Oleh :
Saya tidak habis pikir kenapa arwah noni Belanda itu menyerang kami. Arwah yang saya curigai sebagai nenek buyut teman SMA saya.
Seperti cerita Rustam, lanskap perkebunan teh Jamus memang indah. Pemandangan yang bagi saya sangat “menipu”. Pemandangan indah yang menyembunyikan aura mistis luar biasa.
Rustam lahir dan dibesarkan dekat-dekat situ juga. Desa Ngrambe namanya. Dia anaknya tokoh masyarakat setempat, teman sekolah saya di SMA, anak blasteran
Ketika libur sekolah, Rustam mengajak saya dan Gogon menginap di rumahnya, di lereng Gunung Lawu. Tentu kami mau. Dengan sangu pas-pasan, kami berangkat dari terminal yang pada tahun 80-an bernama Umbulharjo menuju Gendingan. Dari Gendingan, lanjut ke Desa Ngrambe naik bus kecil.
Kami sampai menjelang magrib. Ketika makan malam, saya sampaikan bahwa besok pagi kami ingin jalan kaki ke Jamus. Namun, ayah Rustam melarang kami jalan kaki. Menerobos hutan melewati selatan Dusun Gendol terlalu berbahaya. Dulu, ada warga yang jadi korban macan tutul.
“Besok biar diantar pakai mobil saja. biar cepat sampai. Nanti tidur di rumah nenek saja. besok kabut pasti tebal, berbahaya buat kalian.” Kami tidak bisa membantah. Bayangan menjadi mangsa macan tutul itu terlalu menakutkan. Apalagi malam itu kabut tipis sudah turun.
Rumah nenek Rustam sudah kosong sejak setengah tahun lalu. Setelah nenek Rustam meninggal, tidak ada yang mau tinggal di sana.
“Nanti kita dibantu Kang Panjul untuk bersih-bersih,” kata Rustam.
Kang Panjul ini suruhan keluarga Rustam. Pokoknya segala urusan Kang Panjul bisa diandalkan. Kang Panjul ini gagu, jadi agak susah diajak berkomunikasi.
Pagi-pagi sekali kami berempat berangkat naik mobil pick-up. Perjalanan singkat saja, tak lebih dari 30 menit.
Rumah nenek ini memang strategis. Pemandangan di depan rumah adalah hamparan kebun teh. Di sebelah utara, ada pepohonan pinus yang cukup rapat. Di belakang rumah, ada kompleks pemakaman Belanda. Nenek Rustam dimakamkan di sini.
Lepas zuhur, kami menuju kolam renang di mata air Sumber Lanang, tidak jauh dari rumah nenek. Begitu sampai di sana, kesan yang terasa adalah perasaan “kesepian”. Seakan-akan, semuanya terlalu tenang. Sudah pasti ada “sesuatu” di sini.
Rustam dan Gogon duduk di bangku taman, agak jauh dari kolam renang. Sementara itu, saya jalan-jalan di sekitar kolam yang di pinggirannya tertutup banyak dedaunan. Rencananya kami mau berenang. Namun, masih siang saja udara sudah dingin. Kami membatalkan rencana dan cuma mau jalan-jalan saja.
Ketika berjalan di sisi kiri kolam renang, telinga saya berdengung. Keras sekali. Saya sampai sempat terhuyung. Sedetik kemudian, samar-samar saya mendengar bisikan yang menyuruh saya terjun ke kolam.
Bingung, saya edarkan pandangan ke sekeliling kolam. Saya melihat Rustam dan Gogon asik ngobrol di bangku taman, sedangkan Kang Panjul berjalan-jalan. Saya melihat dia seperti menggerutu.
Saat itu, bisikan untuk terjun ke kolam semakin kuat. Seperti setengah sadar, juga seperti ada yang mendorong badan ini, saya langsung terjun dengan pakaian masih menempel di badan.
Byurrr!
Rustam dan Gogon terkejut! Kang Panjul mendekat ke bibir kolam sambil membuat tanda-tanda menggunakan tangannya. Mungkin maksudnya meminta saya cepat naik.
Setengah tidak sadar, saya memberi isyarat, “Jangan khawatir!”
Menghindari dedaunan yang mengambang di pinggiran, saya berenang ke arah tengah. Setelah sampai di tengah, saya slulup atau menyelam. Anehnya, dasar kolam tidak kelihatan. Padahal, kalau dilihat dari pinggir, dasarnya kelihatan sangat jelas.
Aneh, kolam renang itu sangat dalam. Airnya biru seperti berenang di laut lepas. Ini tidak beres!
Saya merasa sedang digiring ke dunia lain.
Tapi, semuanya terlambat!
Tiba-tiba, dari dasar kolam, ada yang berenang cepat sekali menuju arah saya. Saya lihat ke bawah, jari tangannya berkuku panjang. Dengan cepat, dia mencengkeram kedua pergelangan kaki saya! Dia menyeret saya ke dasar kolam. Saya meronta sekuat tenaga, berusaha melepaskan kaki dari cengkeramannya.
Terlihat jelas, rambutnya panjang, mata bolong, hanya kelihatan pantulan cahaya putih. Saya tahu dia noni Belanda, karena memakai klederdracht, pakaian tradisional perempuan Belanda. Noni Belanda? Nenek Rustam?
Saya terus melawan. Saya mencoba menendang noni Belanda itu tapi tak berdaya. Oksigen seperti tersedot habis dari dada ini.
Pada saat genting, ada yang menarik kerah baju dan menarik saya keluar dari kolam. Ternyata Kang Panjul berjibaku menolong saya. Rustam dan Gogon menghambur dan ikut menarik saya ke permukaan.
Mereka bertiga membawa saya ke bangku taman yang berada agak jauh dari kolam. Kang Panjul berusaha menjelaskan kejadian yang dia saksikan kepada Rustam. Sayang, Rustam memahami usaha Kang Panjul.
Sesampainya di rumah, saya melihat Rustam pucat pasi. Dia seperti ingin bicara tetapi diurungkan kembali. Saya masih lemas dan memutuskan tidak ingin bertanya kenapa. Sementara itu, Gogon mulai agak panik dan memberondong saya dengan berbagai pertanyaan. Maaf ya Gon, saya terlalu lemas untuk bercerita.
Menjelang sore, Rustam dan Kang Panjul hendak balik ke Ngrambe untuk mengambil makan malam. Kami lupa tidak membawa bahan untuk memasak.
Sebetulnya, saya enggan ditinggal berdua saja sama Gogon setelah peristiwa siang tadi. Gogon juga sama. Berdua saja rasanya nggak tenang.
Namun, Rustam meyakinkan kalau rumah neneknya aman. Dia berjanji akan secepat mungkin kembali membawa bahan makanan. Padahal, kami bisa saja memutuskan untuk pulang. Namun, kesempatan untuk piknik ini tak bisa dilepaskan. Toh perjalanan ke rumahnya cuma singkat saja.
Saya dan Gogon akhirnya sepakat. Dengan badan lemas, saya dituntun Gogon masuk ke kamar untuk rebahan. Sambil merokok, Gogon mendengarkan cerita saya. Gogon menyimak dengan serius. Kadang matanya terbelalak.
Ketika cerita saya hampir selesai, tiba-tiba Gogon menunjuk langit-langit kamar sambil mengeluarkan suara seperti Kang Panjul. Sedetik kemudian, dia kejang-kejang. Epilepsiya kumat! Wah, celaka.
Mau tak mau, meski badan masih lemas, saya menyingkirkan benda berbahaya di sekitarnya, rokok dimatikan, lampu teplok saya pindah. Setelah itu saya hanya diam, membiarkan Gogon di atas kasur memulihkan kesadarannya. Setengah jam kemudian, Gogon mulai sadar, menyuruh saya mengambilkan obat yang dibawanya di dalam ransel.
Tidak beberapa lama, dia sudah tertidur. Di dalam kamar, saya merasa makin gelisah. Rustam dan Kang Panjul tak kunjung datang. Karena masih lemas, saya sempat tertidur di samping Gogon untuk kemudian terbangun karena kaget ketika wajah noni Belanda itu muncul begitu saja dalam mimpi saya.
Saya lirik jam di dinding. Sudah pukul 10 malam, suara mobil pick-up belum juga terdengar. Rumah nenek Rustam terasa makin sepi. Kabut tipis masuk di sela-sela ventilasi kamar.
Tiba-tiba pintu rumah diketuk dan ada suara, “Ughh… ughh… ughh.” Jelas ini suara Kang Panjul!
Namun, saya segera sadar kalau tidak ada sura mobil merapat. Kayaknya tidak mungkin Kang Panjul jalan kaki. Lagian, kalau datang bersama Rustam, mana mungkin Kang Panjul perlu ketuk pintu sambil manggil-manggil.
Saya lihat Gogon sudah tidur pulas. Mendengkur pula. Sejahtera kamu Gon, saya yang stres!
Terdengar lagi pintu luar diketuk, malah semakin keras. Wah, kasihan Kang Panjul, mungkin dia sangat kedinginan, orang yang berjibaku menyelamatkanku di kolam renang.
“Sabar Kang, saya buka pintunya!”
Dengan sigap pintu saya buka….
Sialan! Ternyata bukan Kang Panjul!
Pemandangan itu bakal membekas di dalam ingatan saya. Sesosok perempuan berdiri di sana. Dia, noni Belanda yang berusaha menenggelamkan saya. Matanya bolong, menembus tulang tengkorak, putih, meneteskan darah. Seketika, punggung saya terasa sangat dingin.
Untung saja, kesadaran saya kembali dengan cepat. Saya banting pintu lalu susah payah berlari ke kamar. Saya kunci rapat-rapat dan duduk di samping tempat tidur. Belum juga reda ketakutan ini, saya mendengar suara orang batuk dari arah dapur. Suaranya sangat jelas.
Dari arah belakang, artinya dari sebelah kamar nenek Rustam. Seketika saya sadar bahwa makhluk halus bakal dengan mudah menembus dinding. Saya takut noni Belanda itu sudah masuk dari belakang rumah.
Saya berusaha membangunkan Gogon. Namun, karena obat yang dia minum, Gogon tidur pulas sekali. Hampir seperti orang mati. Ketika sibuk membangunkan Gogon, pintu kamar diketuk. Kali ini, terdengar suara batuk orang tua dari luar kamar.
Saat itu, ada pergolakan batin yang muncul. Apakah noni Belanda itu adalah nenek Rustam? Mengapa saya yang dia incar? Kenapa bukan Rustam?
Kesadaran baru itu seperti menjadi pendorong bagi saya untuk mencari tahu. Saya merasa harus melawan “teror” noni Belanda ini. Seperti ada dorongan kuat, saya menuju pintu dan membukanya.
Sambil menahan nafas, saya beranikan menatap makhluk itu. Namun ternyata, tidak ada siapa-siapa di depan saya. Detak jantung sudah mau pecah saja ketika suara batuk orang tua kali ini terdengar dari arah dalam kamar. Saya balikkan badan dengan cepat.
Sebuah pemandangan janggal tersaji di depan saya. Noni Belanda itu melayang horizontal di atas Gogon yang tidur pulas. Saya hendak berteriak, tapi tak bisa. Saya jatuh terduduk ketika noni Belanda itu menoleh ke arah saya sembari masih melayang secara horizontal.
Dari badan noni Belanda itu ada air yang menetes-netes. Tetesan air yang akhirnya membangunkan Gogon. Begitu membuka mata, dia kaget setengah mati dan mencoba menggeser tubuh menjauhkan mukanya dari muka noni Belanda yang cukup dekat.
“Aajiiiiiiiii!!!” Gogon berteriak kencang ketika berhasil beringsut dari tempat tidur dan menghampiri saya.
“Lari! Ayo!” Teriak Gogon karena saya mematung saja.
Gogon menarik tangan saya begitu keras sampai saya bisa berdiri. Kami menghambur keluar dari rumah itu. Kami tidak tahu berapa lama kami berlari ketika dari kejauhan melihat pick-up Kang Panjul dan Rustam. Saya lega sekali.
Secara singkat saya menceritakan “teror” noni Belanda di rumah itu. Kang Panjul diam saja ketika Rustam menyuruh saya diam di tempat. Rustam akan menengok rumah itu untuk memastikan keberadaan noni Belanda itu. Saya berusaha mencegah, tetapi Rustam mengibaskan tangan saya dengan mudah.
Kang Panjul dan Rustam melaju ke rumah itu. Saya dan Gogon terduduk di bawah pohon pinus. Bingung.
“Ji, kayaknya kita nggak boleh diem di sini. Takut macan tutul. Mending jalan ke bawah, ke arah rumah Rustam,” ajak Gogon.
Karena tidak ada pilihan lain, saya setuju saja. Kami berjalan pelan sambil mengedarkan pandangan ke bantaran hutan di kiri dan kanan jalan. Beberapa menit berjalan, dari kelokan jalan ada dua sinar dari senter yang menyorot kami. Setelah memicingkan mata, ternyata Kang Panjul dan Rustam dan di belakangnya ayah Rustam juga ikut berjalan.
“Rustam! Kenapa jalan kaki? Tadi kamu ngebut ke rumah nenek. Kang Panjul juga,” Gogon mulai panik.
Rustam kaget. “Mobil saya rusak. Mendadak mogok. Saya dan Kang Panjul memutuskan berjalan kaki karena kalian cuma berdua. Bapak menemani kami.”
“Lalu, kami tadi melihat siapa?”
Saya bertanya dengan suara yang terdengar begitu lemas.
Hening sesaat menyadarkan saya bahwa teror noni Belanda belum berakhir. Tiba-tiba, ayah Rustam berkata.
“Lebih baik kita segera putar balik. Kembali ke rumah. Nanti saya jelaskan semuanya.
Rustam bingung sementara Kang Panjul terlihat sangat cemas. Saya dan Gogon saling pandang sebelum mengekor rombongan. Sepanjang perjalanan, punggung saya terasa begitu dingin. Dinginnya seperti air kolam dari pegunungan yang tertutup kabut. Dingin sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar