Oleh : Aras anggoro
Siang menjelang sore. Aku berjalan mendekati seorang perempuan yang sedang duduk sendiri di Tugu Triangulasi, Puncak Gunung Gede. Kami berkenalan dan ngobrol panjang lebar hingga sampai ke topik tentang setan.
"Kamu ngga takut naik gunung sendirian?" tanyanya.
"Ngga. Takut apa?" Aku balik bertanya.
"Setan."
"Kan siang. Mana ada setan."
"Sejatinya setan mengganggu tanpa menunggu malam. Hubungan Setan dan kegelapan hanya ciptaan pikiran kalian. Setan mengganggu sepanjang waktu." perempuan itu menjelaskan panjang lebar. Aku mulai curiga dia akan segera ceramah agama.
"Tau darimana?" tanyaku, sekedar berusaha sopan.
Dia tersenyum lalu menatap mataku dan menjawab santai.
"Kamu pikir saya manusia?"
***
Butuh dua menit untuk mencerna kalimatnya dan butuh tiga menit untuk meredakan kepanikanku dan butuh lebih lama lagi untuk meredakan panik tadi. Dia masih duduk di tempatnya dan masih sama, tak berubah ke wujud apa pun. Matanya masih terus memandangku dan bibirnya masih tetap tersenyum. Tapi aura perempuan ini memang menggidikkan nyaliku.
"Jj.. jin?" tanyaku memastikan. Aku sedikit malu mendengar suaraku sendiri yang jelas bergetar.
"Jelas." Dia menjawab. Senyum itu masih belum hilang dari bibirnya. Angin yang naik dari bibir jurang memainkan poni rambutnya.
Keheningan diantara kami membuat suasana lebih awkward lagi. Aku bingung bagaimana harus bereaksi. Aku takut terlihat bodoh jika ini hanya prank, dan aku lebih takut lagi jika ini benar. Perempuan ini jelas menikmati kebingunganku. Beberapa kali dia membetulkan letak duduknya atau menyibakkan rambutnya dengan gerakan mendadak, menguji reaksiku.
Aku berusaha terus mengontrol kesadaranku dan menolak panik. Di sebelah kananku adalah kawah raksasa Gunung Gede, salah sedikit bisa celaka. Aku gelisah dan waspada andai dia berubah atau tiba-tiba melakukan gerakan mendadak. Tapi dia tetap disana. Diam dan tersenyum.
"Kamu ngga lari?" mendadak dia bertanya.
"Kenapa harus lari?" aku balik bertanya sambil berusaha menebak ke arah mana pertanyaannya barusan.
"Kan kamu sudah tau kalo aku jin. Kenapa ngga lari?"
"Tapi kamu keliatannya baik." Aku menjawab ragu.
Ada sedikit rona kecewa di wajahnya mendengar pernyataanku. Dia kembali membetulkan letak duduknya, kali ini langsung memandangku.
"Jin itu seperti manusia, ada yang baik dan ada yang jahat." Dia menjelaskan. Suaranya tetap lembut dan tenang.
"Kamu ngga baca-baca apa gitu?" dia meneruskan.
Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Pertanyaan yang sama juga kutanyakan pada diri sendiri, walau tentu aku langsung tahu jawabannya, "Ngga hapal."
"Sayang banget. "
"Kk..kenapa?" tanyaku, mulai sedikit khawatir.
Alih-alih menjawab, dia hanya tersenyum dingin. Lagi-lagi keheningan yang aneh menyelimuti kami. Aku mengutuki diriku yang berani-beraninya mendaki sendiri. Sekarang, inilah yang kuhadapi.
Beberapa detik berlalu, dia masih duduk diam disana. Angin lembah kembali meniup rambutnya. Sesuatu mengetuk kesadaranku. Ini cuma prank murahan. Di suatu tempat ada kamera yang sedang merekam reaksi bodohku. Kewaspadaanku hilang digantikan amarah. Perempuan sakit jiwa ini mempermainkanku!
Dia tersenyum melihat perubahan sikapku yang membuat darahku kian mendidih, dan dia jelas nampak menikmatinya. Tak lama dia mulai terkekeh-kekeh dengan suara aneh. Suasana Puncak Gede berubah beku, semua mendadak diam, tak ada suara apapun. Aku terlambat menyadarinya.
Dengan matanya yang masih menatapku, kepala perempuan itu kelihatan bergetar dan semakin miring dengan posisi ganjil. Kedua tangannya kaku dan sedikit mengejang. Tubuhku membeku sementara kakiku bagai tertancap di tanah kala kulihat kepalanya pelan-pelan terpuntir dengan ganjil, miring lalu bersamaan dengan suara tulang retak lehernya putus. Darah terciprat dikakinya saat kepalanya jatuh dengan keras ke tanah lalu pelan-pelan menggelinding masuk jurang, meninggalkan hanya tubuh tanpa kepala di posisi semula. Mataku membelalak melihat darah terciprat dari patahan lehernya, seonggok tulang patah mencuat di tempat yang seharusnya adalah sambungan kepala.
Aku mematung melihat semua kejadian itu tanpa berkedip.
Tiba-tiba tubuh tanpa kepala itu bergerak maju dan menembus tubuhku sebelum aku mampu bereaksi apa pun.
Lalu gelap.
Seperti
baru terbangun dari tidur, sinar matahari sore terasa menusuk saat aku
membuka mata. Aku masih berdiri di tempat yang sama di waktu yang sama.
Angin semilir membelai wajahku, menenangkan hatiku dan seakan mengajakku
lebih lama di titik tertinggi Gunung Gede ini. Ada sensasi lucu saat
kusenderkan punggung ke tugu triangulasi, rasa yang tak biasa, tapi aku
suka.
Sudah saatnya Aku pergi.
Selimut malam sudah turun
sepenuhnya saat aku menyusuri alun-alun timur Suryakencana. Langit malam
dipenuhi bintang tanpa ada ada awan sedikit pun. Nampaknya malam ini
akan luar biasa dingin. Para pendaki terlihat sibuk mempersiapkan makan
malam di sekitar tendanya masing-masing. Beberapa menyapa
mempersilahkanku mampir yang hanya kubalas dengan senyuman. Tujuanku
sudah dekat, dua tenda merah yang berdiri paling ujung.
"Iseng
amat sih? Ke puncak lagi ya?" Rio menyambutku dengan sikap sok khawatir
khasnya. Padahal sekarang apa yang harus dikhawatirkan?
Aku tersenyum jahil dan menaikkan alisku alih-alih menjawab. Rio terus saja menatapku, aku paham dia meminta penjelasan.
"Tadi ada perempuan di puncak. Kita ngobrol-ngobrol biasa... "
"Terus?" Rio memotong dengan cepat.
"Yaa, biasa."
"Jangan
dijadiin kebiasaan lah." nadanya mulai meninggi. Dia masih berpikir aku
masih dibawah tanggung jawabnya. Sejak dulu Rio selalu begitu.
Untunglah tenda pendaki lain tak ada yang didekat kami, pasti aneh kalau
ada yang melihatku bertengkar dengan pohon edelweis.
"Mau
menunggu sampai kapan? Berapa lama lagi, Rio? Kalian boleh aja diam dan
menunggu, tapi aku ngga mau. Ini caraku!" suaraku kini juga ikut
meninggi.
Rio tampak akan berbicara tapi segera kupotong, "kita
ini sekarang sudah terlupakan! Kita ngga bisa terus diam," airmata mulai
turun di pipiku, "atau kita ngga akan pernah ditemukan."
***
Rio
diam berdiri saat aku berbalik dan pergi, aku pun tak menoleh lagi. Tak
ada yang salah diantara kami, keinginan kami sama, hanya cara kami yang
berbeda. Aku hanya tak ingin menunggu lebih lama lagi.
Angin
dingin membelai wajahku, memainkan rambutku dan mengiris hatiku. Siluet
hitam Puncak Gunung Gede yang nampak seperti nisan raksasa seakan
menertawakanku.
Sebuah lagu yang indah terdengar dari dalam
salah satu tenda yang kulewati. Bibirku refleks ikut bernyanyi bersama
Milli Vanilli di reffrain lagu yang rasanya pas dengan keadaanku saat
ini.
".. now i'm sittin here, i'm wastin my time. I just don't know what i should do.
It's a tragedy for me to see the dream is over. And i never will forget the day we met, girl i'm gonna miss you.. "
Mataku
berkaca-kaca, sungguh lagu yang indah untuk kembali membuka luka.
Semoga siapapun dirimu yang sedang mendengarkan lagu ini di tenda tadi
selalu berbahagia. Aku berterima kasih.
Tak terbiasa dengan
tubuh yang fana ini kerap kali memaksaku berhenti untuk mengambil nafas.
Dalam keadaanku yang normal, aku mampu bergerak dari Alun-alun
Suryakencana ke Puncak Gede atau Kandang Badak dalam sekejap. Tapi tidak
dalam raga ini. Walau begitu aku tak ingin melepaskannya, dia terlalu
sempurna. Mungkin setelah ini tak ada lagi kesempatan bagiku dalam
seratus tahun.
Maafkan aku, ini kulakukan karena keterpaksaan
dan keterbatasanku. Semoga hatinya yang sejajar dengan hatiku bisa
merasakan apa yang kurasakan dan memakluminya.
Kutoleh sekali lagi tugu triangulasi. Hanya dia saksi bisu saat kuambil tubuh ini.
Aku
berdiri memandang beberapa sorot lampu kepala yang kelihatan bergerak
ke arahku. Jauhnya jarak, pohon-pohon dan kabut membuatku tak mampu
memastikan jumlahnya. Mungkin sekitar tiga atau empat orang. Mata
manusia memang tak bisa diandalkan, payah.
Tepat dibawah kakiku
adalah simpul tali teratas Tanjakan Setan. Aku memutuskan menunggu
orang-orang ini alih-alih turun. Sayup terdengar suara panggilan dari
orang-orang di bawahku yang meneriakkan sebuah nama. Namaku.
Ketika suara-suara itu mendekat barulah bisa kupastikan jumlahnya. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan.Tiga orang.
Tiga adalah bilangan ganjil.
Sebuah
senter menyorot tepat ke wajahku disusul teriakan-teriakan dan
ucapan-ucapan puji syukur. Suara-suara panik bercampur lega ditambah
suara tangisan perempuan bergerak naik ke arahku. Ini terlalu drama
buatku, lebih baik aku keluar dulu.
***
Nama orang-orang
ini Dimas, Raka dan seorang yang perempuan bernama Putri. Dari ketiga
orang ini hanya Dimas yang reaksinya paling baik. Mulai dari prosedur
membawa tubuh yang pingsan menuruni jalur terjal Tanjakan Setan hingga
ke tenda mereka di area Kandang Badak. Dia yang paling sibuk memberi
instruksi cara paling cepat dan aman mengevakuasi. Dua yang lain terlalu
sibuk dengan kebingungannya sendiri.
Saat akhirnya tiba di
tenda dia juga yang berinisiatif memasak air dan membuat minuman panas.
Yang tak dilakukannya sendiri hanya ketika dia meminta Putri untuk
menggantikan baju yang basah karena keringat dengan yang kering.
Orang
lain yang juga mendirikan tenda ditempat yang sama mulai berdatangan.
Tapi tak ada yang bisa mereka lakukan, semua sudah dikerjakan Dimas.
Jadi mereka hanya berkerumun di sekitar tenda dengan ekspresi
wajah-wajah prihatin juga ekspresi ingin tahu. Beberapa yang bermental
lemah, kebanyakan perempuan, menunjukkan wajah panik dan ketakutan.
Bisik-bisik terdengar di antara mereka.
"Kesurupan?"
"Tadi ketemunya denger-denger di tanjakan Setan?"
"Gua kok jadi merinding ya?"
"Eh, beneran? Kok serem ya?"
"Kesurupan itu nular ngga sih?"
"Lagian perempuan berani banget naik sendiri.. "
Tapi
ada efek samping yang lumayan menyenangkan dari situasi ini. Naiknya
tensi dan ketegangan memaksa tubuh mereka mengeluarkan cadangan panas
ekstra yang membuat tubuh mereka berkeringat di suhu dingin lembah
Kandang Badak. Seharusnya mereka berterima kasih padaku.
Aku
masih memilih terus memejamkan mata, menikmati setiap perhatian dan rasa
khawatir dari orang-orang di sekitarku. Sudah lama aku tak merasakan
kehangatan yang tulus dari manusia.
Ah, manusia. Tidakkah kalian
sadar, keramahan, senyum tulus, kehangatan kalian adalah sesuatu yang
indah. Mengapa harus menunggu bencana untuk menghadirkan itu semua?
Rasanya aku tak'kan pernah mengerti tentang manusia.
Aku
dirawat dengan cukup baik. Pakaianku sudah diganti dengan yang kering.
Emergency blanket berwarna perak membungkus tubuhku di balik kantung
tidur yang dinaikkan sebatas bibir yang dimaksudkan untuk menjagaku agar
tetap hangat.
Kuperhatikan tiga orang penolongku yang sedang
ngobrol di depan tenda. Nampaknya mereka sedang membahas sesuatu yang
seru. Dimas yang sedang berbicara terlihat menggerak-gerakkan tangan
kirinya dengan ekspresif sementara tangan kanannya sibuk mengaduk kopi
yang baru saja diseduh. Putri sambil mendengarkan dengan serius tapi
masih menyempatkan membereskan peralatan masak. Sementara Raka dengan
mata mengantuk dan setengah rebahan mendengarkan acuh tak acuh, memang
selalu ada idiot pemalas dalam kelompok.
Sosok Dimas berlawanan
dengan tampilan standar anak-anak penggiat alam yang umumnya urakan.
Rambutnya rapih dengan belahan pinggir, wajahnya persegi yang cocok
sekali dengan pipi tirusnya. Secara umum dia lebih mirip eksekutif muda
yang biasa nongkrong di Sudirman. Melihat caranya menguasai diskusi,
gerak tangannya dalam mengekspresikan yang sedang dibicarakan,
mengingatkanku pada Rio.
Dulu sekali kami pun mendirikan tenda di
sini. Aku ingat debat-debat panjang hingga larut malam kami. Sejak dulu
Rio sudah menyebalkan, selalu memaksakan pendapat, menganggap dia yang
paling benar sendiri, egosentris. Setelah tragedi, dia lebih bnayak diam
tapi tetap menyebalkan. Lalu Raka, dia itu seperti Adi. Tipikal
follower. Tidak banyak bicara tapi malasnya luar biasa. Dan lihatlah
ini, obrolan tengah malam Rio, Mei dan Adi di masa kini.
"Mendaki
gunung itu berbahaya, resikonya tinggi makanya kita sebaiknya naik
berkelompok, gunanya ya saling back up, meminimalisir resiko. Jadi salah
besar kalo dia berani-beraninya naik sendiri, perempuan lagi." suara
Dimas berapi-api.
Melihat kedua pendengarnya nampaknya tak akan
berbicara, dia kembali meneruskan, "Selagi di kota silahkan aja kalo mau
sok jago, tapi di gunung jangan. Kalo kenapa-kenapa orang lain juga
yang repot."
Raka mengangguk-angguk setuju, "mirip kita barusan dong ya?"
"Nah, itu," jawab Dimas, "dia sih enak aja pingsan, kita yang babak belur."
Owh, ternyata sedang membahas diriku? Menarik juga.
"Iya sih, lagian berani banget naik sendiri. Aku ketinggalan sendiri aja bisa nangis." Putri membeo pendapat Dimas.
''Jangan
ya, Put. Kalo gua sama Raka ngga bisa, mendingan lu tahan dulu. Ngga
usah maksain jalan sendiri. Bahaya." intonasi Dimas terdengar serius.
Putri mengangguk-angguk dengan cepat.
Aku tersenyum. Benar-benar tipikal anak gunung.
***
Selepas
mereka masuk ke tenda masing-masing, Lembah Kandang Badak kembali
ditelan sunyi. Kabut putih melayang turun dari ketinggian kedua puncak
yang mengapitnya: Gede dan Pangrango, membuat tempat ini menjadi
sedingin es di malam-malam musim kemarau seperti malam ini.
Kabut
itu melayang berputar-putar di antara tenda-tenda para pendaki yang
sedang terlelap berselimut kantong tidur yang hangat. Sama sekali tak
menyadari ada banyak sosok yang berkeliaran. Beberapa berhenti dan
mengintip ke dalam tenda. Beberapa yang lain masuk dan menduduki wajah
orang yang sedang tidur, membuatnya megap-megap kehabisan nafas dan
membuatnya bangun hanya untuk mendapati dia tak tidur sendiri di
tendanya. Beberapa yang lain masuk ke tubuh dan diam disana sepanjang
umur orang itu. Hampir setiap pendaki pulang ke rumah dengan membawa
satu-dua penghuni gunung di tubuhnya, mereka bahkan tak menyadarinya.
Lembah
serta celah-celah gunung yang sepi adalah rumah kami, termasuk sadel
Kandang Badak ini. Apakah kami terganggu? Tadinya seperti itu. Tapi lama
kelamaan kami makin terbiasa. Seperti kami, manusia pun diperbudak
egonya. Kelak, tak akan ada gunung tertinggi atau lautan terdalam yang
belum terjamah manusia. Yang diperlukan oleh kami hanya cukup
membiasakan diri.
Dan nyatanya kami terbiasa. Manusia ternyata
lumayan memberi kami hiburan tersendiri. Lihatlah tenda paling ujung
itu. Di dalamnya laki-laki dan perempuan yang belum muhrim sedang tidur
berpelukan, tinggal sedikit usaha, lenyaplah iman. Kami tinggal
menikmati adegan menjijikkan dari dua calon penghuni neraka.
Tapi jangan pernah coba-coba melakukan adegan itu di Alun-alun Suryakencana.
Dulu,
Adi yang paling giat mengingatkan kami dalam menjaga adab. Aku
menganggap wajar jika dia begitu. Dengan mata kepalanya sendiri dia
pernah ditampakkan sosok Eyang Suryakencana kala dia mengalami kesulitan
dan hampir celaka. Lalu jauh sebelumnya, dia juga tak akan mungkin
selamat di Gunung Ciremai andai sosok itu tak menolongnya.
Jam
tanganku menunjukkan angka enam. Biasanya di jam ini cahaya matahari
pertama mulai terlihat di antara rimbun pepohonan, namun cahaya itu tak
kunjung datang. Nampaknya pagi ini mendung. Kabut tipis juga masih
terlihat dimana-mana di antara pepohonan. Kabut juga menghalangi
pandanganku ke jalur turun juga ke jalur miring yang mengarah ke puncak.
Dikurung kabut seperti ini rasanya seperti sedang berada di alam lain.
Hanya
tenda kami yang tersisa di Kandang Badak. Tenda lain pasti sudah
berangkat ke Puncak untuk mengejar sunrise. Agak ganjil rasanya tak ada
orang lain di tempat yang biasanya ramai.
Aku sudah bangun sejak
subuh, sholat lalu diam menunggu. Akibat kejadian kemarin, mustahil buat
kami untuk tetap mengikuti jadwal. Dan benar saja, sampai sekarang pun
belum ada pergerakan apa pun di tenda mereka. Biar mereka istirahat
dulu.
Barusan sempat kuintip tenda mereka masing-masing, semua
tidur dengan damai. Sepertinya hanya aku yang mengalami kesulitan tidur.
Berkali-kali aku terbangun tadi malam karena merasa ada sesuatu yang
mengawasi. Ayu yang kesurupan pun tidurnya lebih nyenyak dariku.
Aku
sering menghadapi kejadian orang-orang yang tiba-tiba kesurupan.
Beberapa bisa dibujuk keluar baik-baik, tapi kebanyakan harus dengan
cara paksa. Buatku itu biasa saja. Kita mendaki masuk ke wilayah makhluk
tak kasat mata, pasti akan ada benturan. Tapi ada yang aneh disini.
Buat ukuran orang yang kesurupan, Ayu terlalu tenang. Tidak ada drama
teriak-teriak minta ini itu, tidak ada ketawa atau tangisan. Aneh.
Ada
keanehan yang lain juga, ini yang membuatku lebih banyak diam tadi
malam. Ada yang ganjil dengan Dimas dan Putri, tapi aku tak berani
memikirkannya, khawatir jika dugaanku benar. Cara bicara dan gerak
tangannya sama sekali bukan Dimas yang kukenal.
Setengah jam
berlalu. Matahari benar-benar tak muncul pagi ini. Kabut mulai menebal
dimana-mana membuat sekitarku semakin gelap. Kubayangkan matahari hanya
terlihat seperti bercak di langit kelabu, cahayanya tak akan mampu
menyibak selimut kabut di sekitarku.
Sudut mataku melihat sesuatu
bergerak di balik pepohonan. Aku diam tak bergerak, berpura-pura tak
tahu. Jelas bukan binatang. Bangsa hewan tak akan mau mendekati jalur
pendakian para predatornya. Dan pastinya bukan manusia, dibalik
pepohonan ini adalah jurang.
Aku bisa saja menyalakan senter yang
tergeletak di sampingku. Tapi itu tak akan berguna untuk melihat
makhluk tak kasat mata. Lagi pula aku cukup puas seperti ini, kegelapan
menajamkan indera. Tinggal kutunggu penampakan apa yang akan muncul kali
ini. Kandang Batu yang sering muncul biasanya sosok kuntilanak, tapi
aku tak pernah tahu atau mendengar penampakan di Kandang Badak. Kulirik
tenda teman-temanku, sepi. Aku benar-benar sendiri.
Semak di
depanku bergerak dengan ganjil. Kabut yang melayang disekitarnya seakan
memiliki nyawa sendiri. Keringat mulai basah di punggung dan dahiku. Tak
salah lagi. Mereka sudah di sini.
Kabut
kelabu di balik pepohonan di depanku kian menebal. Perlahan namun pasti
bayangan hitam pohon-pohon kurus yang lebih jauh hilang dari pandangan.
Terus kuyakinkan diri ini bukanlah kabut biasa, hatiku terus berteriak
agar waspada. Tanpa kusadari nafasku semakin cepat. Bola mataku bergerak
liar mengawasi situasi, aku tak ingin jantungku copot jika tiba-tiba
sebuah wajah penuh darah muncul begitu saja di depanku.
Bulu
kudukku meremang tiap kali hembusan angin dingin meniup telingaku. Tiap
detik yang berlalu tanpa ada apapun justru semakin menyiksaku.
Berkali-kali kakiku refleks ingin bergerak kabur, namun dengan sedikit
nyali yang tersisa keinginan itu selalu berhasil kutepis. Gemetar di
tanganku kian sulit kukendalikan.
Jangan takut, jangan takut, jangan takut. Aku terus mengulang-ulang kalimat yang sama seakan mantra.
Nafasku
kian cepat dan jantungku semakin berpacu kala kusadari tempat ini
kelewat sunyi. Telingaku tersiksa mencari satu saja sebuah bunyi yang
mengindikasikan aku sedang tidak di lain dimensi. Satu-satunya yang
bergerak hanya kabut kelabu yang mengalir ke arahku tanpa suara.
Kabut?
Aku terkesiap. Terlambat menyadari yang terjadi, kabut itu menelanku dalam sekejap mata.
Namun
di luar dugaan, walau jarak pandang terbatas, aku justru merasakan
tenang. Jantungku kembali berdetak normal, begitu pun nafasku.
Ketika
akhirnya kabut pelan-pelan tersibak, bukan Kandang Badak yang ada di
depanku melainkan sebuah tempat asing. Lamat-lamat kudengar suara
percikan air, awalnya samar, seiring telingaku yang mulai terbiasa,
suara air itu kian membesar dan membesar.
Tidak, aku tidak
panik. Bahkan sebelum pandanganku tersingkap, aku tahu itu adalah suara
air terjun. Suara air jatuh itu justru menenangkan. Juga keadaan disini
pun tak berbeda dengan Kandang Badak, kabut tebal nampak dimana-mana,
tak terkecuali di tempat deburan air yang jatuh. Langit yang sejak tadi
mendung akhirnya membagi hujan rintiknya disini. Anehnya aku merasa
nyaman dan tak kebasahan.
Air terjun itu kira-kira setinggi tiga
belas meter tegak lurus. Sebuah batu besar berada tepat di tengahnya dan
membagi aliran airnya menjadi dua. Semak dan akar mencuat di kedua sisi
tebingnya. Batu-batu berlumut berserakan di sekitar aliran air,
menandakan tempat itu sudah lama tak terjamah orang. Dan nampaknya juga
tak ada akses sama sekali, tempat itu terkurung semak yang rapat,
tumbuhan di lantai hutan sekitarnya saling memilin setinggi dada orang
dewasa. Satu-satunya cara mencapai tempat ini hanya dari tebing di atas
air terjun itu. Bekas longsoran di tebing sebelah kanan juga menguatkan
dugaanku.
Lalu telingaku menangkap sesuatu, pelan sekali, tapi
yang jelas itu suara manusia. Suasana yang kian gelap menyulitkanku
menemukan sumber suara tersebut. Aku tak dapat memastikan apakah itu
suara erangan atau tangisan. Suara itu timbul tenggelam diantara deburan
suara air terjun.
Saat kabut kelabu terbuka di belakangku
barulah terlihat yang kucari. Itu adalah tangisan seorang laki-laki yang
sepertinya sebaya denganku. Rambutnya lepek dan kusut membuat wajahnya
tak terlihat tertutup rambut yang jatuh. Kaki kanannya menekuk dengan
ganjil, apakah patah? Sebelah sisi kanan tubuhnya penuh guratan
berdarah. Dia duduk bersandar di sebuah pohon besar. Kedua tangannya
dengan lemah memeluk seorang perempuan yang nampaknya sudah tak
bernyawa. Wajah perempuan itu terlihat bersih, laki-laki itu pasti sudah
membersihkannya karena seluruh tubuh perempuan itu tertutup lumpur dan
darah yang mulai mengering. Kondisi perempuan itu lebih memprihatinkan,
leher dan kedua kakinya patah.
Laki-laki itu nampaknya berada
diambang batas ketahanannya. Beberapa kali kepalanya terkulai. Dia
pingsan. Saat kesadarannya kembali, Isak tangisnya yang menggiriskan
hati kembali terdengar. Kabut tipis melayang lalu hilang disapu angin,
gerimis pelan-pelan membersihkan luka menganga di dahinya. Saat kilat
menyambar, kulihat mata kanannya bengkak dan mulai bernanah.
Sosok
lain bergerak diam-diam diantara semak. Berjingkat pelan dan semakin
mendekat. Aku melihatnya, laki-laki itu juga melihatnya.
Dengan
tegang aku menahan nafas saat melihat laki-laki itu berusaha mengambil
batu yang agak jauh di luar jangkauannya, sementara sosok hitam itu
semakin mendekat.
Tangan dan jantungku bergetar saat laki-laki
itu dengan menahan kesakitan yang teramat sangat akhirnya mampu meraih
batu terdekat. Dapat kulihat tangan laki-laki itu juga gemetar hebat.
Sementara sosok hitam berkaki empat itu semakin mendekat.
Dengan
panik tangan kanan laki-laki itu menarik tubuh teman perempuannya ke
sisi kanan tubuhnya, sementara tangan kirinya yang memegang batu
terkulai lemah ke tanah.
Jantungku bergemuruh melihat jarak yang
semakin dekat antara laki-laki itu dengan seekor macan kumbang hitam
yang mendengus-dengus kelaparan. Aku tak mampu lagi melihat saat
akhirnya macan kumbang itu merangsek maju dan menerjang. Batu di tangan
kirinya tak sempat terangkat, dia sudah kehabisan tenaga.
Sebuah
teriakan membahana memecah kesunyian hutan. Menggetarkan hati siapapun
yang mendengarnya. Itu adalah teriakan terakhir laki-laki itu. Di bawah
guyuran hujan, dia terlihat kalah dan putus asa. Dengan sebelah matanya
yang masih bisa digunakan, dia menyaksikan dengan diam saat taring macan
kumbang itu merobek daging dari tubuh kaku teman perempuannya lalu
menariknya menuju kegelapan.
Airmata terakhir tumpah dari matanya. Bibirnya bergerak pelan mengucapkan sebuah kata sebelum akhirnya diam selamanya.
Best casinos in the world to play blackjack, slots and video
BalasHapushari-hari-hari-hotel-casino-online-casinos-in-us · herzamanindir blackjack (blackjack) · roulette gri-go.com (no Blackjack Video Poker 바카라 사이트 · https://deccasino.com/review/merit-casino/ Video Poker · Video Poker herzamanindir.com/ · Video poker