Kefakiran mendekati kekufuran, pas benar pernah singgah dalam kehidupanku dan teman-temanku yg bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik, atau lebih tepatnya tempat pencetakan batako yg ada di desaku. Kami yg memang tidak memiliki ijazah SMA atau yg sederajat, tidak bisa berbuat banyak , apalagi merantau ke kota. Kami bisa bekerja di percetakan batako itu saja harus bermodalkan rekomendasi RT dan RW.Gajiku dan teman-teman , sebenarnya cukup jika buat hidup sendiri. Bisa buat makan, rokok, bayar kontrakan dan cicilan motor. Persoalannya aku dan teman- temanku sudah beristri dan mempunyai anak. Aku sendiri sudah memiliki anak dua, dan aku cukup beruntung karena istriku dari keturunan orang yg berada. Beda dengan temanku, yang bernama Sobir. Dia memiliki lima orang anak dan istrinya adalah tulang punggung keluarga karena ana tertua dari empat bersaudara. Walaupun istrinya bantu bekerja jadi PRT di rumah yg punya pabrik batako. Tadinya semua masih aman-aman saja kehidupanku dan Sobir. Sampai akhirnya, karena kondisi ekonomi yg tidak stabil, dan produk batako yg kami buat kalah bersaing. Bos menawarkan pilihan untuk kami, pilihan yang sulit. Pertama kami akan diberhentikan dan mendapatkan pesangon 3 bulan gaji. Sementara pilihan kedua kami tetap bekerja, tapi gaji dipotong 30%.
Kefakiran mendekati kekufuran, pas benar pernah singgah dalam kehidupanku dan teman-temanku yg bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik, atau lebih tepatnya tempat pencetakan batako yg ada di desaku. Kami yg memang tidak memiliki ijazah SMA atau yg sederajat, tidak bisa berbuat banyak , apalagi merantau ke kota. Kami bisa bekerja di percetakan batako itu saja harus bermodalkan rekomendasi RT dan RW.
Gajiku dan teman-teman , sebenarnya cukup jika buat hidup sendiri. Bisa buat makan, rokok, bayar kontrakan dan cicilan motor. Persoalannya aku dan teman- temanku sudah beristri dan mempunyai anak. Aku sendiri sudah memiliki anak dua, dan aku cukup beruntung karena istriku dari keturunan orang yg berada. Beda dengan temanku, yang bernama Sobir. Dia memiliki lima orang anak dan istrinya adalah tulang punggung keluarga karena ana tertua dari empat bersaudara. Walaupun istrinya bantu bekerja jadi PRT di rumah yg punya pabrik batako. Tadinya semua masih aman-aman saja kehidupanku dan Sobir. Sampai akhirnya, karena kondisi ekonomi yg tidak stabil, dan produk batako yg kami buat kalah bersaing. Bos menawarkan pilihan untuk kami, pilihan yang sulit. Pertama kami akan diberhentikan dan mendapatkan pesangon 3 bulan gaji. Sementara pilihan kedua kami tetap bekerja, tapi gaji dipotong 30%.
Serba salah, aku akhirnya memilih tetap bertahan walaupun harus dipotong gaji. Aku berpikir yg penting aku masih tetap punya gaji. Dan untuk cari tambahan aku bisa ngojek, walau motorku motor keluaran lama. Ternyata Sobir mengikuti langkahku. Sementara yang lain pilih berhenti dan dapat pesangon.
Kehidupanku sekeluarga mulai terasa berat ketika bapak mertuaku kena stroke, yg mau tidak mau membutuhkan biaya pengobatan yg cukup banyak. Istriku tidak berani lagi memberatkan keluarganya. Dan mulai bertambah berat ketika anak pertamakuu mulai masuk SD. Sementara kerja sambilanku sebagai tukang ojek mulai terganggu dengan munculnya ojek-ojek baru yg menggunakan sepeda motor baru, meskipun kutahu mereka boleh hasil kredit.
Sampai suatu saat, ketika aku sedang menikmati secangkir kopi di depan rumah kontrakan yg kebetulan sudah sepi karena kuperkirakan sudah jam sepuluh malam, tiba-tiba Sobir mengejutkanku.
"Astagfirullah!" Kataku ketika kulihat dia sudah di belakangku sambil memegang bahuku.
"Jeah, lebay , segitu aja kaget !" Katanya sambil tersenyum.
"Kagetlah, gue kira setan. Bagus gue nggak jantungan." Kata masih agak deg-degan.
"Arel, gue punya info nih !" Katanya setengah berbisik.
"Info apaan ?" Aku penasaran.
"Istri lu sudah tidur, belum ?"
"Ngapain lu tanyain istri gue ? Ada dia lagi nonton TV."
"Wah, kebetulan. Suruh bikin kopi buat gue, biar ngobrolnya asyik."
". Gampang itu mah ! Sekarang info apaan, bikin penasaran gue aja lu ?!"
"Bikin kopi dulu dah!" katanya menyuruh ku.
Karena penasaran dengan info yg akan diberikan Sobir, aku segera ke dalam dan meminta istriku membuatkan kopi.
"Sudah, bini gue lagi bikinin tuh ! Sekarang cepetan ceritain info apaan?" kataku langsung duduk di tempat semula.
Sementara Sobir sudah duduk di bangku sampingku.
Dia lalu berbisik di telingaku.
"Astagfirullah Al adzim, ngga salah lu ?"
"Ssst, jangan berisik !"
"Pesugihan, gila lu ya"
"Pssttt, jangan berisik, ntar bini lu denger !" kata Sobir sambil melihat ke arah pintu.
Aku langsung terdiam. Pesugihan adalah kata yg sudah tak asing di telingaku. Tapi aku akan melakukan pesugihan adalah hal yg tak pernah terpikirkan.
"Hiduplah apa adanya. Meskipun hidup susah, jangan pernah putus asa. Ingatlah selalu kepada Allah agar suatu saat hidupmu bahagia." Begitu pesan Bapakku suatu ketika , saat aku mengerutkan keadaan keluarga. Dan aku ingat kembali kata-kata itu.
"Eh, Bang Sobir, nih kopinya !" suara istriku menyadarkanku.
" He, he,...makasih ya Bu Arel !" kata Sobir sambil menyambar kopi yg dihidangkan istriku.
Sementara aku hanya bisa menarik napas panjang, lalu kukeluarkan lagi.
"Gimana, setuju nggak?" kata Sobir sambil tersenyum," Ayolah biar kita bisa mengubah nasib. Katanya dah bosen hidup susah !"
Astagfirullah Al adzim.
"Heeeiii, Arel ! Gmn, mau kan ?" Lagi-lagi Sobir mengejutkanku.
Aku menatapnya serius.
" Heh, kenapa lu liatin gue kaya gitu?"
"Serius, lu ?" kataku, balik bertanya.
"Seriuslah, bahkan bini gue udah setuju."
"Hah, bini lu setuju?"
"Iyalah, bakalan kaya kita."
"Trus, gue juga harus bilang bini gue?" tanyaku, masih setengah percaya.
" Terserah lu sih, bini lu nggak tau juga nggak apa-apa. Tapi sebagai suami istri, harusnya menjadi rahasia bersama. Yang penting mau , ya ?! Kalau mau, besok gue jemput. Kebetulan gue udah janjian Ama kuncen yg ada di sana. Lu pikiran dulu dah, tapi jangan lama-lama. Oke gue pulang dulu ya !" kata Sobir, lalu meminum kopi sampai ditenggak habis.
"Assalamualaikum,.." katanya, lalu segera hilang dari pandanganku.
"Waalaikum salam." jawabku, sambil melihat Sabir melangkah cepat ke dalam malam yg semakin larut.
Kubiarkan gelas kopi di atas meja kecil yg ada di depan kontrakanku. Aku langsung masuk dan segera menutup pintu.
***
"Belum tidur, Bang ?" tanya istriku yg baru masuk kamar sementara aku masih duduk bersandar di atas tempat tidurku.
"Belum." jawabku singkat.
"Ngobrol apa aja, Bang dengan Bang Sobir?" tanya istriku sambil naik ke tempat tidur.
Aku tak langsung menjawab. Aku pun segera ambil posisi tidur mensejajari istriku yg sudah tidur di sampingku.
"Bang, ngobrol apaan, sih ?" kata istriku, mendesak sambil memelukku.
"Sobiir besok mau ngajak cari kerjaan lain ke kampung lain?" kataku, berbohong.
Ya, kuputuskan aku akan ikut ajakan Sobir. Dan istriku tak perlu tahu apa yang akan aku lakukan.
"Lah, kan Abang masih kerja di pabrik ?" Istriku bangun dari tidurnya lalu menatap wajahku.
"Abang kan besok libur. Abang mo pergi sebentar, klo nanti dapat kerjaan yg bagus baru Abang berhenti kerja." kataku, lagi-lagi berbohong dengan nada yang meyakinkan.
"Oh, kalau begitu boleh, Bang. Mo berangkat jam berapa?" Tanya istriku.
" Mungkin jam delapan pagi." jawabku , mantap.
Sementara di luar gerimis mulai turun, menambah sepi suasana malam itu.
***
"Jangan kau lakukan, Rel ! Lebih baik bapak akan menghajarmu!" Teriak bapakku.
"Tapi, aku ingin mengubah nasibku, Pak."
kataku membantah.
"Pesugihan itu perbuatan syirik, Rel ! Kau tidak akan diampuni Allah kalau melakukannya."
"Kalau sudah kaya saya akan taubat, Pak !"
"Heh, tak semudah itu."
"Aku tetap mau ikut Sobir!" Teriakku.
Plak ! Tiba-tiba bapakku menampar pipiku.
Astagfirullah, kurasakan pipiku sakit sekali.
Akh, ternyata aku mimpi bertemu Almarhum bapakku.
Kupandang sekelilingku. Kulihat istriku tidur nyenyak di sampingku. Kupandang jam dinding yg tergantung di dinding kamarku. Ternyata sudah jam setengah empat. Aku segera turun dari tempat tidurku dan segera menuju kamar mandi. Aku akan sholat tahajud. Mungkin ini sholat tahajud terakhirku sebelum besok aku menentukan takdirku pada jalan kesyirikan.
Selesai sholat tahajud, aku tak mampu mengatasi gejolak hati dan pikiranku.
Akhirnya aku menangis dan terus tertidur di atas sajadahku.
Biarlah Allah yg tentukan takdirku, keluh batinku sebelum tidur nyenyak atau mungkin pingsan karena beratnya pertempuran hati, pikiranku melawan bisikkan setan yg menggoda dengan janji-janji kebahagiaan dunia.
Bang, bangun ! Wah, kita kesiangan !"
Aku terbangun ketika istriku mengguncang-guncang tubuhku.
"Abang sudah sholat subuh?"
"Belum."
"Kok Abang tidur di sajadah?"
Mendengar pertanyaan istriku, aku tak menjawab. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul lima lewat sepuluh.
"Ayo kita sholat subuh!" kataku sambil segera menuju ke kamar mandi.
Selesai sholat berjamaah bersama istriku, aku segera mempersiapkan diri untuk pergi bersama Bang Sobir.
Selesai mempersiapkan diri aku segera menyantap nasi uduk yg dihidangkan istriku
" Bang, Abang ntar pulang jam berapa?" tanya istriku di tengah-tengah keasyikanku menikmati nasi uduk.
"Ngga Tau, paling malam. Si Sobir bilang belum pasti. Doain aja biar Abang segera dapat pekerjaan yang lebih baik, ya !"
"Aamiin." kata istriku.
Ya, Allah, seandainya dia tau maksud kepergianku kali ini. Apakah dia akan setuju atau tidak? Aku tak tau. Yg kutahu, aku jadi rajin beribadah adalah sejak menikah dengannya. Dialah yg mengajar aku mengaji dan bagaimana tata cara sholat. Maklum aku dibesarkan di lingkungan keluarga yg kurang paham akan ibadah.
Jam delapan tepat, Sobir sudah berada di rumahku. Dia terlihat begitu siap untuk membuat perjalanan. Dia mengenakan topi dan membawa ransel di punggung nya.
"Bang Sobir, kok pakaiannya seperti orang mau naik gunung?" tanya istriku, melihat penampilan Sobir."katanya mau cari pekerjaan?"
Wajah Sobir kulihat seperti kaget. Aku sempat memberinya isyarat. Untungnya dia paham isyaratku.
"Hi,hi,.. iya kita akan cari pekerjaan dan akan melakukan perjalanan yg cukup jauh. Nih, pakaian untuk cari pekerjaannya saya taruh di ransel. Biar nanti kalau mau menghadap pimpinannya baju kita masih bersih dan tidak bau." kata Sobir, panjang lebar.
Sementara istriku manggut-manggut mendengar hal itu.
"Ayo kita berangkat !" kataku sambil menstater motorku.
Sobir segera membonceng motorku.
" Abang berangkat ya, Neng, assalamualaikum !" kataku lalu menjalankan sepeda motor.
"Waalaikum salam, iya Bang. Hati-hati, ya !"
***
Sudah satu jam lebih aku dan Sobir menempuh perjalanan, namun belum sampai juga. Perjalanan semakin menuju perkampungan dalam. Menembus bukit-bukit. Akhirnya di atas sebuah bukit yang cukup landai kuhentikan motorku.
"Nah, tuh rumahnya ! " kata Sobir, terus turun dari motorku dan segera menuju sebuah rumah yg letaknya cukup tinggi dan melalui tangga berundak-undak.
Sementara aku segera menyetandar motorku, lalu menyusul langkah Sobir.
Rumah itu model rumah lama yg tidak terlalu besar. Di sekelilingnya terlihat pohon-pohon besar. Kesannya benar-benar sunyi dan angker.
"Tok, tok, tok ! Mbah !" kata Sobir sambil mengetuk pintu.
"Ada orangnya, ngga?" tanyaku, setelah Sobir beberapa kali mengetuk pintu.
Belum sempat Sobir menjawab pertanyaanku. Pintu terbuka dan terlihat seorang lelaki berusia enam puluh tahunan dengan rambut panjangnya.
"Ayo masuk !" katanya dengan nada dingin.
Kami segera masuk ke ruangan yg hanya diterangi lampu 5 Watt.
"Minum dulu ya, nanti saya siap-siap." kata lelaki yg dipanggil Mbah oleh Sobir.
Aku dan Sobir segera duduk di atas tikar pandan. Di atas tikar itu ada sebuah kendi dan beberapa gelas. Aku dan Sobir segera mengambil gelas dan menuangkan air dari dalam kendi.
"Bismillah,. Allahuma bariklana,..." kataku sebelum meminum air itu.
Dreeeghh! Tiba-tiba rumah itu bergetar hebat, seperti ada gempa.
"Astagfirullah Al adzim, Allahu Akbar!" Teriakku panik. Kulihat Sobir juga panik.
Siapa namamu ?" tanya Mbah padaku yg sudah duduk tenang di atas tikar setelah guncangan yg tadi sempat membuatku dan Sobir panik.
"Arel, Mbah." jawabku, ikut-ikutan memanggil Mbah, seperti Sobir.
"Maaf tadi saya belum sempat mengenalkan diri. Nama saya Mbah jombrong yg akan menuntun anda menjadi pengikut pesugihan kera.
Kalau Sobir kemarin telah paham apa yg menjadi persyaratannya." kata Mbah Jombrong menjelaskan padaku.
Sekilas kulihat tatapan matanya yg tajam di antara keremangan lampu lima Watt yg ada di ruangan ini.
Kulihat Sobir manggut-manggut saja.
"Arel, sepertinya anda orang yg taat beribadah. Betul ?" tanya Mbah Jombrong dengan nada penuh selidik.
"Benar Mbah?" kataku agak merinding.
"Anda serius mau bergabung dengan kami?"
"Serius, Mbah."
"Baiklah, kalau Anda serius. Janganlah kau ucapkan kata-kata yg bisa menggoncang kerajaan di sini. Paham?"
"Paham , Mbah. "jawabku sambil tertunduk.
Ya, Allah, aku mulai ketakutan. Kini posisiku serba salah. Tak ada jalan kembali. Hatiku terus membathin. Kalau aku menyebut Nama Allah secara jelas maka akan menimbulkan goncangan yg bisa saja mencelakaiku. Ternyata ketika aku terus berdoa dalam hati, tak terjadi apa-apa.
"Jadi, Anda siap menjadi anggota kami?" Desak Mbah Jombrong yg melihat ketakutanku.
"Siap Mbah."
"Baiklah, kalau begitu, kalian silahkan ganti baju dan pakai baju ini !" Terdengar nada memerintah dari Mbah Jombrong.
Dia lalu memberikan sepasang baju berwarna hitam kepadaku dan Sobir.
"Cepat ganti, saya tunggu di luar !" katanya sambil melangkah menuju pintu.
Aku dan Sobir segera menuju kamar untuk mengganti baju.
Lima menit kemudian Aku dan Sobir selesai ganti baju dan langsung keluar menyusul Mbah Jombrong.
"Hei, kalian berdua, mengapa pakai sepatu ? Lepas, emangnya mau piknik." teriak Mbah Jombrong. Akh, si Mbah bisa bercanda juga.
Aku dan Sobir kaget mendengar itu, dan segera mencopot sepatu dan menentengnya.
"Ngapain ditenteng sepatunya ? Taruh di dalam !" Lagi-lagi terdengar nada kesal keluar dari mulut Mbah Jombrong.
Aku dan Sobir segera bergerak balik arah dan menaruh sepatu di dalam rumah.
Tak lama kemudian perjalanan di mulai. Kami bertiga, dengan seragam hitam, beriringan menuju jalan setapak yg terus menanjak jalurnya. Tak kusangka Mbah Jombrong yang sudah tua itu masih terlihat gagah dan dia berjalan dengan cepat. Bisa jadi, karena dia sudah terbiasa melalui jalur ini.
"Ayo Rel, cepetan !" kata Sobir yg berada di depanku.
"Iya, sabar !" jawabku.
Sementara matahari dari tadi selalu ditutupi awan sehingga aku tak bisa menduga-duga, sudah jam berapa saat ini. Kulirik jam ditanganku. Akh, ternyata jamku mati, karena kulihat masih berada di posisi jam delapan seperempat.
Tik, tik,. kurasakan titik-titik air menyentuh tanganku.
"Ayo lebih cepat, sebentar lagi hujan akan turun !" kata Mbah Jombrong setengah berteriak karena dia ada sepuluh langkah di depan, meninggalkan aku dan Sobir yg mulai kelelahan.
Aku dan Sobir pun menambah kecepatan dengan memaksakan diri.
Lima belas kemudian, sampailah kami di depan sebuah gua yang mulut guanya ditutupi pohon supplier yg akarnya menjuntai-juntai di mulut gua itu.
"Ayo berpegangan !" kata Mbah Jombrong sambil menuntun tangan Sobir dan membawanya memasuki pintu gua. Dan secara spontan Sobir pun menyambar tangan kiriku. Aku pun segera melangkah.
Ternyata, meskipun gelap, jalan di gua itu cukup lebar dan rata. Mbah Jombrong mungkin sudah terbiasa memasuki gua itu, atau dia punya penglihatan yg hebat. Dia menuntun kami dengan cepat. Agak lama juga kami berjalan, sampai akhirnya kami sampai di tempat yg terang. Ternyata gua ini tembus ke luar gua dan terlihat sekitar lima meteran adalagi mulut gua yg terlihat sangat gelap.
" Kita berhenti di sini dulu !"kata Mbah Jombrong sambil menahan langkah aku dan Sobir di depan pintu gua. "Duduk aja"
Kami bertiga pun duduk di depan gua itu.
"Ngapain kita di sini, Mbah ?" kata Sobir, tiba-tiba.
"Kita belum diperbolehkan masuk." jawab Mbah singkat.
Sementara sambil duduk, kulihat pemandangan di depan gua yg seram itu.
"Astagfirullah Al adzim!" kataku dalam hati. Akh, ternyata jalan kesesatan juga penuh penderitaan. Dia rasakan kedua tapak kakinya agak sakit. Bayangkan saja! Menyusuri jalan setapak yg kadang berbatu dengan bertelanjang kaki. Memang kenapa kalau pakai sepatu?
Dan banyak pertanyaan yg tidak bisa kujawab.
***
Tok, tok, tok , tokee !
Tiba-tiba terdengar suara toke yg begitu kencang. Bersamaan dengan jatuhnya seekor toke berukuran empat puluh senti meter di hadapan kami bertiga.
"Asta,.....!" kataku kaget dan hampir saja terucap. Aku langsung menutup mulutku.
Sobir dan Mbah Jombrong menatapku.
"Hampir saja kau mengacaukan keadaan kita. " kata Mbah Jombrong, dengan nada sinis.
"Ayo kita lanjut ! Itu tandanya !" kata Mbah Jombrong sambil menunjuk toke yg jatuh tadi. "kita sudah mulai masuk. Arel ingat ya, jangan mengacaukan keadaan !"
Aku hanya mengangguk saja, dan mengikuti langkah mereka.
Stop, tunggu dulu !" Tiba-tiba Mbah Jombrong, menghentikan langkahnya dan kami pun berhenti di depan pintu gua yg terlihat begitu menyeramkan dan gelap.
"Sekali lagi kutanyakan pada kalian, mau maju terus atau berhenti sampai di sini ? Jika mau sampai di sini saja, silahkan tunggu di sini. Atau bisa pulang sendiri." kata Mbah Jombrong.
"Saya lanjut Mbah !" jawab Sobir mantap.
Sementara aku mulai ragu-ragu. Kalau lanjut aku belum tahu bagaimana keadaan di dalam gua dan apa yg akan kami lakukan di sana. Kalau tidak lanjut, aku harus menunggu di tempat seram seperti ini. Mau pulang sendiri, aku tidak ingat jalannya. Apalagi harus melewati gua gelap yg cukup panjang tadi.
"Arel , bagaimana?" Tiba-tiba aku dikejutkan suara bentakan Mbah Jombrong,"lanjut atau tidak?"
"Lan, ...lanjut Mbah." kataku dgn nada serba salah.
"Baiklah, kalau kalian mau lanjut. Sobir ke sini !"kata Mbah Jombrong pada Sobir. Sobir pun mendekati Mbah Jombrong.
"Saya akan buka mata batin kalian. Dan kalian harus kuat melihat apapun di dalam sana. Jangan berkomentar, apalagi seperti kamu Arel. Bagaimana, setuju?"
Nada Mbah Jombrong terdengar begitu dingin, dan seperti mengancam ku.
Kulihat dia mengusap wajah Sobir.
"Ayo sini, Arel !"
"Iya Mbah !" kataku sambil mendekatinya.
Mbah Jombrong lalu mengusap wajahku dengan tangan kanannya. Kurasakan telapak tangannya yg begitu dingin. Dan ketika usapan tangan itu sudah melewati wajahku, aku belum berani membuka mataku.
"Bagaimana, sudah terang ?"
"Terang apanya, Mbah ?"
"Sekarang buka matamu !" Teriaknya sambil menepuk bahuku.
Astagfirullah ! kataku dalam hati, setelah kubuka mataku tiba-tiba kulihat sebuah bangunan mewah di hadapanku dalam keadaan yg terang benderang.
"Bagaimana, sudah bisa lihat ?"
"Sudah, Mbah."
"Baiklah, mari kita masuk ! Inilah alam makhluk lain yg akan membuat kalian kaya !" Terdengar ada nada bangga dalam ucapan Mbah Jombrong.
Kami bertiga lalu memasuki gedung besar itu. Kulihat di depan gedung itu berseliweran berbagai macam hewan buas. Ada harimau, macan, srigala, ular dan segala macam. Tapi mereka sepertinya tidak memperhatikan kehadiran kami. Meski bulu kudukku merinding aku terus melangkah mengiringi langkah Sobir dan Mbah Jombrong. Ternyata gedung itu kosong. Kami terus melangkah menuju satu titik di depan. Lama-lama titik itu semakin jelas kulihat. Tampak seseorang berpakaian Raja sedang duduk di sebuah singgasana. Di kiri kanannya nampak seorang pengawal berwajah kera.
Sesampai di hadapan raja itu, Mbah Jombrong pun bersimpuh. Mau tak mau aku dan Sobir mengikutinya.
"Astagfirullah, aku harus bersimpuh di hadapan makhluk-Mu ya Allah, seperti budak yg tunduk pada majikannya. Maafkan aku ya Allah. Aku benar-benar merasa salah dan berdosa" kataku dalam batin.
"Ha,ha,...Ada apa Jombrong !" Terdengar suara yg begitu memekakkan telinga. Aku segera menutup kedua telingaku.
"Junjungan hamba, aku membawa calon pengikut Baginda. Ini bernama Sobir dan yg ini bernama Arel. Mereka ingin kaya." Kudengar Mbah Jombrong menjawab pertanyaan sang raja, setelah kubuka kedua tanganku yg tadi menutup kedua telingaku.
"Ya, sudah, ajak mereka ke kamarnya masing-masing." kata sang raja, dan aku kembali menutup kedua telingaku.
Kulihat Mbah Jombrong menghaturkan sembah kepada raja itu. Aku dan Sobir pun mengikuti apa yg dilakukan nya. Lalu kami mundur beberapa langkah dan berdiri, terus lanjut mengikuti langkah Mbah Jombrong ke arah kiri menuju sebuah lorong. Ternyata lorong itu berisi kamar-kamar.
"Sobir, kamu kamar yang ini ya!" kata Mbah Jombrong sambil berhenti di sebuah kamar yang ada di posisi kiri.
"Kita dipisah, Mbah ?" tanya Sobir.
"Iya, dipisah. Sudah, masuk ! Nanti jika waktu ritualnya akan mulai, kamu saya bangunkan. Sekarang tidur dan beristirahatlah !" kata Mbah Jombrong, memerintah.
"Oke , Rel, sampai ketemu lagi ,ntar ya !" Kata Sobir kepadaku sebelum masuk kamar dan hilang di balik pintu.
"Oke." jawabku, singkat, sambil melangkah mengikuti Mbah Jombrong.
"Mbah , kenapa saya dan Sobir harus dipisah?" kataku bertanya spontan. Karena aku mulai khawatir dan takut.
Mbah Jombrong tak menjawab dan terus melangkah hingga sampai di depan kamar di posisi sebelah kanan.
"Kamu sudah memutuskan untuk menjadi bagian dari kerajaan siluman ini, maka jangan banyak tanya. Dan ingat , jangan menyebut-nyebut lagi, kalimat yg bisa mencelakakan kita semua. Ikuti saja aturannya ! Sekarang masuklah !" kata Mbah Jombrong dengan nada yg menakutkan.
Aku pun segera masuk ke kamar itu. Ternyata di dalam kamar itu hanya terdapat satu tempat tidur. Itulah mengapa aku dan Sobir dipisah. Di kamar itu hanya ada satu tempat tidur dan sebuah meja kecil yg di atasnya ada sebuah kendi dan sebuah gelas. Aku segera menyambar gelas dan menuangkan air dari dalam kendi dan langsung meminumnya tanpa membaca doa. Akh, benar-benar tersesat aku. Tapi apalah dayaku. Aku tak bisa kembali. Aku sudah terjebak. Setelah itu kuhempaskan diriku di atas tempat tidur itu. Kasurnya ternyata begitu empuk. Rasa lelah selama perjalanan tadi membuatku langsung tertidur.
Bapaak, bapaak !"
Tiba-tiba kudengar suara anakku Maemunah dan Irma, aku langsung menuju ke arah suara itu. Dan aku terkejut ketika kulihat kedua anak perempuanku dibawa paksa dengan entengnya oleh seseorang bertubuh besar yg terus berjalan membelakangi ku. Sementara kedua anakku yg dijepit di kiri dan kanan lelaki itu, meronta-ronta sambil memanggil namaku. Aku segera mengejarnya. Lelaki itu mempercepat jalannya. Aku pun memforsir tenagaku. Dua langkah lagi mendekati lelaki itu, aku berteriak.
"Hei, berhenti !"
Lelaki itu berhenti. Dia lalu terlihat memutar tubuhnya.
"Astagfirullah Al adzim !" kataku spontan ketika kulihat wajah lelaki itu berwajah kera dan dia mencampakkan kedua putriku, lalu menyerangku.
Bugghh, aaakkh !
Rupanya aku bermimpi dan jatuh dari atas tempat tidur. Aku segera bangun dan duduk di atas tempat tidur.
"Akh, di mana aku ?" kataku dalam hati ketika kulihat kamar yg kutempati bukan kamarku.
Kucoba mengingat-ingat.
"Hmm, iya, ya. Aku tadi ke sini dengan Mbah Jombrong dan Sobir. Tapi kok, mimpinya serem banget. Akh, aku harus batalkan niatku, kalau anakku yg jadi taruhannya." kataku setelah menyadari keberadaan ku.
Aku melihat arloji di tanganku. Ternyata arlojiku masih menunjukkan pukul delapan seperempat. Ah, iya, kan memang sudah mati jamku sejak di ujung gua tadi.
Aku tak tahu sekarang jam berapa, yg pasti aku belum sholat Dzuhur dan ashar. Apakah sekarang sudah malam. Aku benar-benar tak tahu. Sementara kurasakan perutku mulai lapar. Dan aku juga merasa ingin buang air kecil. Aku segera turun dari tempat tidurku. Kubuka pintu kamarku. Tapi aku jadi heran. Yang kuingat tadi lorong ini terang benderang.
"Kok sekarang gelap ? Apakah di alam siluman ada saklar kontak buat matikan atau hidupkan listrik.?" kataku bertanya dalam hati. Aku lalu keluar kamarku sambil mengendap-ngendap.
Aku ingin bangunkan Sobir. Tapi aku takut salah kamar, karena aku tak perhatikan di mana kamar Sobir. Di kejauhan kulihat ada cahaya dan seperti ada kegiatan. Aku segera menuju cahaya itu. Ternyata kulihat sebuah ruangan besar diterangi cahaya dari beberapa obor yg tampak terdapat di empat sudut ruangan. Di tengah ruangan kulihat ada sebuah meja besar dan panjang dengan bangku-bangku besar. Di atas meja terdapat piring-piring yg cukup besar yg masih kosong. Sepertinya itu adalah meja buat perjamuan makan. Ketika aku sedang mengamati ruangan itu dari sudut yg aman. Tiba-tiba segerombolan kera memasuki ruangan itu, dan mereka langsung naik ke atas meja.
"Asta,.....!" Aku menutupi mulutku yg hampir saja menyebut astagfirullah Al adzim secara jelas.
Aku hampir tak percaya dengan yang dilakukan kera-kera itu. Kulihat masing-masing kera itu mengambil piring yg ada di meja itu. Walaupun seumur hidupku , aku belum pernah melihat kera buang air besar, kali ini aku yakin mereka buang air besar di atas piring-piring itu.
Aku segera berbalik arah dan segera menuju kamarku. Aku tak kuat menyaksikan pemandangan itu. Aku hampir muntah melihatnya. Sesampai di kamarku, aku segera minum air yg masih tersisa di gelasku. Segera kurebahkan kembali tubuhku.
Terbayang wajah istriku dan kedua anakku. Akh, seandainya aku kaya raya melalui pesugihan ini, mungkin aku bisa membahagiakan mereka. Tapi aku takut jika kedua anakku menjadi tumbalnya.
"Ya, Allah maafkanlah aku yg telah salah jalan ini. Aku janji jika bisa keluar dari sini dalam keadaan selamat, aku tak akan mengulanginya lagi, dan aku akan bertobat !" kataku pasrah dalam doa panjang di hatiku.
Akh, sedang apa sekarang anak istriku di rumah. Pasti Irma akan menanyakan ku pada Neng istriku jika aku belum pulang.
"Bapak lagi cari uang Dede , buat kita. Doakan Bapak ntar pulang bawa martabak!" kata Maemunah menghibur adiknya, ketika suatu hari aku memergoki percakapan mereka, dan mereka tak menyadari kehadiranku.
Akh, rasa kangen itu tiba-tiba hadir. Ya Allah tolonglah aku ya Allah. Tanpa sadar aku menangis.
***
"Arel, Arel !!" Tiba-tiba kudengar suara di depan pintu kamarku.
"Ayo cepat , sekarang ritualnya !" Kudengar suara Mbah Jombrong, agak keras.
Segera kuhapus air mataku dan segera turun dari tempat tidurku, dan langsung menuju pintu.
"Ayo cepat !" kata Mbah Jombrong ketika aku sudah keluar pintu, dan dia langsung melangkah meninggalkanku.
Aku segera melangkah dengan gontai. Energiku benar-benar terkuras oleh rasa takut dan penyesalan. Dalam hatiku , aku terus berdoa.
Dengan langkah tertatih-tatih , akhirnya aku sampai juga menyusul Mbah Jombrong dan Sobir yg telah lebih dulu sampai di ruangan yg sudah kudatangi, entah malam atau pagi tadi.
"Lambat banget, kamu !" kata Sobir ketika aku sudah duduk bersimpuh mengikuti Mbah Jombrong dan dirinya di hadapan raja siluman yg menatap tajam ke arahku.
Aku tak menjawab. Ruangan ini sudah berubah lagi, ruangan yg tadinya kulihat hanya diterangi obor dari keempat sudut ruangan, kini terlihat terang benderang. Tapi aku tak lihat dari mana sumber cahaya itu. Dan sebelum bersimpuh di hadapan raja siluman ini, aku sempat melirik ke arah meja perjamuan di samping kiriku. Meja yg piring-piringnya telah kulihat dijadikan tempat buang air besar kera-kera itu,. sekarang sudah berubah menjadi meja yg piring-piringnya penuh dengan segala macam makanan dan buah-buahan. Benar-benar aku dibuat heran. Dan logikaku jadi tak jalan. Bagaimana hal itu bisa terjadi.
"Paduka, ritual sudah bisa dimulai." kata Mbah Jombrong, sambil tangannya mempersilahkan sang raja.
Raja siluman yg tadi duduk di singgasananya kini turun dan melangkah mendatangi kami. Tiba-tiba Mbah Jombrong berdiri dan bergerak ke samping kiri memberi jalan sang raja mendekatiku dan Sobir.
"Kamu siap menanggung semua resiko ? Setiap tahun, aku hanya ingin kau memotong seekor kelinci , bagaimana ?"
Tanya raja siluman sambil memegang kepala Sobir.
"Siap, paduka." jawab Sobir, mantap.
"Bagus. Sekarang silahkan makan, makanan yang ada di meja. Silahkan makan sepuasnya !"
Kudengar suara raja siluman memerintah Sobir. Dan kulirik Sobir bangkit lalu terdengar dia menarik bangku. Kudengar suara dia mulai memakan makanan yg di meja. Sementara aku yang menunggu sang raja siluman itu memegang kepalaku, mulai berpikir.
"Seekor kelinci ? Akh, gampang banget kalo cuma berkorban seekor kelinci. Tapi, masa cuma seekor kelinci? Lalu bagaimana dengan mimpiku tadi?" Aku berdialog dengan diriku sendiri.
"Pasti ini bahasa isyarat, ngga mungkin pesugihan hanya minta tumbal seekor kelinci. Dan aku pun tak mungkin memakan makanan yang ada di atas meja yang ada di samping kiriku, karena aku telah melihat sebelumnya kejadian yg terjadi dengan piring-piring yang ada di atas meja. Seandainya piring-piring yang ada dan hidangan di meja itu merupakan piring baru dan makanan baru, tetap saja aku tak akan bisa memakannya, karena aku begitu jijik jika mengingatnya." kataku terus berkecamuk keraguan antara hati dan pikiranku. Akhirnya aku berpasrah diri pada Allah.
"Ya Allah, seandainya takdirku memang harus jadi bagian dari kerajaan siluman ini, aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan seandainya takdirku bukan bagian dari kerajaan siluman ini, maka tolonglah !"
"Kamu sudah siap ,Arel !" kata Raja siluman mengejutkanku, berbarengan dengan tangannya yang memegang atas kepalaku.
Aku benar-benar terkejut, begitu tangan itu menyentuh kepalaku, kurasakan hawa dingin yang menjalari kepala sampai seluruh tubuh. Aku sudah berusaha menahan hawa dingin itu. Namun hawa dingin itu begitu mengganggu konsentrasiku. Dan aku tak sanggup lagi menahannya.
"Astagfirullah Al adzim !" Teriakku reflek.
Bersamaan dengan itu aku terpental ke belakang dan raja siluman itu terdorong mundur dua langkah. Sedetik kemudian seluruh ruangan berguncang keras dan tiba-tiba ruangan itu menjadi gelap. Lalu aku tak ingat lagi.
Akh, ketika kusadar, langsung kubuka kedua mataku. Namun hanya kegelapan yg kutemui. Gelap, ya gelap yg begitu pekat. Kupegang bagian kepala belakang ku. Akh, sakit sekali. Mungkin benturan tadi ketika aku jatuh. Ya, kuingat tadi aku terpental ke belakang ketika aku tak tahan menahan aliran dingin yang menjalari seluruh tubuhku. Tapi mengapa sekarang gelap sekali. Dan kini aku kehilangan tenaga. Aku tak mampu berdiri. Kini aku hanya bisa duduk di lantai. Akh, ke mana Mbah Jombrong dan Sobir. Dan ke mana pula si raja siluman. Apa aku sudah mati? Tapi tidak mungkin aku mati, aku masih bisa memegang kepala.
"Arel, Rel, sadar !" Tiba-tiba kudengar suara Mbah Jombrong dan suara Sobir.
"Iya aku sadar kataku. Ternyata aku tak dengar suaraku sendiri. Mulutku tak bisa untuk mengucap." kataku membathin.
Kurasakan ada tangan yang menampar-nampar pipiku. Aku pun memegang tangan itu.
"Wah, dia udah sadar !"
Kudengar suara Sobir. Ternyata tangan dia yg kupegang. Namun , aku tak bisa melihat nya.
"Hmm, mungkin dia tak bisa melihat, karena mata bathinnya telah tertutup." kata Mbah Jombrong, menimpali.
Lalu kurasakan wajahku ada yang mengusap. Tangan itu terasa hangat. Dan mataku yg sempat terpejam ketika tangan itu menyentuh wajahku, kini kubuka lebar- lebar. Akh, silau sekali. Aku spontan menutupi mataku dengan tanganku yg tadi masih memegang tangan Sobir.
"Bagus, kamu sudah sadar, Rel !" kata Sobir.
Sementara aku belum fokus untuk melihat sekeliling. Setelah pandangan mataku kembali fokus. Kulihat Sobir berjongkok di sebelah kiriku dan Mbah Jombrong ada di sebelah kanan. Aku masih dalam posisi duduk. Dan di depanku, kira-kira empat atau lima langkah, kulihat raja siluman bertolak pinggang sambil menatapku tajam.
"Hei Jombrong dan Sobir, urusan kalian sudah selesai ! Kalian bisa pulang sekarang. Biarkan Arel tetap di sini !" kata Raja siluman.
"Maaf paduka, kami datang bertiga, maka pulang pun harus bertiga." kata Mbah Jombrong.
"Tidak bisa ! Dia harus jadi budakku sekarang, setelah dia buat kekacauan di sini !" Teriak raja siluman."kalian jangan membantah.
Sementara aku yang mendengar hal itu, ingin berteriak Allahuakbar. Namun, mulutku lemah dan tak bisa mengucapkannya. Akh, aku jadi gagu.
"Tapi, nanti kalau dia ditahan di sini dan dia kembali bisa bicara, mungkin dia akan lebih merepotkan paduka !" kata Mbah Jombrong.
Raja siluman terdiam sejenak. Rupanya dia punya pikiran juga (hi,hi, dikira cuma manusia aja yg punya pikiran)
"Iya , paduka, saya juga bingung, mau jawab apa kalau nanti istrinya menanyakan keadaanArel. Sementara dia perginya dengan saya." kata Sobir, memperkuat pernyataan Mbah Jombrong.
Akh, ternyata Sobir teman yg baik. Begitu juga dengan Mbah Jombrong.
" Baiklah, bawa dia segera pergi dari sini ! Hei kamu, Arel ! Ingat ya, kalau rahasia ini terbongkar, aku akan cari kemana pun kamu lari !" kata Raja siluman sambil menunjukku, nada ancamannya begitu dingin, membuat bulu kudukku berdiri.
Setelah itu, raja siluman meninggalkan kami bertiga.
"Ayo, kita bawa sekarang !" kata Mbah Jombrong sambil mengangkat tubuhku dari sebelah kanan dan Sobir dari sebelah kiri. Mereka berdua memapahku meninggalkan ruangan itu. Sementara tenagaku sudah mulai pulih.
Meskipun dipapah jalanku akhirnya kami sampai juga di depan pintu gua pertama.
"Kita berhenti dulu di sini !" kata Mbah Jombrong sambil memapahku untuk duduk di atas sebuah batu.
"Aku akan menutup kembali mata bathin kalian." kata Mbah Jombrong lagi sambil mengusap mataku.
"Alhamdulillah, kini aku bisa melihat lagi pemandangan di luar gua pertama dan bisa kulihat gua kedua yg akan kami lalui untuk pulang. Kulihat juga Mbah Jombrong yg sedang mengusap mata Sobir.
"Kita istirahat dulu di sini, sampai ada tanda, bahwa kita sudah boleh turun." kata Mbah Jombrong lagi sambil duduk di batu yg ada di sampingku.
Aku hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Sobir diam saja.
" Mbah, bagaimana kita pulang nanti, sementara jalannya menurun. Sementara Arel belum pulih ?" kata Sobir tiba-tiba mengajukan pertanyaan.
Kulihat Mbah Jombrong tak langsung menjawab. Dia lalu memandang ke arahku.
"Arel , coba sekarang kamu berdiri !"
"Berdiri, Mbah?"
Akh, aku terkejut, ternyata aku bisa mendengar perkataan ku.
"Wah, kamu sudah bisa bicara lagi , Rel !" kata Sobir, kegirangan. Demikian halnya dengan Mbah Jombrong.
Aku berusaha berdiri dengan kedua tanganku menopang tubuh di atas batu.
Sruukk, dbug , Aau !
Aku langsung lemas dan jatuh.
Sobir dan Mbah Jombrong langsung spontan menolongku, walau terlambat dan aku sudah terduduk.
"Aduh gmn ini, Mbah ?" kata Sobir dengan nada cemas.
"Sst, tenang saja !" kata Mbah Jombrong, sambil dia meluruskan kakiku.
Kulihat dia komat-kamit membaca mantera. Lalu mengusapkan kedua tangannya ke kedua kakiku.
"Fhuh, fhuh, sembuh !" katanya sambil menyembur-nyemburkan ludah ke arah kakiku.
"Ayo coba berdiri lagi ! "
"Jangan dibantu, biar dia bangun sendiri !" kata Mbah Jombrong, ketika Sobir akan membantuku.
Mereka berdua hanya berdiri mematung sambil melihat ke arahku.
Melihat hal itu, aku berusaha bangkit. Dan, ajaib ! Tubuhku terasa ringan dan dengan mudah aku berdiri. Aku setengah tidak percaya. Segera kuberlari-lari kecil. Wah, Mbah Jombrong seakan-akan ingin menunjukkan kesaktiannya. Sobir kulihat begitu terpana dengan perubahan yg terjadi padaku. lalu dia tersenyum.
"Wah, berarti kamu tak usah dituntun lagi." katanya , dengan nada bahagia.
Tok, tok, ........ toookeee !!
Bersamaan dengan itu terdengar suara toke. Lalu toke sepanjang empat puluh centimeter itu jatuh di hadapan kami.
"Ayo, sekarang kita sudah bisa pulang !" kata Mbah Jombrong.
Kami pun mulai berjalan kembali, dan memasuki gua kedua yg gelap menuju jalan pulang. Memasuki gua itu, Mbah Jombrong segera menuntun tangan Sobir dan tangan Sobir segera menyambar tanganku.
***
Tanpa halangan dan rintangan akhirnya kami sudah sampai kembali ke rumah Mbah Jombrong.
Kulihat jamku ternyata sudah aktif kembali. Mungkin ketika memasuki area kerajaan siluman kera, jam tak bisa hidup karena beda alam. Jam menunjukkan pukul sebelas, namun tanggal nya bergeser. Terakhir kulihat jam tanganku menunjukkan pukul delapan seperempat dan tanggalnya tanggal 21. Sementara saat ini pukul sebelas dan tanggalnya menunjukkan tanggal 22.
" Berarti kita pergi dua hari ya , Bir ?" kataku, sambil menstater motorku, setelah pamit pulang pada Mbah Jombrong.
"Arel, ingat ya, Rahasia ini hanya kita yang tahu. Kalau sampai bocor, kita akan celaka semuanya." kata Mbah Jombrong sebelum aku dan Sobir meninggalkan pintu rumahnya.
"Iya, dua hari." jawab Sobir sambil naik diboncengan belakang motorku.
Sejam sudah aku dan Sobir mengendarai motor, ketika terdengar suara panggilan adzan Dzuhur.
"Rel, Rel berhenti !" Tiba-tiba Sobir minta berhenti.
Ciiitt!
Aku segera menge-rem , dan ketika motor berhenti, Sobir langsung turun. Aku segera menyetandar motor.
"Kenapa Sobir ?" kataku bertanya, ketika kulihat dia duduk jongkok di pinggir jalan.
"Gue ggak tau, Rel. Kuping gue begitu sakit ketika dengar suara adzan tadi." kata Sobir, sambil terus menutup kedua telinganya. Dari raut wajahnya kulihat dia menahan sakit.
"La Haula wala kuwwata ila billah," kataku menyahut panggilan adzan ketika sampai pada panggilan adzan 'hayya alassholat'
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, la Ilaha ilallah"
"Adzannya sudah berhenti, Rel ?" tanya Sobir, sementara aku sedang membaca doa setelah adzan.
"Hah, apa ?" Aku balik bertanya.
"Adzannya sudah berhenti ?" kata Sobir mengulangi pertanyaannya.
"Sudah, akh, lu lebay banget ! Masa dengar adzan aja kuping lu sakit ?" kataku sambil tertawa melihat sikap Sobir.
"Hei, sudah ah, becanda melulu !" kataku sambil menarik kedua tangan Sobir dari telinganya. Dia pun sampai hampir terjatuh.
"Serius, Rel ! Kuping gue kaya ditusuk-tusuk jarum." kata Sobir.
"Sekarang sudah nggak , kan ?" tanyaku, serius, setelah kuperhatikan dia seperti orang yg kesakitan
"Kenapa, ya ?"
"Hmm, Lu kan berhasil jadi keluarga besar kerajaan siluman kera Sobir. Mungkin ini salah satu efeknya ketika lu dengar adzan." kataku, menduga-duga.
"Iya, ya. Bisa jadi, Rel !" kata dia serius.
"Bisa kita lanjut, atau gue sholat Dzuhur dulu di mushola depan ?"
"Lanjut aja, Rel ! Lu sholatnya di mushola yang dekat rumah aja, ya."
"Oke deh." jawabku sambil melangkah ke arah motorku.
"Dah siap ?"
"Siap."
Aku segera menyalakan motor dan melajukannya dengan kencang setelah Sobir duduk. Rasa lapar dan rasa ingin buang air kecil yang sudah kutahan dari tadi, sudah tak terasa lagi. Bayangan wajah istri dan kedua anakku sudah bermain-main di pelupuk mataku. Jarak yg kutempuh tinggal beberapa puluh menit lagi. Akh, aku benar-benar kangen.
***
Jalanan agak sepi sehingga aku bebas memacu sepeda motorku. Meskipun motorku motor tahun lama, namun aku merawatnya dengan baik, sehingga larinya tak kalah dengan motor keluaran baru. Sementara matahari bersinar sangat terik. Panasnya begitu menyengat, karena aku dan Sobir tidak mengenakan helmet. Lima belas menit kemudian, kami sudah memasuki jalan desa. Dan aku mengantar Sobir lebih dulu, karena memang harus lewati rumahnya.
"Gue langsung ya, ngga usah mampir, Bir !Salam aja buat anak istri lu !" kataku ketika sudah sampai di depan gang kontrakannya. Sobir pun turun.
"Oke, ngga apa-apa. Iya, nanti aku salami ! Makasih ya, Rel ! Salam juga buat keluarga lu !" kata Sobir sambil melambaikan tangannya.
"Eh, Rel, Arel, tunggu dulu !" kata Sobir, ketika aku baru mau menjalankan motorku.
"Ada apa lagi ?"
"Jangan lupa, jaga rahasia kita ya !"
Aku hanya mengangguk lalu kujalankan motor dgn cepat.
Bersambung part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar