Ayu sama sekali. Juga garis-garis
merah samar itu. Juga mimpi atau malah penampakan pendaki yang hilang.
Juga kejadian Ayu hari sebelumnya. Rasanya seperti melihat puzzle yang
berantakan.
Aku mendongakkan kepala, melihat cahaya matahari yang
menembus rapatnya atap hutan. Aku juga menyadari lumut yang tumbuh di
batang pohon dan sadar arah mana yang dia tunjukkan, hanya saja aku tak
mampu menebak Kandang Badak ada di arah yang mana. Mungkin harus
bergerak ke tempat yang hutannya tak terlalu lebat agar bisa melihat
Puncak Gede atau Puncak Pangrango sebagai acuan arah.
Dengan
hati-hati aku mulai bergerak. Semak setinggi dada langsung menghalangi
langkahku dan mengajakku berpikir ulang. Namun aku meyakinkan diri untuk
terus bergerak, memang lebih aman berdiam diri tapi aku tak sanggup
terus menunggu dalam ketidakpastian.
Lagi pula menunggu apa? Aku
ragu orang-orang lain di Kandang Badak memperhatikan kami, tim SAR?
terlalu cepat, dan aku tak ingin ini menjadi situasi SAR. Dimas, Putri
dan Ayu? Aku bahkan tak yakin mereka adalah dirinya sendiri.
Sedikit
demi sedikit tanganku terasa perih, alang-alang berdaun tajam mengiris
kulitku yang tak dilindungi pakaian. Perbedaan tinggi tanah seringkali
membuatku gugup, karena mengira aku sudah di bibir jurang. Tanpa mampu
melihat lantai hutan, kini aku hanya mampu mengobservasi pohon dan semak
di depanku, juga insting yang jelas tak terasah untuk menghindari
jurang yang tak terlihat. Aku sungguh merasa tak berguna.
Ketika
akhirnya alang-alang memendek hingga sebatas pinggang, mataku tertumbuk
pada dua buah pohon yang berdiri berjajar dan terlihat kembar. Di tengah
vegetasi yang hampir serupa, sangat mungkin terdapat dua pohon dengan
rupa yang sama. Tapi melihat letak berdirinya, Aku teringat kejadian di
Prau juga di Gunung Slamet. Dan melihat kejadian aneh akhir-akhir ini,
bukan tak mungkin jika langkahku memang sengaja diarahkan ke sini,
gerbang gaib Gunung Gede.
Sejenak
aku menimbang-nimbang sambil menatap celah diantara dua pohon kembar
itu, haruskah aku melangkah kesana? Targetku saat ini harus balik ke
Kandang Badak dan melaporkan tentang teman-temanku ke volunteer. Jika
aku masuk kesana, kemungkinan paling besar posisiku justru makin tak
pasti.
Sambil diam berpikir, kurasakan sesuatu merambat di kakiku
yang dengan panik buru-buru kutepis. Hanya ujung semak ternyata. Aku
bergidik membayangkan lantai hutan mungkin saja penuh serangga-serangga
merayap atau mungkin ular tanah. Kuperiksa bawaanku disetiap kantong,
hanya rokok dan korek, tak ada makanan atau pun pisau. Sebelum malam aku
harus sudah keluar dari sini.
Sinar matahari yang menembus
rapatnya hutan menciptakan tiang-tiang cahaya di sana-sini. Melihat
posisinya yang tepat di atas kepala, pastinya sekarang tepat tengah
hari. Pakaianku basah oleh keringat. Hutan terasa pengap, aku seakan
berlomba berebut udara segar dengan rapatnya pohon-pohon disini.
Sekali
lagi kuedarkan pandanganku ke segala arah. Semua tampak sama. Sementara
celah diantara dua pohon kembar itu seakan terus memanggil. Jika ini
benar gerbang gaib, rasanya percuma aku menghindar. Aku seratus persen
yakin, andai kubergerak kemanapun, pasti akan selalu kembali ke tempat
ini. Malah akan buang-buang tenaga.
Baik, tantangan diterima. Bisikku.
Dengan
hati-hati aku bergerak mendekati dua pohon kembar itu yang posisinya
agak menanjak di atas. Hutan ini terasa mendadak hening, seakan semua
mata sedang menahan nafas memperhatikan pergerakanku. Hanya suara
langkahku yang menggesek semak dan nafasku yang terdengar berat.
Semakin
mendekat barulah terlihat dua pohon itu berdiri diatas gundukan tanah
yang lebih tinggi dibanding dari arahku bergerak. Akarnya yang gemuk
mencuat menembus tanah kujadikan pegangan untuk mengangkat tubuhku ke
atas. Setelah usaha yang lumayan memakan waktu akhirnya aku berdiri
tepat di depannya. Dari dekat, pohon itu ternyata lebih besar dari yang
kelihatannya. Dua pohon itu dipisahkan jarak setengah meter, namun akar
dan dahannya saling berkait. Dan dari jarak sedekat ini baru bisa
terlihat, mereka bukanlah pohon kembar. Yang membuat mereka berbeda dan
kelihatan mencolok adalah warnanya yang putih dibanding pohon lain yang
berwarna coklat gelap cenderung hitam. Rupanya warna itulah yang
menarikku. Ini bukan soal mistis, ternyata hanya logika.
Sedikit
menyesal karena telah membuang tenaga sia-sia, aku melangkah diantara
celah dua pohon itu, merasa konyol karena over-thinking dan
mistis-centris.
Gerbang gaib apanya, batinku.
Bersamaan
dengan itu, tiba-tiba tanah yang kuinjak terasa goyah. Semak di depanku
bergetar dan diikuti suara gemuruh yang teredam, tanah di bawah kakiku
longsor. Aku menjerit kaget dan takut kala tubuhku terbanting dan
merosot dengan cepat. Dengan putus asa tanganku mencoba meraih apapun
untuk menghentikan laju jatuhku. Namun apa pun yang berhasil kuraih
langsung tercerabut dari akarnya. Aku semakin panik dan pasrah, yang
mampu kulakukan hanya melindungi kepalaku dengan dua tangan dari
benturan.
Lalu secara tiba-tiba kakiku terkait semak perdu. Suara
seperti ranting patah diikuti rasa sakit yang luar biasa menyebar di
pahaku kala dengan mendadak tubuhku berhenti meluncur. Saat membuka
mata, aku hanya tiga puluh senti dari dasar jurang berbatu dengan
tubuhku dalam posisi terbalik.
Dengan susah payah akhirnya aku
mampu melepaskan jeratan semak di kakiku. Aku beruntung karena
terperosok di tebing tanah membuat luka yang timbul tak seberapa. Andai
itu adalah tebing batu, habislah sudah.
Aku mendongak menatap
ujung tebing tempatku terperosok, tingginya sekitar dua puluh meter
namun hanya curam di seperempat bagiannya saja. Melihat akar-akar di
dinding tebing rasanya aku mampu untuk mendaki ke tempat semula.
Baru
saja hendak berdiri, aku langsung ambruk kembali ke tanah. Rasa sakit
yang luar biasa menyebar dari lutut kananku. Dahiku langsung basah oleh
keringat, khawatir sesuatu yang paling kutakutkan terjadi. Dengan tangan
gemetar kuraba pusat rasa sakit tadi. Aku langsung memekik kesakitan
saat jariku mengusap lutut yang tampak menonjol itu.
Tak ada
darah yang merembes, namun tonjolan ganjil di lutut yang terbungkus
celana ditambah rasa sakit yang amat sangat, membuatku menyimpulkan hal
yang paling kutakutkan: patah kaki.
Dengan hati-hati kuposisikan
lututku senyaman mungkin saat aku memutuskan menyandarkan tubuh dan
beristirahat. Mataku menerawang kosong, situasinya makin tak terkendali.
Aku menyesali keputusanku yang ikut mengejar Ayu keluar jalur.
Lagian, apa-apaan dia itu
Tapi aku lebih menyalahkan diri sendiri. Bukan orang lain, akulah penyebab situasiku jadi begini.
Refleks sialan! Lagian sudah benar aku diam, kenapa juga harus penasaran dengan pohon kembar. Sialan! Sialan!
***
Diam
tak bergerak selama beberapa waktu. Bayangan pepohonan yang terkena
cahaya matahari kian memanjang. Di atas sana langit berwarna jingga,
namun di bawah sini hutan semakin gelap. Samar telingaku menangkap suara
adzan magrib di suatu tempat. Langsung kuingatkan diriku, itu hanya
suara adzan di kaki gunung yang terbawa angin lembah. Jangan coba-coba
mengikutinya.
Akhirnya selimut malam terbentang, tak ada apapun
di sekitarku selain kegelapan. Aku masih belum mampu kemana-kemana,
bergerak sedikit saja tubuhku bagai tersengat listrik. Tulang lututku
yang dislokasi bahkan merobek kulit pembalutnya. Tiap kali rasa sakit
itu muncul, aku bagai kehabisan udara, megap-megap sambil meringis
menahan tangis.
Disekap malam, suhu langsung menukik drastis,
namun dinginnya masih mampu kutahan. Yang saat ini kurindukan adalah
seteguk air untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kian mencekik.
Dalam kekalutan, berkali-kali pikiranku gagal menarik ingatan tentang
bagaimana cara mencari air dalam keadaan survival. Ditambah gelisah dan
ketakutan dalam menghadapi malam, dadaku makin terasa sesak.
Setelah
lebih tenang, mataku mulai terbiasa dalam kegelapan dan mulai mampu
membedakan pucuk pohon dengan langit malam yang tanpa bintang.
Tak
ada yang bisa kulakukan saat ini. Semoga aku bisa memejamkan mata, dan
bangun setelah matahari muncul besok. Doa-doa panjang kubisikkan. Semoga
aku tak kedinginan, semoga malam nanti tidak hujan, semoga aku tak
demam, jangan pernah ada penampakan.
Belum sempat mengucap
aamiin, bulu kudukku langsung meremang. Dalam keheningan malam,
telingaku samar menangkap suara gesekan. Atau apakah aku salah dengar?
Kupasang
telingaku baik-baik. Jantungku mulai berdetak tak beraturan. Aku tak
salah dengar, itu memang suara gesekan. Kabut tipis dan kegelapan makin
membuatku tertekan.
Dan suara itu kian mendekat...
Bahkan
diantara nafasku yang terdengar memburu, aku bisa mendengar suara itu.
Awalnya hanya samar, namun perlahan semakin kuat. Sebuah kesadaran
menghantamku tiba-tiba. Dengan tanpa berpikir lagi kujatuhkan tubuhku ke
tanah sebelum terlambat.
Lajuku berhenti tepat pada waktunya.
Telat bertindak sedikit saja entah apa yang akan terjadi. Setengah meter
di depanku menganga jurang yang tersembunyi di balik rimbunnya semak.
Suara teredam yang sejak tadi timbul tenggelam ternyata sebuah air
terjun yang mengalir jatuh ke jurang di depanku.
Tanganku gemetar menyadari betapa berbahayanya situasi tadi andai aku tak bertindak cepat.
Lalu
sebuah kesadaran lain menyeruak. Jantungku berdetak keras seraya
kuberdoa dengan putus asa. Detaknya bahkan terdengar di telingaku dan
kurasakan di nadiku. Dengan kaki gemetar, pelan dan hati-hati aku
mendekati bibir jurang, berharap ketakutanku tak terbukti.
Lututku
langsung lunglai, ketakutanku menjadi nyata. Belasan meter di bawah
sana tubuh Mei terbujur diam di atas sebuah batu besar. Setengah
badannya mulai dari pinggang ke bawah terendam dalam ceruk yang
membentuk kolam tak jauh dari air terjun. Tangannya timbul tenggelam
dimainkan riak air yang mengalir. Dari atas sini aku tak mampu
memastikan keadaannya dan sebisa mungkin tak mau memikirkannya.
Mataku
nanar mencari jalan turun. Dengan panik aku menyeberangi aliran air
dangkal di sisi seberang berharap tebing disana lebih landai. Harapanku
sia-sia. Tebing di kedua sisi air terjun ditutupi semak lebat tanpa
tonjolan batu sebagai pijakan. Sempat terpikir untuk melompat begitu
saja ke kolam di bawah, namun aku meragukan pilihan itu. Air terjun
kecil ini tak akan menciptakan kolam yang cukup dalam untuk menahan
beban jatuhku. Airnya yang keruh dan batu-batu tajam yang berserakan
juga terlihat mengancam. Ini bukan pilihan.
Pikiranku semakin
kalut, berkali-kali kutengok tubuh Mei yang diam tak bergerak di bawah
sana. Semakin lama aku disini semakin genting situasinya.
Tenang,
tenang. Kupaksa diriku untuk mengambil nafas dan berusaha tenang.
Kepanikan justru akan menghasilkan keputusan yang salah. Aku berjongkok,
kedua tanganku menggenggam rumput liar untuk meredam gemetar yang tak
mau berhenti. Seluruh tubuhku basah oleh keringat yang terasa dingin di
punggungku.
Kuedarkan pandangan ke arah hutan, mempelajari
konturnya, berharap ada jalur memutar untuk turun kesana, tapi pikiranku
terlalu kalut untuk berpikir jernih. Mataku terus menerus diarahkan ke
jalur turun tercepat, sisi tebing air terjun.
Sementara di atas,
awan hitam mulai berkumpul. Seperti biasanya di musim ini, kawasan Gede -
Pangrango selalu diguyur hujan setiap sore menjelang malam. Titik air
pertama yang jatuh di tanganku bagai menyadarkan aku terlalu lama
membuang waktu. Jika hujan keburu turun, resiko air bah bakal menambah
masalah baru.
Ah, persetan! Kutarik nafas panjang lalu tanpa
berpikir lagi kedua kakiku turun mencari pijakan. Kekosongan di bawah
kakiku langsung membuatku gugup.
Aku bisa, aku bisa. Aku berbisik menguatkan hatiku.
Aku
panik, tak ada apapun yang bisa kupijak. Dengan tangan yang gemetar
memegang erat semak sebagai penahan beban, aku harus cepat. Lalu
alih-alih memijak batu, kulilitkan tumbuhan rambat tebing di kaki
kananku, lumayan kuat, aku beralih melakukan hal yang sama pada kaki
kiriku sambil terus bergeser turun. Dengan cara ini aku berhasil turun
sejauh dua meter saat tiba-tiba tumbuhan rambat yang kugenggam tercabut
dari akarnya. Dengan posisi kaki kiri yang masih terlilit tumbuhan,
tubuhku langsung menghantam tebing dengan posisi kepala di bawah. Sebuah
batu tajam menembus siku kananku, merobek kulitku hingga ke pundak.
Lilitan itu pun akhirnya tak kuat menanggung beban tubuhku dan putus.
***
Yang
pertama kulihat saat membuka mata adalah gumpalan awan hitam yang
tampak rendah. Rintik hujan yang jatuh mengaburkan pandanganku. Seiring
kesadaranku yang timbul tenggelam, rasa sakit yang teramat sangat
menyebar ke seluruh tubuh.
Sesuatu yang hangat terasa membasahi
punggung. Darahku. Sebuah batang ranting tajam menancap di lengan
atasku. Benda laknat itu yang merobek kulitku hingga ke bahu.
Pergelangan tanganku patah, begitu pun siku dan kaki kananku.
Aku sudah habis disini.
Mei
tergolek hanya tiga meter dariku, namun tubuhku tak mampu bergerak
untuk mendekat. Wajahnya tertutup rambut. Aku berharap dia hanya lelah
dan tertidur. Namun tetap aku tak mampu membohongi firasatku.
Tunggu, Mei. Aku akan kesana. Tapi ijinkan aku tidur sebentar.
Dingin. Itu yang pertama kurasakan. Ketika akhirnya aku mampu membuka mata, tak ada apapun. Semuanya gelap.
Tak mampu berpikir mengapa aku terbangun di sini, pikiranku kalut. Pun aku tak mengerti apa yang kukalutkan.
Namun perlahan aku mulai bisa melihat walau samar. Dedaunan? Hutan?
Sesuatu terasa basah di punggungku. Tanah yang lembab.
Barulah
sedikit demi sedikit kesadaranku kembali. Tubuhku nyatanya tergeletak
begitu saja di tanah. Detak jantungku yang tadinya bergemuruh kencang
perlahan mulai tenang.
Aku masih hidup.
Hanya saja aku
belum mampu bergerak. Aku bahkan tak mampu merasakan kaki dan tanganku.
Kelopak mataku terasa berat. Mungkin lebih baik aku tidur sebentar, satu
atau dua jam.
Lalu sebuah ingatan menabrakku, seakan listrik
menyetrum aliran syarafku. Samar dan putus-putus, ingatanku menghadirkan
Ayu yang terpeleset dan jatuh ke jurang.
Aku ingat sekarang. Aku
ingat, kami mengejar Ayu yang tiba-tiba kerasukan. Sekarang aku
mengerti, kekalutanku karena terlambat menolong Ayu.
Mataku langsung basah. Bagaimana kalau dia meninggal? Bagaimana caraku mengabarkan orangtuanya?
Seiring tangisku yang pecah, langit juga melepaskan gerimisnya.
Dari
tempatku sekarang, langit bahkan tak terlihat tertutup rimbunnya hutan.
Jam berapa sekarang? Sepertinya aku pingsan terlalu lama. Apakah tengah
malam? Aku harus bergerak.
Dengan tenaga yang tersisa, akhirnya
aku mampu memaksa tubuhku bangkit. Namun bersamaan dengan rasa sakit
yang tiada tara, aku kembali jatuh terjerembab. Tak mau mengalah, kucoba
bangkit lagi walau akhirnya harus kembali tersungkur. Pada percobaan
yang ketiga baru kusadari, tungkai kaki kananku patah. Dalam kegelapan
kucoba meraba, merasakan kondisinya. Aku terpekik, rasa sakit itu
datangnya dari mata kakiku yang tergeser ke belakang.
Dengan sangat perlahan, kugeser pantatku ke arah pohon di dekatku. Aku harus bersandar.
Aku
mendongakkan kepala, menyambut rintik hujan yang membasahi wajahku.
Dalam keadaan biasa, situasi ini akan sangat berbahaya. Hipotermia bisa
muncul kapan saja. Luka inilah yang menyelamatkanku. Ketakutanku akan
rasa sakit membuat tubuhku terus waspada.
Mungkin aku selamat
dari hipotermia, tapi jika tak mampu menemukan pertolongan, hasilnya
akan sama saja. Ini cuma mati yang tertunda.
Berapa jauhnya
jarakku dari Kandang Badak aku sama sekali tak dapat menduga.
Orientasiku atas jarak dan waktu hilang akibat hilangnya kesadaranku
yang terlalu cepat. Pepohonan di dalam hutan ini juga tak membantu,
semua terlihat sama. Kurus dan tinggi dengan batangnya yang hitam
kecoklatan serta ranting kurus seperti jemari mayat.
Aku meringis
kesakitan tiap kali kakiku tak sengaja terantuk. Rasa sakitnya
berdenyut-denyut hingga membuat telingaku berdenging dan mataku
berkaca-kaca. Kemudian, pelan dan pasti, suhu tubuhku meningkat.
Malam ini, sendiri, di tengah hutan antah berantah, akan kulewati dengan demam tinggi. Aku tersenyum kecut.
Seseorang berjalan pelan sekali dari kegelapan. Sosoknya tak terlihat, aku hanya tahu dia laki-laki.
Kembali aku tersenyum. Aku tahu halusinasi bagian dari efek demam tinggi, tapi aku tak menyangka akan senyata ini.
Sosok
itu berjongkok di depanku, walau tak terlihat aku merasa dia sedang
memperhatikan luka di kaki kananku. Kemudian tangannya menyentuh dahiku.
Rasa dingin langsung menyebar ke seluruh tubuh. Aku hanya diam tak
bereaksi, menikmati sensasi halusinasi yang aneh ini.
Sebuah suara yang lembut terdengar di telingaku. Bahkan sosok itu pun bisa bersuara!
"Ayo bertahan...''
"Jangan diam disini..."
"Temanmu sedang butuh pertolongan.
Situasi
seperti ini yang paling kukhawatirkan dalam setiap perjalanan
mendakiku. Aku mengerti, bagaimanapun aku berusaha safety, akan selalu
ada bahaya yang mengintip dalam gelap.
Mungkin aku lengah,
sehingga cakarnya yang dingin dan tajam merenggut dan menjerumuskan kami
di lembah tak bernama ini. Ini akan jadi pelajaran yang berharga. Lain
kali aku tak akan lengah lagi.
Jika ada lain kali.
Malam
sudah menebarkan selimutnya sejak tadi. Entah jam berapa sekarang,
mungkin tengah malam. Aku sempat jatuh tertidur. Tanpa jam di tangan,
aku kehilangan jejak waktu. Gerimis sudah berhenti sejak tadi, namun
kami tetap berlindung di balik pohon besar ini untuk menghindari
percikan air terjun di belakangku.
Untuk orang yang baru jatuh
dari tebing setinggi belasan meter, kondisiku lumayan baik. Tidak ada
luka yang fatal di bagian kepala. Namun tanganku terus membengkak dan
mulai sulit digerakkan, kemungkinan patah di dalam. Kaki kananku tak
perlu ditanya, tulang keringnya patah dan mencuat menembus kulit di
bawah lututku. Di awal tadi, darah memuncrat seperti pancuran kecil,
tapi sekarang rasanya sudah berhenti. Sesuatu yang lengket di sekitarku
pastinya darahku yang mulai mengering.
Itu bisa dipikirkan nanti,
selain luka dan patah di sana-sini, keadaanku bisa dibilang baik-baik
saja. Yang kukhawatirkan adalah kondisi Ayu.
Dia tak sadarkan
diri sejak tadi, namun mulutnya terus meracau. Beberapa kali dia
menggumamkan ayah bundanya tapi lebih sering menggumam tak jelas. Dia
pasti sedang demam tinggi, tubuhnya panas sekali. Aku terus menerus
mengutuki ketidak-berdayaanku. Saat ini yang mampu kulakukan hanya
memeluknya agar dia merasa nyaman. Kondisinya jauh lebih buruk dariku.
Wajahnya penuh darah yang mengucur dari kepalanya. Kurasa luka itu yang
membuatnya tak siuman sampai sekarang.
Aku masih bergidik tiap
kali teringat kejadian tadi. Otakku berpikir keras, sesungguhnya apa
kesalahan kami hingga bisa seperti ini. Aku sering melihat kejadian
orang yang kerasukan, tapi tidak yang seperti itu. Pasti ada sesuatu
yang salah. Makhluk ini jelas berniat mencelakakan kami.
Saat itu
walau aku bisa mengimbangi tapi akhirnya aku tertinggal jauh dari Ayu.
Sosoknya benar-benar hilang dari pandangan, patokanku hanya semak yang
masih bergetar sebagai penanda arah. Tiba-tiba pepohonan hilang, aku
tiba di batas hutan, bibir jurang menganga lima meter di depanku.
Ketika
aku tiba, Ayu ada di sana. Berdiri tepat di pinggir jurang dengan
ekspresi bingung dan ketakutan. Tubuhnya terlihat ringkih, wajahnya
terlihat lelah.
Tapi dia tidak sendiri. Aku tak tahu apakah Ayu
menyadarinya, tapi ada orang lain bersamanya. Perempuan itu berada tepat
di belakangnya.
Ayu sempat menoleh saat aku tiba, ekspresi
wajahnya terlihat lega ketika melihatku. Perempuan di belakangnya juga
melihatku, lalu tangannya pelan-pelan bergerak. Dengan ketakutan aku
melihat tangan itu terangkat dengan gerakan lambat. Tubuhku membeku dan
mulutku tak mampu mengeluarkan suara.
Lalu yang kutakutkan terjadi.
Aku
menjerit dan berlari berusaha mengejar tubuh Ayu yang meluncur ke
jurang. Ekspresi ketakutan di matanya tak akan bisa kulupakan, dia
bahkan tak mengeluarkan suara sedikitpun.
Lalu tangan sedingin es itu menyentuh punggungku. Dengan sedikit sentakan tubuhku menyusul Ayu terjun ke jurang.
Dadaku sesak teringat itu.
Walau
menggunakan pakaian yang mengisyaratkan seorang pendaki, aku yakin
perempuan itu bukan manusia. Matanya terlihat kosong, wajahnya tak
menampakkan ekspresi ketika mendorong Ayu.
Dan satu lagi.
Wajah itu tak asing buatku. Dimana aku pernah melihatnya?
Lamunanku
terganggu ketika telingaku menangkap suara asing diantara kerasnya
suara deburan air terjun. Tubuh Ayu yang melorot ke pinggangku, kutarik
dan kudekap agar lebih mendekat. Dari mulutnya terus menerus terdengar
racauan tak jelas.
Suara itu makin terdengar jelas.
Mataku
menyipit berusaha melihat diantara kegelapan dan kabut. Sumber suaranya
berasal dari kegelapan semak dan pepohonan di depanku.
Dengan
ketakutan, tanganku yang mulai mati rasa meraba-raba tanah di sekitarku,
berusaha mencari apa pun untuk perlindungan diri. Tangan kiriku
menemukan sebuah batu yang setengahnya terkubur di tanah. Dengan panik
aku menggalinya dengan cepat.
Suara geraman itu kian mendekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar