Jam satu pas, aku sampai di depan halaman kontrakanku. Suasana sepi. Jam-jam seperti ini memang enaknya untuk tidur. Apalagi gerimis mulai turun. Kustandar motorku di pinggir, tepatnya di samping rumah kontrakanku yg kebetulan agak luas. Kebetulan kontrakanku bentuknya bukan petakan. Yah, kalau di kampungku memang belum banyak rumah kontrakan yg petakan. Modelnya masih satu rumah. Segera kubuka sepatuku.
"Akh, auuh, sakit banget !" kataku setelah kubuka kaos kakiku.
Ya, Allah, ternyata kedua telapak kakiku lecet-lecet akibat naik turun bukit yg tidak mengenakan sepatu. Saat itu tercium pula bau badanku yg belum mandi. Hmm, aku harus mandi dulu dan sholat Dzuhur sebelum tidur. Aku langsung menuju pintu.
"Wah, dikunci !" kataku setelah gagang pintu kunaik-turunkan.
"Assalamualaikum, Neng !" kataku , agak keras.
Aku menduga anak-istriku pasti sedang tidur siang.
"Neng, assalamualaikum !"
"Tok, tok, tok ! Assalamualaikum !"
Akh, aku mulai kesal, karena tak ada jawaban dari istriku. Mataku benar-benar lelah, badanku juga sudah berat. Sekarang aku tak berpikir untuk mandi dan sholat Dzuhur. Aku benar-benar ingin menghempaskan diriku di atas tempat tidur. Karena terlalu lama menunggu, akhirnya aku duduk di bangku depan.
"Akh, mendingan gue tidur di sini aja !" kataku pada diri sendiri.
Baru saja aku memejamkan mata, tiba-tiba ,...
Ceklek, ceklek !
Kudengar suara kunci pintu dibuka dari dalam. Aku pun langsung bangkit dari dudukku.
"Lama amat, sih !" kataku sambil kulihat wajah istriku yg masih terlihat mengantuk, Ketika pintu sudah dibukanya.
"Eh, Abang ! Udah lama ya ? Maafin Neng ya. Tadi abis nyetrika trus tidur-tiduran, eh ketiduran." kata istriku dengan nada bersalah.
"Iya, Abang maafin. Abang ngantuk banget, mo tidur. Dari kemarin belum tidur." kataku sambil langsung masuk terus menuju kamar.
"Irma dan Maemunah, pada kemana ?" tanyaku sambil terkantuk-kantuk.
"Tadi aku titip di rumah lbu." jawab istriku, yg kudengar agak samar-samar.
Segera kudorong pintu kamarku, dan kuhempaskan diriku. Akh, rasanya nikmat sekali ketika kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidurku yg busanya masih begitu empuk. Aku pun langsung terlelap.
***
"Astagfirullah Al adzim, Bang ! Bangun, Bang, sudah adzan Ashar !" kata istriku dengan nada khas, sambil mengguncang-guncang tubuhku.
"Cape banget, Bang ! Emangnya dari mana sih, sampai tidur nyenyak banget ?
Belum mandi, ya ? Bau banget. Itu kaki kenapa, kok lecet-lecet ? Kemarin katanya mo cari kerjaan. Kerja apaan sampai begadang dua hari nggak pulang ?" kata istriku, mengumbar pertanyaan. Entah berapa pertanyaan.
Aku yg baru bangun tidur, hanya bisa mendengarnya saja. Kurasa tak perlu kujawab.
"Bang, tadi sholat Dzuhur, ngga?"
"Hah, iya. Aku belum sholat Dzuhur !" jawabku dalam hati, lalu segera bangun dari tempat tidur.
"Handuk, mana handuk ?" kataku sambil meninggalkan istriku, yg hanya bisa geleng-geleng kepala.
Selesai mandi dan berganti baju, aku langsung menjamak takhir sholat Dzuhur dengan sholat Ashar.
(terpaksa karena ngantuk dan tak ingin tidak sholat Dzuhur. Padahal jamak itu kalau kita dalam perjalanan. Tapi aku kan juga dalam perjalanan. Bahkan kemarin melakukan perjalanan sampai ke alam kerajaan siluman kera).
Selesai sholat, aku menyusul istriku yg sedang duduk di ruang tamu. Akh, badanku sudah agak bugar, walaupun hanya tidur dua jam. Tapi, tidurku kali ini benar-benar nikmat.
Aku segera duduk di hadapan istriku. Kulihat di atas meja sudah tersedia secangkir kopi dan sepiring pisang goreng.
"Baca doa dulu sebelum makan !' kata istriku, Ketika dilihatnya tanganku sudah mengambil pisang dan akan segera memakannya.
"Sudah, dalam hati !" kataku, sambil memakan pisang yg tadi sempat tertahan.
"Hmm, mantap benar pisangnya!" Teriakku dalam hati.
"Bang, pertanyaanku tadi belum dijawab." tanya istriku di tengah keasyikanku menikmati pisang.
"Hmm, ...."
Aku segera menghabiskan pisang goreng itu
"Pertanyaan apa?" tanyaku berlagak lupa.
Irma dan Maemunah kenapa dititip ke lbu, Neng !"
kataku mengalihkan pembicaraan.
"Jawab dulu pertanyaan, Neng !" katanya tetap berkeras.
"Eh, ingat, istri tidak boleh bersuara keras pada suaminya. Nanti sia-sia loh, amalannya !"
"Kata siapa?"
"kata pak ustadz."
Dia lalu memandangku. Aku balas memandangnya.
"Kemarin Abang waktu pergi dengan Bang Sobir, Abang ngga ninggalin duit. Nah tadi pagi Irma dan Mae minta beliin nasi uduk. Ya, udah, Neng ajak aja mereka ke rumah lbu. Udah itu Neng pengen nyuci, biar ngga terganggu. Tuh, udah Neng jawab kan. Sekarang Abang jawab pertanyaan Neng !" kata Istriku dengan wajah penasaran.
"Trus kopi dan pisang goreng ini dari mana? Kan dua hari yg lalu Abang kasih dua ratus. Kok, udah nggak punya duit lagi ?" kataku agak serius, agar dia lupa dengan pertanyaannya.
Dia terlihat diam sejenak.
"Eh, iya duit yg dua ratus, yg Abang kasihkan dua hari yg lalu itu, pertama buat bayar listrik dua bulan , jumlahnya seratus lima puluh, trus beli gas dua puluh. Sisanya buat belanja kemarin sore." katanya.
"Trus kopi dan pisang goreng beli pakai duit dari mana?" kataku mendesaknya. (Hi, hi, hi,..... sepertinya aku berhasil membelokkan pembahasan)
"Tadi pagi, Ibu memberikan uang lima puluh ribu, ketika aku mo pulang setelah mengantar mereka berdua." katanya perlahan.
"Mae dan Irma , mo nginep?"
"Ngga nginep. Ntar Abang yg jemput ya? Eh, iya, jawaban pertanyaan Neng belum Abang berikan. Ayolah jawab Bang?"
Hi,hi,... ternyata aku terkecoh. Dia tetap konsisten dengan pertanyaannya.
Akh, aku jadi bingung ! Apakah aku harus jelaskan persoalan yg sebenarnya. Kalau kujelaskan sejujurnya, berarti aku membagi rahasia pesugihan ini. Hal ini akan membahayakan hidupku. Juga keluargaku.
"Ingat, Arel ! Kalau rahasia ini terbongkar, berarti kamu yg membocorkannya. Meskipun kamu gagal, asal kamu bisa menjaga rahasia ini, nanti kamu akan aku bagi hasilnya !" kata-kata Sobir di perjalanan tadi, terngiang di telingaku.
Walau Sobir mengatakan hal itu, aku tak berharap sama sekali. Yang aku takutkan raja siluman akan mengejarku, kalau sampai rahasia ini bocor.
Belum lagi, istriku pasti marah besar kalau tahu, apa yang telah kulakukan. Pasti aku akan dapat ceramah yg panjang. Bahkan bisa saja dia sampai minta cerai karena perbuatanku. Wah, aku tak sanggup memikirkannya.
Hmm, terpaksa aku harus berbohong lagi.
(Hi,hi,...benar kata peribahasa. 'untuk menutupi satu kebohongan, diperlukan kebohongan yg lain)
Aku berpikir keras sambil menikmati tegukan kopi buatan istriku. Lalu kutarik napas dalam dalam dan segera kuhembuskan. Kukuatkan hatiku , agar bisa bercerita dengan meyakinkan.
"Maafkan aku, Neng. Maafkan aku ya Allah, karena aku harus berbohong, dan semua kulakukan agar tidak terjadi hal buruk terhadap diriku dan kedua anakku." kataku membathin.
"Jadi, kemarin itu Abang dan Bang Sobir mau melamar kerja jadi security, eh, maksud Abang tenaga satpam. Nah , ternyata waktu tesnya dua hari. Hari pertama, tes fisik. Abang berdua harus lari melintasi bukit sekitar dua kilo meter dengan kaki telanjang,..."
"Kok, berat banget, Bang ?" katanya, memotong ceritaku.
"Dengerin dulu dong !" kataku agak kesal.(hi,hi,. padahal aku tertawa, karena melihat wajah istriku yang serius sekali mendengar cerita)
"Iya, iya. Terus !"
Aku membetulkan posisi dudukku.
"Nah, setelah itu, Abang berdua juga dites push up dan sebagainya sampai sore. Jam lima sore diumumkan, dan Abang berdua lulus. Sudah itu istirahat sebentar. Abang dan Bang Sobir ngga sempat makan nasi, cuma minum air putih. Terus lanjut tes kedua yaitu tes tertulis. Wah, soalnya banyak banget. Coba, Neng bayangin ! Abang harus jawab seratus soal. Soalnya Abang, ngga paham. Abang kan cuma lulusan es-em-pe, dikasih soal untuk es-em-a. Akhirnya Abang ngga lulus. Tapi, Sobir beruntung. Dia lulus."
"Oh, gitu. Ya, udah, Abang sabar, ya ! Mungkin belum rezekinya."kata istriku di akhir ceritaku.
Akhirnya aku bisa menarik napas lega, mendengar komentarnya.
"Abang ntar jemput Irma dan Mae, ya ?" katanya lalu bangkit dari duduknya.
"Mau kemana, Neng ?" tanyaku.
"Neng mau ngangetin nasi dulu, Bang."
Aku tak menjawab, hanya mengangguk-angguk saja. Akh, aman. Rahasia tetap terjaga. Semoga Allah mengampuni kesalahanku. Aku hanya bisa tersenyum, pahit.
Hmm, benar-benar menyesal aku. Gara-gara mau kaya dengan cepat, aku harus merasakan penderitaan. Badan capek, kaki lecet, ditambah harus jadi pembohong. Hmm, benar-benar rugi
Pagi ini cuaca redup, mendung menggayut. Suasananya enak sekali untuk tarik selimut. Aku baru saja keluar dari areal sekolah SD tempat Maemunah bersekolah. Segera kupacu motorku menuju tempat kerjaku. Rintik-rintik hujan sudah mulai menerpa wajahku. Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai pabrik. Kulihat Mang Sapri sedang membersihkan alat-alat buat mencetak batako. Oh, iya, Mang Sapri adalah karyawan senior di pabrik batako ini. Tinggal aku, Sobir, dan Mang Sapri yg masih bekerja di sini, setelah delapan orang karyawan yg lainnya memilih mengambil pesangon tiga bulan gaji. Mang Sapri ini sudah tidak punya sanak keluarga. Dia pernah menikah, namun tidak punya anak. Istrinya menggugat cerai , setahun setelah bekerja di Arab jadi TKW. Lalu terdengar kabar , istrinya menikah dengan majikannya. Mang Sapri usianya belum terlalu tua, mungkin tiga puluh limaan atau empat puluhan. Tapi wajahnya terlihat seperti orang berumur lima puluh tahunan. Rambutnya sudah penuh uban. Hi,hi,....kok jadi ngomongin Mang Sapri.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh !" kataku setelah memarkir motorku, sambil membuka jas hujan. Dan langsung mendekatinya.
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh, sehat Bang Arel !" jawabnya, lalu menghentikan kerjanya.
"Alhamdulillah sehat."
"Maaf tangan saya kotor Bang!" katanya sambil berdiri dan menghaturkan salam jarak jauh.
Aku pun membalasnya.
"Eh, iya. Bang Arel, ditunggu Bos di dalam !" katanya kemudian ketika aku mau mengambil baju kerja.
"Ada apa, ya?" kataku balik bertanya.
"Kurang tahu , Bang. Temui saja di dalam ! Tadi Bos bilangnya begitu ke saya." jawab Mang Sapri."Saya kerja duluan, ya !"
Aku segera mengambil baju kerjaku lalu masuk ke rumah Bos dari pintu samping.
Setelah melewati beberapa ruangan, aku sampai di ruang Bos yang pintunya tertutup.
Tok, tok, tok! Assalamualaikum !"
"Waalaikum salam, masuk aja, Rel !" kata Bosku yg bernama Irwan.
Aku segera membuka pintu, lalu masuk. Kulihat Bos Irwan sedang duduk di bangku putarnya, membelakangiku.
"Ayo silahkan duduk !" katanya tanpa membalikan badannya. Sepintas kulihat dia sedang memainkan HP-nya.
Aku segera duduk di kursi yang ada di depan mejanya.
"Jadi , begini, Rel !" katanya, lalu memutar kursinya dan menghadapi
"Astagfirullah Al adzim !" teriakku kaget dan hampir saja bangku yang kududuki terbalik.
"Ada apa, Rel !" tanya Bos Irwan yg terkejut melihatku.
Aku tak langsung menjawab. Kutenangkan diriku. Astagfirullah, ketika kupastikan bahwa yg ada di hadapanku benar-benar Bos Irwan, aku baru bisa tersenyum terpaksa.
"Hei, ada apa ? Tadi kaget seperti melihat setan. Sekarang malah senyum-senyum?"
tanya Bos lrwan , lagi.
" He, he,... ngga ada apa, Bos." kataku menjawab pertanyaan nya.
Padahal tadi aku benar-benar terkejut melihat Pak Irwan berwajah kera. Akh, ada apa ini ?
Padahal dari kemarin, sejak kepulangan ku bersama Sobir, semua baik-baik saja. Dan semalam pun aku tidur nyenyak. Ya, istriku tak dapat diganggu karena dia sedang kedatangan tamu bulanannya.
"Begini Rel, kemarin Sore, teman kamu menemui saya dan menyatakan berhenti bekerja, jadi kamu harus cari satu orang lagi untuk menggantikannya ! Bagaimana?" kata Pak Irwan, menjelaskan.
"Teman saya, Sobir, Bos ?"
"Iyalah, siapa lagi. Kan teman kerja kamu cuma Sobir dan Mang Sapri."
Aku hanya mengangguk-angguk.
"Dia kemarin, ke sininya?" tanyaku penasaran.
"Iya, kemarin. Bahkan dia juga minta uang pesangonnya. Katanya hari ini dia mau pindah ke kota." Bos Irwan menjelaskan.
Hah, mo pindah ? Pindah ke kota ?" kataku bertanya-tanya.
Akh, ntar pulang kerja aku akan main ke kontrakan Sobir.
"Rel, Gimana, bisa kan cari satu orang lagi ?" kata Pak Irwan mengejutkanku.
"Bisa, bisa Bos." jawabku , setengah panik.
"Oke, sekarang kerja lagi, ya ! secepatnya cari orang, karena kebetulan saya dapat order cetak batako sepuluh ribu. Mantap kan ?!" kata Bos Irwan sambil tersenyum.
"Wah, mantap Bos ! Berarti gaji full, dong ?"kataku spontan.
Entah lagi senang atau apa, Bos Irwan hanya tersenyum mendengarkan ucapanku.
"Gaji masih dipotong 30%, nanti saya kasih bonus saja." katanya, kemudian.
Aku pun segera bangkit dari kursi.
"Permisi Bos. Salam mualaikum !" kataku segera pamit dari hadapannya.
"Waalaikum salam." jawabnya.
"Akh, Sobir, Sobir, kok pindah ngga bilang-bilang !" Bathinku berkata.
Dan aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
***
Pulang kerja aku sempatkan diri mampir ke rumah Sobir. Untung aku tak terlambat. Dia dan istrinya sudah ada di mobil pick up sewaan yang membawa barang terakhir , setelah dua kali jemputan
"He, pindah ngga bilang-bilang !"kataku sambil menjegat mobil itu dengan motorku.
Segera kusejajari pintu mobil itu. Kulihat Sobir tersenyum.
"Mau pindah ke mana ? Ke kota ,ya ?"
"Iya, Rel. Nanti aku hubungi kamu lagi. Maaf ya, aku tak bilang-bilang kamu. Tenang aja, kalo aku sukses, pasti aku inget kamu."
"Akh, itu lagi yang dia katakan !"
"Oke , aku berangkat ya!"
Hi,hi,...bahasa Sobir berubah jadi ber-aku dan kamu.
Aku tak berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa memandangi mobil pick up yang membawa barang-barang Sobir sampai menghilang di tikungan jalan kampung.
Sejak kepindahan Sobir dan keluarganya, kehidupan keluargaku terus berjalan seperti biasanya. Dan tak ada kejadian-kejadian aneh yang kualami. Seiring berjalannya waktu, sekarang pabrik batako tempatku kerja sudah menghasilkan batako pres yg lebih bagus mutunya. Bos lrwan telah mendapatkan rekanan kerja yg mempunyai jaringan luas. Sekarang karyawan sudah bertambah menjadi sepuluh orang. Aku dan Mang Sapri sebagai karyawan senior, diangkat sebagai Quality control (QC). Gajiku sudah tidak dipotong 30% lagi. Hampir satu tahun sudah, aku tak dengar kabar tentang Sobir. Meskipun sekarang zaman canggih, dan semua orang punya hp, gadget, gawai, i-phone, Sobir seperti hilang di telan bumi.
Aku dan keluargaku juga sudah tidak tinggal di kontrakan. Sejak sembuh dari stroke nya, Bapak mertua kembali merintis usaha warung kelontong dan sukses. Istriku yang memang anak satu-satunya, dibelikan rumah. Anak-anakku menjadi cucu kesayangan kakek nenek nya. Ah, aku sempat berpikir ini mungkin karunia Allah karena aku tidak memilih untuk mengambil jalan pintas. Di rumahku sekarang banyak anak kecil yg datang mengaji, karena istriku sekarang mengajar ngaji. Alhamdulillah akupun aktif mengikuti pengajian di mushola.
Namun, kedamaian di kampung ini terusik dengan kehadiran Sobir kembali. Sobir yg sekarang bukan Sobir yang dulu (hi,hi,... seperti judul lagu). Sobirlah yg membeli rumah besar di kampung ini, yg dijual pemilik nya yg hendak pindah ke kota. Kabar ini menyebar begitu cepat. Semua orang di kampung salut dan kagum dengan perubahan ekonomi Sobir.
Hanya aku yang menjadi khawatir. Padahal aku sudah melupakan peristiwa yang pernah kualami dengannya.
" Met malam kawan ?" Tiba-tiba sebuah suara yg sudah kukenal mengejutkanku, Ketika aku sedang asyik menikmati secangkir kopi di halaman depanku. Akh, aku lupa menutup pintu pagar halaman rumah, hingga Sobir bisa masuk dengan leluasa.
"Eh, lu Bir ! Tumben ngga salam mualaikum !" kataku yg agak kaget juga dengan kemunculannya.
Entah karena rasa khawatir atau apa, aku jadi tidak respek lagi dengan Sobir.
"Hei, sombong banget lu ya ! Mentang-mentang sudah punya rumah sendiri." katanya melihat perubahan sikapku.
"Bukannya aku sombong, Sobir. Gue cuman ngga nyangka aja lu pindah ke sini lagi. Kenapa lu ngga beli rumah di kampung lain ?" kataku sambil menatapnya.
Hmm, badan Sobir semakin subur. Dan penampilannya keren.
"Silahkan duduk, Sobir !" kataku dengan nada kaku.
Lagi-lagi aku tak tahu apa yg terjadi denganku. Padahal Sobir temanku yg paling akrab, sejak sama-sama kerja di pabrik. Atau mungkin ini pengaruh yin dan yang kalo kata orang cina. Jadi saling bertolak belakang. Atau rasa kekhawatiranku, ya mungkin rasa kekhawatiranku yang berlebihan.
" Makasih, gue sebentar aja, gue kira lu masih susah seperti dulu. Tapi, gue pernah terlanjur berjanji, bahwa kalau gue sukses gue akan ngebagi lu." katanya tanpa bergerak dari tempatnya berdiri.
"Hmm, makasih Bir, dengan niat baik lu. Tapi sebaiknya ngga usah ngebagi gue. Gue takut dan ngga ingin terlibat dengan apa yg lu lakukan. Tapi gue janji akan jaga rahasia lu."
Lalu kulihat dia maju dua langkah dan menaruh sebuah amplop yg cukup tebal di atas meja di hadapanku.
"Gue udah penuhin janji sama lu , Rel. Terserah pemberian gue, lu mau apakan saja. Dan lu juga harus tepati janji lu !" katanya, lalu pergi dari hadapanku. Dan kudengar dia mengunci pintu pagarku.
Sementara aku hanya bisa menarik napas panjang. Lalu kuambil amplop yg tadi diletakkan Sobir di atas mejaku. Akh, aku menyesal mempunyai kebiasaan ngopi sendirian di depan rumah di waktu malam. Kubuka amplop itu, ternyata isinya lembaran-lembaran merah dua tumpuk. Yeah, dua puluh juta rupiah dia membagiku. Astagfirullah Al adzim.
Mau aku apakan duit ini ? Karena aku tahu asal-usul duit ini.
Kututup lagi amplop itu dan meletakkannya kembali di atas meja, lalu aku bangkit dan kutinggalkan begitu saja.
***
Keesokan harinya, aku berharap uang itu sudah lenyap dicuri orang. Ternyata uang itu masih ada. Padahal istriku telah membereskan gelas kopi dan piring kue yg semalam kugunakan. Istriku tak membicarakan amplop yg kutinggalkan di atas meja, seakan-akan dia tak melihatnya.
Sejak kedatangan Sobir malam itu, aku tak lagi menikmati kopi dan pisang goreng di halaman depan rumahku. Aku lebih memilih di ruang tamuku. Dan, jika sudah jam sembilan malam, kukunci dan kugembok pintu pagar rumahku. Alhamdulillah nya aku tidak pernah bertemu Sobir selama ini. Kudengar kabar dia menjadi anggota dewan komisaris di sebuah perusahaan bonafit karena sahamnya sudah melebihi 30%. Dan, investasi modalnya di beberapa perusahaan juga dia punya. Dia tinggal menikmati hasilnya saja. Orang-orang tidak pernah ada yg menanyakan dari mana dia mendapatkan uang.
Sementara aku yg tahu rahasiaunya, yakin bahwa modal yang didapat Sobir adalah bantuan dari raja siluman. Meskipun aku tak tahu bagaimana caranya.
Keyakinanku beralasan, karena dia dengan begitu mudah memberikan uang dua puluh juta dengan tanpa sarat sedikit pun kepadaku.
Yang selalu terpikirkan olehku adalah perjanjian antara Sobir dan Raja Siluman dimana Sobir dituntut untuk mengorbanku seekor kelinci yang begitu imut dan lucu. Akh, aku yakin ada rahasia besar di balik perjanjian itu. Apakah semudah itu syarat pesugihan kera ? Dan ketika dia memberikan uang dua puluh juta kepadaku, aku tak mau menerima uang itu. Dan uang itu kukembalikan melalui istrinya. Kukembalikan saat kutahu Sobir tak ada di rumah.
"Uang apaan ini, Bang ?" tanya istri Sobir ketika aku kembalikan uang dari suaminya.
"Dulu Gue pernah punya utang. Waktu minjemnya sih, sedikit-sedikit. Tapi kalau yg pernah gue pinjam dan gue catat, utangnya sebanyak ini. Kasih tau Sobirnya nanti-nanti aja. Gue yakin laki lu ngga mau kalo gue bayar utangnya." kataku panjang lebar.
Untungnya istri Sobir langsung mau menerima uang itu , tanpa bertanya lebih lanjut. Akh, aku tak punya beban hutang lagi.
***
Jumat tanggal 21 bulan ini adalah tepat setahun sudah kepergian aku dan Sobir ke gua siluman kera. Aku akhirnya mengingat-ngingat kembali kejadian itu, didorong rasa kepenasaranku pada apa yang akan dikorbankan Sobir untuk raja siluman kera itu. Dari semalam sampai pagi ini tak ada kejadian apapun terhadap Sobir dan keluarganya. Karena tak ada kejadian apapun, aku segera tidur selepas sholat subuh.
"Abang, Bang !" Kudengar suara Neng, membangunkanku
"Ada apa, sih?" kataku, langsung menyahut.
"Anita, anak perempuan Bang Gonin, barusan meninggal mendadak." jelas Neng.
"Meninggal mendadak kenapa ?" Aku segera bangun dan bertanya dengan nada penasaran.
"Tadi dia sedang main sepeda dengan teman-temannya, tiba-tiba ada monyet yg mengejarnya. Dan Anita ngebut membawa sepedanya untuk menghindari monyet itu, dan dia berhasil menghindarinya, namun di ujung jalan , kan ada kali, dia ngga bisa ngerem sepedanya, lalu kecebur di kali." Cerita istriku dengan semangat.
"Terus,..." Tanyaku penasaran.
"Ya, dia kecebur ke kali. Anak-anak yang lain karena takut dengan monyet itu, ngasih tahu ke warga. Dan warga langsung menolong. Sayangnya kalinya lagi kering. Kepala Anita kena batu dan kehabisan darah. Tadi sempat dibawa ke Puskesmas, tapi nggak tertolong."
Akh, baru kudengar di kampung ini ada monyet yg menyerang manusia. Memang di kampungku sering ada monyet yg masuk perkampungan sesekali. Tapi belum ada kejadian seperti ini. Pikiranku langsung tertuju pada seraut wajah, yaitu Sobir. Astagfirullah Al adzim, aku mulai berburuk sangka !
Hujan yg turun sejak kemarin sore, masih saja berlanjut. Sementara jam dinding di ruang tamu rumahku menunjukkan pukul 6.15. Untungnya sekolah Mae libur di hari Sabtu. Cuma nanti jam sepuluh ada kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Jadi aku bisa santai berangkat kerja. Eh, iya baru ingat, aku harus melayat dulu ke rumah Bang Gonin yang anaknya kemarin sore meninggal. Sebenarnya sore kemarin aku mau melayatnya, namun hujan yg turun tiba-tiba menahan niatku.
"Bang ayo kita melayat dulu !" kata istriku sambil memberikan payung kepadaku yg sedang asyik berdiri di depan pintu rumahku sambil memandangi hujan yang cukup deras.
"Hi,hi, si Neng, Abang belum mandi ! Ntar aja, Abang sambil lewat !"
"Iih, sekarang aja ! Berbuat baik itu jangan ditunda-tunda, Bang !" kata istriku mulai ceramah.
"Udah Neng duluan ya, biar Abang jagain Mae dan Irma. Ntar kalau mereka bangun, kita ngga ada, kasian kan?" Aku masih beralasan.
"Justru mereka lagi tidur, kita bisa bareng ngelayatnya. Ayo Ah !" kata istriku sambil menarik tanganku.
" E, eh, tunggu dulu payungnya belum dibuka!" Aku mencoba melepaskan tanganku.
Istriku melepaskan pegangannya. Lalu dia membuka payungnya. Aku pun segera membuka payungku. Hi, hi, biasanya dulu satu payung berdua, sekarang udah gendut-gendut, jadi payungnya satu-satu.
"Neng, pintu udah dikunci?" Tanyaku.
"Kan kita sebentar aja, Bang. Biarin ngga usah dikunci."
Aku tak lagi berkomentar, lalu segera melangkah menyusulnya, menembus hujan yg makin deras.
Sekitar sepuluh atau sebelas menit kemudian aku dan istriku telah sampai di rumah Bang Gonin. Kami segera menutup payung dan memasuki tenda milik warga yg sudah dipasang di depan rumah Bang Gonin.
Segera kusalami semua tetangga yg sudah tiba lebih dulu.
"Yang sabar ya Bang !" kataku ketika Bang Gonin menyambut salamku.
"Makasih Bang Arel." katanya.
Kulihat kesedihan yang mendalam di matanya. Aku lalu duduk di bangku di samping dia yg masih berdiri.
"Maaf, Bang ! Kronologi nya gimana, sih ? Kok , sampai terjadi seperti ini?" Tanyaku, ingin menyamakan cerita yang sudah kudengar dari istriku.
Bang Gonin tidak langsung bercerita. Dia kulihat menghapus air matanya, sebelum dia duduk di bangku sampingku.
"Akh, gue nggak nyangka banget Anita pergi secepat ini. Padahal dia baru saja bisa naik sepeda. Kemarin gue baru beliin dia sepeda. Kalo tau bakal begini, nggak bakal gue beliin sepeda." katanya kemudian, mulai bercerita.
Dan ceritanya sama persis dengan yang kudengar dari istriku.
"Sabar, ya Bang ! Mungkin sudah takdir Allah. Rupanya Allah lebih sayang kepada Anita." kataku menghiburnya, setelah dia menyelesaikan ceritanya.
Bang Gonin hanya mengangguk saja. Lalu kami terlibat obrolan dengan warga lain yg baru berdatangan.
"Baiklah, Bang Gonin, gue balik dulu ya, bentar lagi kerja. Maaf, ngga bisa bantuin sampai selesai !" kataku pamit, setelah istriku memberikan tanda padaku.
"Iya, makasih ya Bang Arel. Nggak apa-apa Bang. Banyak yang bantuin kok !"
Dan Aku segera menyalami yang lain untuk pamit. Bagusnya hujan sudah reda, tinggal titik-titik kecil saja.
"Wassalam mualaikum, semuanya!" kata ku sambil melangkah mendekati baskom yang ditutupi taplak meja untuk menaruh uang para pelayat.
"Waalaikum salam" jawab semuanya berbarengan.
***
Hah !
Aku terkejut ketika akan memasukkan uang lembaran lima puluh ribuan, ternyata di dalam baskom itu ada amplop coklat seperti yg pernah kupulangkan tempo hari kepada istrinya Sobir.
Akh, aku semakin yakin, bahwa ini perbuatan Sobir. Segera kutinggalkan rumah Bang Gonin. Selama perjalanan pulang aku hanya menjadi pendengar saja. Sementara istriku terus bercerita. Aku tak ingin menceritakan apa yang kulihat tadi.
Sesampainya di rumah, ternyata anak-anakku masih tidur.
"Neng, anak-anak jangan main jauh-jauh ya." Pesanku dengan nada khawatir kepada Neng, ketika aku sudah berada di atas jok motor dan siap berangkat kerja.
"Iya Bang. Kan anak-anak emang nggak pernah main jauh!"
"Jangan main sepeda dulu , ya ! Ntar ada monyet itu lagi, loh !"
"Hiih, si Abang malah nakut-nakutin " kata istriku agak sewot.
"Assalamualaikum," kataku langsung menjalankan motorku.
"Waalaikum salam." jawab istriku sambil mengikutiku untuk menutup pintu pagar.
"Bismillahi tawakaltu alallah" Doaku dalam hati.
Di kantor, sambil mengontrol hasil kerjaan para pekerja, pikiranku tak lepas dari bayang-bayang wajah Sobir. Seakan-akan wajahnya menyeringaiku. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi. Akhirnya aku hanya duduk saja di kursi ruanganku.
Aku berharap, bahwa kematian Anita, anak Bang Gonin adalah ketentuan dan sudah takdir dari Allah. Namun, penyerangan monyet dan amplop coklat di dalam baskom tadi, membuat alam bawah sadarku bertanya-tanya, ada hubungan apa dengan Sobir. Kalau saja aku tak tahu rahasia Sobir, mungkin aku tak akan berpikir jauh dan berprasangka buruk.
Akh, aku jadi teringat kembali mimpi buruk tentang anakku yg diculik manusia berwajah kera ketika aku di gua dulu. Tiba-tiba ada rasa khawatir terhadap Irma dan Mae.
Hati dan pikiranku tiba-tiba gelisah tak tentu. Akhirnya, jam dua, aku tak mampu menahan kegelisahan itu, lalu aku izin ke Bos lrwan untuk pulang.
"Oke, Rel. Istirahat yg cukup ya. Kamu kelihatan pucet banget ! Nih, buat berobat, ya !" kata Bos Irwan mengizinkanku sambil memberi selembar uang merahan.
"Iya, makasih Bos." kataku sambil segera mengambil uang seratus ribu yg disodorkannya.
"Wasalamualaikum!" kataku, pamit sambil meninggalkan ruangannya.
"Waalaikum salam, hati-hati, ya."
***
Karena kepalaku agak pusing, dan aku ingin cepat sampai ke rumah, aku memilih jalan pintas ke arah rumahku. Jalan ini memang belum di aspal, masih jalan tanah, tapi jalan ini bisa lebih cepat sampai ke rumahku. Menjelang pertemuan jalan ini dengan jalan aspal, kulihat ada seekor monyet ukuran besar menghalangi jalanku. Aku segera menghentikan sepeda motorku, sekitar empat atau lima langkah di hadapan monyet itu.
Hmm, aku jadi takut juga.
"Bismillahirrahmanirrahim, Allahu lailaha ilallah,...." Aku segera membaca ayat kursi sambil kutatap monyet itu.
Akhirnya monyet itu bergerak ke arah pinggir.
"Alhamdulillah" kataku memajukan motorku melanjutkan perjalanan.
Sementara mataku tetap mengawasi monyet itu yg terus balas menatapku.
"Aauuk, aauuk !" Tiba-tiba dia berteriak-teriak lalu lompat ke jok belakang motorku dan menomplok bagian belakang kepalaku.
"Astagfirullah Al adzim!" Aku berteriak kaget, dan tanpa sadar tanganku menarik gas motor. Motorpun melaju kencang. Sementara aku masih sempat meloncat dan tanganku segera berusaha melepaskan pegangan monyet itu aku jatuh berguling-guling. Sepeda motorku melaju menabrak pohon pisang.
"Bang, Bang Arel !" Tiba-tiba kudengar suara istriku.
Aku langsung membuka mataku.
"Abang ngimpi ya, Neng !" tanyaku ketika kusadari aku berada di atas tempat tidur.
Tapi aku heran, kulihat bapak mertuaku dan tetangga-tetanggaku ada di sekitarku.
"Alhamdulillah, Abang sudah sadar!" kata Neng. Kulihat wajahnya dan ada air mata di pelupuk matanya, sebelum dia memeluk tubuhku.
"Tadi kami menemukanmu, pingsan di pertigaan jalan arah rumahmu!" kata Bapak mertuaku , menjelaskan.
"Pingsan?"
Kulihat semua wajah mengangguk, mengiyakan.
Akh, tiba-tiba kepalaku pusing.
Terimakasih Bapak/lbu atas perhatian dan doanya sehingga Arel bisa segera sadar dari pingsannya. Karena Arel sudah sadar maka kita semua kembali ke ruang tamu ya. Biarkan dia istirahat dulu, biar kesehatannya cepat pulih."
Ku dengar suara bapak mertuaku, mengajak teman dan tetanggaku untuk meninggalkan kamarku. Aku bisa mendengar suara itu dengan jelas. Kucoba untuk membuka mataku , namun terasa begitu beratnya. Tadi aku sudah sempat bicara. Namun kurasakan bibirku seperti tidak bisa digerakkan saat ini.
"Bang, jangan tinggalin Neng, Bang !"
"Bapak, bangun, Pak!"
"Iya, Pak, Irma kangen!"
Suara istri dan kedua anakku jelas terdengar di telingaku. Namun aku tak bisa menjawabnya. Lidahku kelu. Aku ingin membelai rambut istriku yg kurasakan wangi rambutnya , tapi tanganku juga tak mampu kugerakkan.
"La hauwla wala quwata ila billah !"
Kukuatkan hati dengan kalimat-kalimat Allah. Ya Allah apakah seperti ini rasanya menjelang kematian ? Apakah ini yg disebut mendekati sakkaratul maut ! Pikiranku mulai berpikir jauh.
Aku berusaha keras membuka mataku.
"Alhamdulillah !" Kudengar suara istriku bersamaan dengan terbukanya mataku.
Kurasakan pelukan istriku penuh kehangatan dan kehangatan itu menjalari seluruh tubuhku.
"A, a, ..nakku !" Kudengar suaraku terbata-bata ketika kurasakan kedua anakku memelukku juga. Rupanya perasaan khawatir mereka terhadapku menjadi kekuatan yg mendorong semangat hidupku.
"Ya Allah dengan izin-Mu kumohon tolonglah aku!" kataku membathin.
"Astagfirullah Al adzim !"
Alhamdulillah kini bisa kudengar, mulutku mengucapkan istighfar.
Lalu kugerakkan kepalaku. Dan kulihat wajah istriku, lrma dan Mae. Juga kulihat wajah ibu dan bapak mertuaku. Jelas kulihat pancaran wajah-wajah bahagia yg
ada di wajah mereka.
"Jangan banyak gerak dulu, Bang!" kata istriku lalu menciumi aku.
Allahu Akbar, Allahu Akbar,....!" Bersamaan dengan itu, kudengar suara adzan.
"Adzan Ashar, ya Neng ?" kataku.
"Adzan Maghrib, Bang." jawab istriku.
Maghrib? Kuingat-ingat kembali apa yg telah terjadi. Bayangan kejadian yg menimpaku pun hadir.
Akh, monyet yg menyerang bagian kepala ku tadi berhasil kulepaskan. Aku melemparkan monyet itu sebelum aku rasakan pandanganku menjadi gelap.
Wah, aku belum sholat Ashar !" Gumamku dalam hati.
"Berapa lama Abang pingsan, Neng?"
"Tadi Bapak yang nemuin Abang di jalan pas adzan Ashar. Kata Bos Irwan, Abang izin pulang jam dua ya ? Berarti Abang pingsan sekitar tiga sampai empat jam." kata istriku, menjelaskan.
"Tadi pas Bapak nemuin Abang, katanya ada monyet di dekat Abang, iya kan, Pak" lanjut Neng sambil melihat ke arah Bapak mertuaku.
"Iya, Rel. Apakah monyet itu yg menyerang kamu ?" kata mertuaku sambil bertanya
Aku tak bisa menjawab. Aku takut ini adalah bagian dari rahasia Sobir.
***
"Sebenarnya apa yg terjadi, Nak Arel ?" Lelaki berusia lima puluh tahunan itu bertanya kepadaku dengan tatapan yg meneduhkan hati. Ya, dia adalah guru yg mengajarkanku dan bapak-bapak di kampung ini mengaji dalam pengajian rutin tiap malam Senin. Namanya Abdurrahman biasa dipanggil Ustadz Rahman.
""Tidak ada apa-apa, Pak Ustadz. Tadi saya kebetulan sakit kepala. Mungkin karena tidak kuat, saya jatuh dan kepala saya mungkin terbentur, trus pingsan." jawabku, menyembunyikan cerita sebenarnya.
Kulihat Ustadz Rahman mengangguk-angguk mendengar jawabku. Orang-orang yg hadir di rumahku, diam saja.
"Tadi, kata bapak mertuamu, ada monyet yg berada di sekitarmu ketika belia menemukanmu. Apakah ini ada hubungannya?"
Aku mengangguk. Akh, lupa aku !
"Hah, berarti monyet yg waktu itu nyerang Anita, yang menyerang Bang Arel !" Entah siapa yg bilang hal itu.
Wah, bahaya ini !
Kudengar suara bisik-bisik yang akhirnya ramai, mengomentari anggukan kepalaku.
"Pak RT, berarti kita harus menangkap monyet itu !"
"Iya Pak RT, sebelum jatuh korban lainnya._
Kudengar dgn jelas usulan-usulan yg disampaikan ke Pak RT yg kebetulan hadir saat itu.
"Baiklah besok kita bahas lebih lanjut ! Kebetulan besok hari Minggu. Kita akan cari dan tangkap monyet itu !" jawab Pak RT.
Tubuhku masih belum dapat berdiri sempurna ketika kulihat orang-orang kampungku mulai bergerak ke arah jalan sepi yg kulalui kemarin. Menurut hasil rapat pagi itu, monyet itu harus ditangkap hidup atau mati (hi,hi, seperti cerita Cowboys aja). Dan semua warga diharapkan berpartisipasi. Ternyata kabar penyerangan kera itu, sampai juga ke kampung sebelah dan mereka pun bergabung, ikut memburu. Hal itu bisa kusaksikan dari tempatku berdiri.
"Ayo, Bang, doakan biar kita berhasil menangkap monyet itu ya !" Teriak Pak RT yg memimpin langsung warganya.
Aku hanya bisa mengangguk sambil melambaikan tangan. Kulihat juga bapak mertuaku. Ustadz Rahman dan tetangga ku yg lainnya. Ada yang bawa parang, bawa bambu. Bahkan tetangga kampung ada yg bawa senapan angin. Hmm , seperti mau perang antar kampung.
"Bang, duduk !" kata istriku yg sudah berdiri di samping ku.
" Nih kopi dan pisang gorengnya !"
"Taruh aja dulu, di situ ! Abang lagi liat orang-orang yg mau memburu monyet itu." kataku yg masih asyik memandang rombongan orang yg begitu panjang.
Aku segera duduk di bangku setelah orang terakhir dari rombongan itu berlalu dari hadapanku.
Sementara istriku sedang menaruh gelas dan piring berisi pisang goreng hangat di atas meja.
"Akh, sebenarnya percuma mereka memburu monyet itu." kataku, dan tak tahan lagi untuk berbagi cerita dengan istriku.
"Maksudnya, apa Bang ?" Tanya istriku lalu duduk di kursi yg dipisahkan meja berisi kopi dan makanan.
"Monyet itu bukan monyet sembarangan. Monyet itu monyet 'jejadian" kataku, sudah tidak bisa menahan diri untuk menceritakan rahasia Sobir.
Akhirnya kuceritakan apa yg pernah kulakukan bersama Sobir setahun yang lalu
"Astagfirullah Al adzim, Abang harus sholat tobat, Bang ! Pesugihan itu perbuatan syirik besar Bang !"
"Iya, Abang tahu" kataku memotong perkataan istriku," Abang khilaf, Abang termakan bujukan Sobir."
"Bagusnya Abang ngga berhasil ikut, coba kalau Abang ikut ? Hiih, Neng mah nggak mau makan duit dari hasil pesugihan!" Gerutu istriku.
"Psst, ini rahasia kita aja, Neng !"
"Rahasia gimana, Bang ? Mungkin saja tadi ada yg dengar obrolan kita." kata istriku, sewot.
"Ha,ha,ha,....istri lu benar Arel. Gue denger apa yang lu ceritakan." Tiba-tiba Sobir sudah ada di hadapan aku dan istriku.
Astagfirullah Al adzim, aku dan Neng terkejut. Neng langsung memeluk tubuhku. Sobir tiba-tiba berubah wujud menjadi monyet besar. Dan bermaksud menyerang.
Aku segera menarik istriku ke dalam rumah dan mengunci pintu.
"Ha, ha, ha,....mari kita selesaikan urusan kita Rel!" Kata Sobir dari balik pintu. Dia tak berusaha mendobrak pintu.
"Neng, kamu jagain Irma dan Mae ya ! Biar Abang yg hadepin si Sobir." kataku mendorong Neng agar segera ke kamar untuk menjaga anak-anak. Neng pun segera bergerak dengan cepat.
"Ayolah Rel, kita selesaikan urusan kita !" Kudengar kembali tantangan dari Sobir.
Sebagai lelaki, aku tersinggung juga dengan tantangan itu.
"Pak RT itu monyetnya !"
"Mana, mana, ayo cepat kepung!"
"Itu di depan pintu rumah Bang Arel!"
Tiba-tiba kudengar suara riuh orang kampung yg membuka pintu pagarku dan menuju rumahku.
"Ayo kepung, dia mau kabur, tuh !"
"Sebelah sana, jagain jangan sampai lolos!"
Mendengar suara itu, aku memberanikan diri membuka pintu, dan kulihat orang-orang kampung sedang mengejar-ngejar seekor monyet yg sudah berlari di luar pagar rumahku.
***
"Kamu ngga apa-apa, Arel ?" tanya bapak mertuaku yg datang ke rumahku bersama Ustadz Rahman. Mereka ketinggalan rombongan yang mengejar dan memburu monyet itu.
"Ngga apa-apa, Pak." Jawabku yg masih berdiri memegang gagang pintu.
"Silahkan masuk, Pak, Ayo Pak Ustadz juga!" Setelah menyadari hal itu, sambil kubuka pintu lebar-lebar.
"Istri dan anak-anakmu mana ?"
"Di dalam, Pak"
"Hmmm, itu monyet, pasti bukan monyet sembarangan !" kata Ustadz Rahman sambil memandangku."ngga mungkin kalau monyet biasa, berani mendatangi rumah orang yang pernah diserangnya, benar kan, Rel ?"
Aku hanya mengangguk.
"Ayo ceritakan saja semuanya Rel ! Biar kami bisa membantu.
Akhirnya aku pun terdiam saja, lalu mulutku mulai bicara membuka rahasia itu. Aku tak berpikir lagi tentang ancaman yg akan kudapat dari Sobir dan Raja Siluman kera.
Ratusan orang yang geram melihat kera besar itu , begitu semangat mengejar buruannya.
" Kita bagi dua kelompok, yang satu lewat sebelah kiri. Yang lain ikut saya !" Pak RT memberikan komando, lalu kelompok itu pun membagi diri.
Perhitungan Pak RT begitu tepat, di sebuah tanah bidang kera besar itu terkepung.
"Rrraawww !" Kera besar itu menyeringai.
Para pengepung pun hanya berputar mengelilingi kera besar itu. Mereka belum ada yg berani memulai, karena kera besar itu pun bersiap-siap menyerang.
Tekkk !" Tiba-tiba terdengar letusan senapan.
Kera besar itu tersentak, dan mengedarkan pandangannya mencari yang melepaskan tembakan. Tiba-tiba kera besar itu bergerak, berlari ke arah seorang pemuda yg sedang mengisi peluru senapan anginnya.
"Tekk!" Pemuda itu telah selesai mengisi pelurunya dan menembak sang kera.
Namun kera itu tak berhenti bergerak. Dia menomplok pemuda itu. Mereka berdua jatuh terguling-guling.
"Serbu !" Terdengar suara Pak RT.
Orang-orang yg tadi terkejut dengan kecepatan gerak kera besar, segera tersadar. Mereka langsung menyerbu kera itu. Pukulan bambu, tebasan parang, dan bacokan golok menghujani tubuh kera besar itu. Kera besar melepaskan tubuh pemuda yg tadi memegang senapan. Sekarang kera besar itu yg mengamuk. Dia menghantamkan senapan angin ke arah mana saja. Beberapa penyerangnya sempat menjatuhkan diri untuk menghindari pukulan itu. Namun ada juga yg terjatuh karena terkena pukulan senapan itu. Pertarungan tak seimbang itu berlangsung sekitar satu jam, tapi kera besar itu belum juga roboh. Sepertinya dia mempunyai kekuatan tak mempan senjata. Sementara beberapa pemuda sudah tampak keluar dari pertarungan. Ratusan penduduk yang lain tetap semangat dan bertekad untuk menangkap kera besar itu. Dikeroyok demikian, akhirnya sang kera besar itu bertambah lambat geraknya. Lalu dia terjatuh. Melihat hal itu, orang-orang kembali bersemangat untuk menghajarnya. Namun tak ada satu senjata pun yg mampu melukainya
"Astagfirullah Al adzim, dia tidak mempan !" kata seorang pemuda yg keluar dari pertarungan itu kepada temannya.
"Mungkin ada rahasianya, biar dia bisa kita bacok !" jawab temannya menimpali.
Aaaauuuuaauuuu!
Tiba-tiba kera besar itu bangkit dan mengeluarkan raungan yg kencang sekali. Dan entah dari mana datangnya, tiba-tiba puluhan dan bahkan ratusan monyet datang dan membantu kera besar itu. Pertarungan semakin seru, ratusan kera itu menomplok, mencakar lawan-lawannya. Sementara ratusan orang-orang kampung tak gentar, meskipun ada yg mulai mundur dari arena pertarungan karena kelelahan dan terluka.
***
Astagfirullah, aku hanya bisa menutupi wajahku setelah selesai menceritakan semua rahasiaku.
"Ya Allah, mengapa kau lakukan itu, Rel !" Tanya Mertuaku.
"Yah namanya manusia, bisa khilaf Pak." kata Ustadz Rahman menenangkan bapak mertuaku.
"Jadi, monyet besar itu jelmaan dari Bang Sobir ?" kata Ustadz Rahman.
"Iya, Pak !"
"Wah, kalau begitu, kita harus menyusul mereka. Nanti bisa terjadi yg tidak kita inginkan !" kata Ustadz Rahman lalu segera bangkit dari duduknya."
"Ayo, Rel saya pamit ya, ayo Pak Deni !" Lanjut Ustadz Rahman sambil mengajak bapak mertuaku.
"Saya ikut ,ya!" kataku lalu mengikuti langkah keduanya.
"Ngga usah ikut, Rel ! Kondisi kamu belum fit banget !" kata mertuaku.
"Biar saja dia ikut, Pak Deni. Mungkin nanti ada gunanya." kata Ustadz Rahman.
Meskipun tubuhku masih lemah namun aku tak mau langkahku tertnggal. Aku mengikuti langkah ustadz Rahman dan bapak mertuaku. Tiba-tiba Ustadz Rahman menghentikan langkahnya.
"Ini pegang !" kata Ustadz Rahman dan memberikan ranting pohon kelor yang baru saja dia patahkan dari pohon kelor yg ada dipinggiran jalan yg kami lalui.
"Buat apa?"tanyaku.
"Buat jaga-jaga,saja !" Dia kembali mematahkan ranting untuk dirinya dan bapak mertuaku.
Sementara di kejauhan kami dengar suara ramai-ramai seperti pertarungan yang sengit. Terdengar teriakan-teriakan dan benturan suara.
Dan ketika kami sampai di sana. Tampaklah pertarungan yang aneh. Baru kulihat ratusan monyet bertarung melawan ratusan orang-orang kampungku dan orang kampung seberang. Orang-orang terlihat melai terdesak, kulihat banyak yg terluka dan meninggalkan pertarungan.
"Ayo kita bantu mereka !" kata Ustadz Rahman lalu segera berlari menuju pertarungan itu diikuti mertuaku.
"Allahu Akbar!" Ustadz Rahman lalu berteriak sambil menghantamkan ranting kelor yang dibawanya. Ternyata memang ampuh ranting kelor yang dihantamkan ustadz Rahman segera menumbangkan beberapa monyet. Demikian juga ranting kelor yg dihantamkan bapak mertuaku.
Aku yg tadi terlinggal langkah dan sempat berhenti sejenak, setelah melihat keampuhan ranting kelor itu segera menerjang menghantam monyet-monyet yg masih terus menyerang. Orang-orang yg sedang bertarung, ketika melihat kedatangan kami dan langsung menjatuhkan beberapa monyet bertambah semangat. Tak berapa lama kemudian monyet-monyet itu tiba-tiba kabur meninggalkan pertarungan dan menghilang entah kemana. Yang tertinggal hanya seekor kera besar yang sudah terluka parah. Kami lalu mengepung kera besar itu yg masih menyeringai.
"Menyerahkan !" Kata Ustadz Rahman sambil menunjuk ke arah kera besar.
Tiba-tiba kera besar itu terjatuh ke arah belakang.
"Hah ! Pak Sobir !" Serentak orang-orang berteriak begitu melihat perubahan kera besar itu menjadi sosok tubuh manusia yg sudah penuh luka.
"Hmm, dia telah meninggal!" kata Ustadz Rahman yang memeriksa urat nadi Bang Sobir.
Innalilahi wa innailaihi roji'un, kami serentak mengucapkan kalimat itu.
***
Hari itu juga kami mengurusi jenazah Bang Sobir. Anak-anak dan istrinya menerima kenyataan itu. Pas adzan Dzuhur kami sudah menyelesaikan pengurusan penguburan jenazah Bang Sobir. Semuanya berjalan lancar tak ada halangan apapun. Setelah sholat Dzuhur berjamaah, kami semua pulang ke rumah masing-masing.
"Ya Allah, semoga Engkau menerima amal baik Bang Sobir dan mengampuni segala kesalahannya." kataku dalam hati.
***
Seminggu setelah kematian Sobir , istri dan anak-anaknya pindah dari kampungku. Di pagar rumahnya ditulis "Rumah ini dijual. Hubungi 08..."
Sementara kehidupanku dan warga lainnya kembali normal.
Dan aku pun dengan bebas kembali menikmati kebiasaanku merokok sambil menikmati pisang goreng hangat di depan rumahku. Seperti malam ini.
"Bang Arel, ayo tidur, sudah jam 11 !" Kata Neng, mengganggu keasyikanku.
"Bentar lagi ya, rokok Abang masih setengah lagi !" Kataku sambil menikmati tiap kepulan asap rokokku.
"Ya udah, Neng tidur duluan, ya." katanya, lalu meninggalkanku sendiri.
Aku kembali dalam kenikmatanku.
"Met malam, Bang Arel !" Tiba-tiba kudengar suara Sobir.
Aku segera mencari asal suara itu ke segala arah.
Hiiiiy, bulu kudukku berdiri. Aku segera bangkit dari tempat dudukku dan segera menuju pintu depan.
Segera kukunci pintu depan rumahku.
Hah!! Aku terkejut ketika berbalik arah setelah mengunci pintu dan kulihat Sobir telah berdiri di hadapanku.
Dia lalu mencekik leherku. Aku berusaha melepaskan cekikannya yg semakin kuat.
"Rasakan ini, kau pun harus mati sepertiku, ha, ha, ha,...." katanya penuh kepuasan dan tertawa
Sementara aku merasakan mulai kehabisan napas dan tenaga. Pandangan mataku mulai berkunang-kunang. Dan akhirnya pandanganku menjadi gelap. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku tersadar, kulihat semua ruangan serba putih. Aku hanya bisa mengerakkan kedua mataku. Di dekat kepalaku, terlihat tiang besi tempat menggantungkan dua botol cairan infus dan kulihat slang infus yang mengarah ke arah samping, mungkin ke tanganku. Mataku juga menangkap pemandangan bahwa ada alat bantu pernapasan di atas mulut dan
hidungku. Cahaya lampu yang terang dan suasana yang sepi membuatku yakin bahwa saat ini aku sedang berada di ruang ICU.
Tiit, ttiit , ttit ! Kudengar bunyi alat ukur jantungku begitu lemah, selemah detak jantungku. Kucoba ingat-ingat kembali kejadian yang telah kulalui.
Akh, aku ingat, waktu itu aku baru saja menutup pintu dan Sobir tiba-tiba sudah ada di hadapanku Ketika aku membalikkan badan.
"Ha, ha, ha,.. Kau juga harus mampus, Rel !" teriak Sobir sambil menyekik leherku.
Yah mungkin aku pingsan dan anak istriku yg membawaku ke rumah sakit.
Kreek !
Kudengar seperti suara pintu yg dibuka. Kulihat bayangan dua orang berpakaian putih-putih. Dan ternyata seorang dokter dan perawat.
"Alhamdulillah, pasien kita sudah melewati masa kritis. Detak jantungnya sudah mulai normal. Seharusnya dia sudah sadar." Kata dokter itu.
Tak lama kemudian dia memeriksa kedua mataku dengan senter kecil.
"Bagaimana, Dok?" tanya sang perawat.
"Sepertinya dia sudah sadar dan tinggal proses pemulihannya." jelas dokter setelah memeriksa mataku.
"Kalau besok pasien sudah bisa menggerakkan bagian tubuhnya, pasien boleh dipindah ke ruang perawatan umum "
Setelah itu keduanya kembali meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan aku sendirian di dalam sepi.
Hah ! Tiba-tiba lampu mati. Astagfirullah. Kurasakan gelap yg begitu pekat. Pikiranku kembali diliputi rasa takut yang sangat mendalam. Akh, bagaimana kalau arwah penasaran Sobir kembali mendatangiku ?
Byaar !
Tiba-tiba lampu menyala lagi.
"Alhamdulillah !" seruku dalam hati.
Karena pancaran cahaya yg tadi gelap kemudian terang, membuat mataku silau dan lelah.
Bismika Allahuma ahya wa bismika amut. Kubaca doa sebelum tidur. Meskipun aku tak tahu hari ini masih pagi, siang, atau malam. Lalu kuistirahatkan kembali jiwaku.
Sobir, sudahlah jangan ganggu aku lagi ! Alam kita sudah berbeda." kataku di hadapan makam Sobir.
Buaarrr ! Tiba-tiba makam Sobir meledak dan aku terlempar ke belakang.
"Astagfirullah Al adzim!" kataku sambil bangkit kembali.
"Ha, ha, ha,.....enak saja pemintaanmu itu ! Aku belum puas kalau kamu dan keluargamu belum mati semuanya. Ini baru awal !" jawab Sobir sambil tertawa.
Tubuh Sobir tiba-tiba berubah menjadi seekor kera besar.
Astagfirullah Al adzim, aku berharap ini hanya mimpi.
Tiba-tiba monyet besar itu menyergapku. Aku pun berusaha menghindarinya. Ketika tubuhnya melewatiku, kukirim sebuah tendangan ke perutnya.
Bugh, ukh !
Dia melenguh dan jatuh. Aku segera kembali menghantamkan tanganku ke arah tengkuknya.
Taap !
Pukulanku ada yg menangkis. Lalu tanganku ada yang menarik dengan kencang. Aku tak bisa menahannya. Aku terjatuh dan terguling-guling.
Ha, ha,ha,...lalu kudengar suara tawa yang memekakkan telinga.
Aku segera menutup kedua telingaku. Kulihat Raja siluman kera sedang membantu kera besar itu berdiri. Aku segera bangkit. Entah ada kekuatan apa, aku bisa kembali berdiri tanpa ada rasa sakit.
"Hmm, boleh juga kau bocah ingusan !" kata Raja siluman setelah berhasil membantu siluman kera yang sudah mewujud kembali menjadi Sobir.
Aku pun memasang kuda-kuda, bersiap melayani perkelahian dengan mereka berdua. Lalu kulihat mereka berdua bergerak cepat seperti terbang mengarah ke tempatku berdiri. Aku pun menerjang maju sambil menendang ke arah keduanya. Rupanya tendanganku tepat mengenai keduanya.
Tap, tap !
Ternyata perhitunganku salah ! Mereka berhasil menangkap kedua kakiku sebelum mengenai wajah mereka berdua
Karena kedua kaki berhasil mereka tangkap, tubuhku pun jatuh ke tanah. Mereka lalu menyeretku. Kedua tanganku berusaha mencari pegangan apa saja. Tapi usahaku sepertinya sia-sia. Mereka berdua semakin cepat menyeretku hingga sampai ke pinggir jurang.
" Ha, ha, ha,.... Sekarang tamatlah riwayat mu Arel !'
Mereka tertawa puas dan akhirnya melemparkan diriku ke dalam jurang.
Aaakkh, tubuhku melayang berputar dalam kengerian. Entah berapa dalam jurang ini. Aku tak dapat membayangkan bagaimana rasanya jika kepalaku yang menghantam dasar jurang.
La Ilaha ilallah, la Ilaha ilallah, la Ilaha ilallah ! Kuucapkan kalimat itu di antara kepasrahan ku. Dan kurasakan tubuhku mendarat dengan ringan.
Alhamdulillah ! Ternyata aku terbangun di atas tempat tidur di ruang ICU. Tapi kali ini pemandangannya berbeda, kulihat orang-orang sedang membacakan Surat Yasin.
"Eh, Bang Arelnya dah bangun, tuh !" Teriak seseorang, membuat yang lain berhenti membaca surat Yasin.
"Segera panggil Dokter !" kata yang lain.
Sementara aku tak henti-hentinya melafalkan kalimat tahlil.
***
Akhirnya aku pun dipindahkan ke ruang perawatan umum. Dari istriku kudengar bahwa aku koma di rumah sakit selama dua minggu sejak ditemukan di bawah pintu depan rumahku dengan keadaan leher seperti bekas cekikan. Dan kabar lainnya, kemarin kuburan Sobir hancur berantakan seperti terkena ledakan bom. Dan jasadnya tidak ditemukan.
Sekian cerita pesugihan kera ini saya akhiri sampai bertemu lagi di cerita yang lainnya.
Mohon maaf jika ada kesalahan dan ketidakrapihan tulisan
Terimakasih.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar