Notification

×

Kategori Berita

Cari Cerita

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Entri yang Diunggulkan

DIJADIKAN TUMBAL PESUGIHAN

  Kang Asep Hidayat DIJADIKAN TUMBAL PESUGIHAN By. Kang Asep Hidayat Assalamualaikum, salam sejahtera buat sahabat kang Asep Hidayat semua ...

Indeks Berita

Iklan

NYUPANG BEDUL (Pesugihan babi ngepet)

Minggu, 29 November 2020 | November 29, 2020 WIB Last Updated 2020-11-29T11:01:58Z

 

NYUPANG BEDUL (Pesugihan babi ngepet)

 
 
 Oleh : Rama atmaja
 
 
 
 
 

 
 
 
 

(Note: Cerita ini, sebenarnya pernah ku tulis. Namun aku menulis ulang cerita ini dengan beberapa detail tambahan dan membuang bagian yang dirasa tak begitu penting!)

***

Kali ini aku ingin bercerita tentang sebuah kejadian yang diceritakan oleh seorang supir. Sebut saja, pak Karim (samaran).

Beliau bukan supir asli, tapi hanya bekerja sebagai supir panggialan dikala ada seseorang yang menginginkan jasanya.

Waktu itu, pak Karim bercerita tentang seorang kakak beradik.
Sebut saja, Warkam dan Kirun (samaran).

Pak Karim bercerita, kalau kedua saudara itu adalah orang miskin yang terjerat banyak hutang.

Karena hutang yang tak bisa dilunasi, keduanya kerap mendapatkan perlakuan yang kurang baik oleh warga dan bingung akan kehidupan yang mereka alami.
Apalagi keduanya sudah mempunya keluarga.

Lalu, siapa yang akan melakukan pesugihan?
Sang kakak (Warkam) atau sang Adik (Kirun)?
Dan bagaimana kisahnya ..?

Aku menulis cerita ini, untuk mengisi kekosongan cerita yang belum bisa dilanjutkan.

Seperti biasa, nama tokoh dan tempat kejadian peristiwa disamarkan.
Cerita pun akan aku beri bumbu, agar kesannya lebih enak untuk dibaca.

Kalau sudah mengerti, siap tuk lanjut baca ceritanya ..?
Cerita akan diambil dari sudut pandang si Adik, atau Kirun.

***

Hari itu, Kang Warkam datang berkunjung ke rumah.
Dan pada saat itu juga, aku sedang ada dirumah.

Terdengar suara ketukan pintu disertai salam.
Lalu, aku balas salam dan membukakan pintu.

"Ana apa kang? Apa ana sesuatu sampe teka dadakan kaya kenen?" (Ada apa kak? Apa ada sesuatu sampai datang mendadak seperti ini?) tanyaku.

"Run! Sira lagi nganggur? Gelem beli tak jak kakang dolan ning suatu tempat?" (Run! Kamu sedang menganggur? Mau tidak Kakak ajak kamu main ke suatu tempat?) Kang Warkam balik bertanya.

Aku diam untuk beberapa saat, karena merasa heran dengan kedatangan dan heran karena tiba-tiba mengajak ke suatu tempat.

"Mendi kang? Apa ana kerjaan?" (Kemana Kak? Apa ada kerjaan?) tanyaku lagi.

"Wis! Melu bae!" (Sudah! Ikut saja!) pinta Kang Warkam.

Aku tertunduk sesaat, memikirkan apa dan kemana.
Tetapi, aku tak bisa menolak ajakan Kak Warkam dan segera pamit sama anak dan istri.

Saat ditengah perjalanan, akhirnya kak Warkam bercerita tentang maksud dan tujuannya mengajakku.

"Run! Weruh bu Ijah?" (Run! Tahu bu Ijah?) tanya kak Warkam.

"Weruh! Tanggane Kakang sing sugih kah, ya?" (Tahu! Tetangga kakak yang kaya, kan?) ucapku.

"Kakang dipai weruh ning kaen, lamon pengen sugih, kudu teka ning tempat P (nama tempat disamarkan) " (Kakak dikasih tahu sama dia, kalau mau kaya, harus datang ke tempat P) jelas Kang Warkam.

"Terus, ning kana ana apa? Emang ana apa ning kana bisane gawe sugih?" (Terus, disana ada apa? Memang ada apanya sampai-sampai bisa membuat kaya?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

"Ngepet!" jawabnya sambil berbisik.

"Ngepet?" tanyaku kaget, "Apa Kakang yakin pengen mengkonon?" (Apa kakak yakin mau melakukan itu?) tanyaku lagi, meyakinkan.

"Emange sira ora gelem?" (memangnya kamu gak mau?" tanya balik kang Warkam.

"Melu dikit baelah!" (Ikut saja dulu!) jawabku dengan nada kesal.

                    

"Ya wis baka bli gelem! Tenang bae, engko kakang sugih, sira gah melu seneng!" (Ya sudah kalau tidak mau! Tenang saja, kalau Kakak kaya, kami juga ikutan senang!) seru kang Warkam dengan senyuman mengembang. Aku terdiam, balas senyum ragu kepadanya.
Sambil sesekali menganggukan kepala. Tak lama setelah obrolan didalam bus sambil bisik-bisik agar tak didengar orang, tibalah kita ke tempat yang dituju. Kita berjalan menelusuri jalan setapak dan mendekati tempat keramat yang masih rindang pepohonan. Disepanjang perjalanan, kita berdua terus-menerus dilihat oleh sekelompok monyet yang kerap loncat kesana-kemari. Agak takut juga, kalau tiba-tiba monyet-monyet tersebut menyerang.
Tetapi, kang Warkam tak menggubris para monyet itu. Saat sudah masuk ke tempat keramat, ada seorang kakek berjenggot putih dengan pakaian serba hitam yang menyambut kedatangan kita. "Punten kih mbah! Tujuane kita wong loro mene ...." (Permisi nih mbah! Tujuan kita berdua kesini ...) ucap kak Warkam yang kata-katanya langsung dipotong oleh kakek tersebut. Sebut saja mbah Raksa, selaku juri kunci di tempat ini. "Saya tahu maksud dan tujuan kalian datang kemari! Pakai bahasa indonesia saja, mbah tidak mengerti, hahaha" ucapnya diiringi tertawa, "Kalian mau kaya, kan?" ucapnya lagi memejamkan kedua mata sambil menyisir jenggot putihnya dengan jari-jemari. "I-iya, Mbah!" jawab kang Warkam dengan nada sedikit terbata. Aku hanya diam, sambil sesekali melihat area sekeliling dan masih takut, kalau ada salah satu monyet akan menyerang. "Hayo! Ikuti aku!" seru mbah Raksa. Dia memutar badan dan mulai berjalan.
Dan kami pun berjalan mengekor mbah Raksa. Tiba disalah satu bangunan yang ada ditempat tersebut, kita pun dipersilahkan untuk masuk. Sampai didalam, mbah Raksa pun duduk bersilah sambil menyuruh kita duduk.
Sedangkan aku sendiri, tak hayal memandangi setiap jengkal tempat tersebut. "Aku mau tanya! Hubungan kalian berdua itu apa?" tanya mbah Raksa. "Teman mbah!" jawab kang Warkam yang ingin mendahului jawabanku. Aku tak mengerti maksud dari kang Warkam mengatakan hal tersebut dan hanya memilih diam. "Lalu kedatanganmu?" tanya mbah mengagetkanku yang tengah melihat-lihat tempat tersebut. "Kedatanganku cuma mengantar saja," jawabku singkat, sambil mata masih menelisik ke segala penjuru. "Oh ya sudah. Kalau begitu, kamu tunggu disini!" pinta mbah Raksa. "I-iya, Mbah!" jawabku patuh. Mereka berdua berdiri dan berjalan memasuki sebuah ruangan.
Aku yang penasaran, bangkit dari tempat duduk disaat keduanya sudah memasuki ruangan tersebut. Diluar ruangan tersebut ada jendela kaca, namun ditutup dan bagian dalamnya di tutup kain hordeng.
Namun, masih ada cela untukku melihat kedalam ruangan itu dan bisa melihat apa yang mereka lakukan. Aku melihat keduanya duduk berhadapan dengan posisi bersilah.
Keduanya pun memejamkan matanya. Si mbah mulai komat-kamit sambil menggerakan kedua tangannya dengan posisi mata masih tertutup. Ritual pun, mulai dilaksanakan .... Aku langsung kembali ke tempat duduk, karena takut terjadi apa-apa bila ketahuan mengintip ritual yang sedang mereka lakukan.

                  

Tak berselang lama, keduanya pun keluar dari ruangan tersebut.
Namun aneh, kak Warkam nampak begitu berbeda. Pandangan matanya kosong dan sesekali menatapku yang sedang duduk. Namun, kembali membuang padangannya dan melihat lurus kedepan dengan tatapan kosong. "Benar, kamu tak mau?" tanya mbah Raksa mengagetkanku yang tengah mengawasi kak Warkam. "Tidak mbah! Memang sedari awal kedatanganku hanya untuk mengantar!" jelasku tegas. "Ngapain masih duduk? Ayo berdiri dan pulanglah!" pinta mbah Raksa. Aku langsung berdiri dan kak Warkam langsung berjalan menuju pintu.
Sehabis bersalaman, aku menyusulnya dari belakang.

Pintu dibuka, kang Warkam keluar.

Saat aku hendak keluar, tiba-tiba mbah Raksa kembali bertanya, "Kalau kamu berubah pikiran, jangan sungkan untuk datang kemari!" Aku menjawab dengan anggukan dan menutu pintu.
Mbah Raksa tak ikut keluar.
Mungkin, masih ada suatu hal yang ingin dia lakukan. Disepanjang perjalan pulang, kak Warkam memilih diam.
Aku pun tak berani bertanya perihal apa yang telah terjadi. Singkat cerita, sampailah didepan rumahku.
Aku membuka pintu sambil berucap, "Ora mampir dikit, Kang?" (Tidak mampir dulu, Kang?) Kak Warkam hanya diam. Tetapi, dia tersenyum.
Senyuman yang membuatku heran dan langsung berbalik badan dan dia pun berjalan pulang. "Aneh!" gumamku dalam hati.

Sehabis menutup pintu, aku langsung masuk dan hendak pergi ke kamar.
Namun langkahku sempat terhenti, saat sampai diruangan yang ada televisinya.

"Sing endi bae, mas? Sedina deg ora balik?" (Darimana saja, mas? Seharian gak pulang?) tanya istriku, Jamilah.

"Tes nganter kang Warkam," (Habis mengantar kak Warkam,) jelasku.

"Nganter mendi?" (Mengantar kemana?) tanya Jamilah ingin tahu.

"Wis, ora usah weruh!" (Sudah, tak usah tahu!) jawabku singkat, "Mase pegel, pengen turu!" (Masnya lelah, mau tidur!) lanjutku berucap dan memasuki kamar.

Sampai didalam kamar, aku langsung merebahkan anggota tubuh dan tak menunggu waktu yang lama, aku pun tertidur.

"Mas-Mas! Tangi! Mas!" (Mas-Mas! Bangun! Mas!) seru Jamilah yang mencoba membangunkan aku dari tidur.
Karena masih ngantuk berat, aku pun tak menghiraukannya.

"Mas ... Tangia! Prapto ninggal!" (Mas ... Bangunlah! Prapto meninggal!) ucap Jamilah membuatku kaget.

Seketika aku terbangun dan langsung duduk menatap Jamilah.
Air matanya mengambang dan sesekali membasahi pipi.

"Hah? Prapto ninggal?" (Hah? Prapto meninggal?) tanyaku kaget sambil memegang kedua pundak Jamilah dan sesekali menggoyangkan tubuhnya, karena merasa tak percaya.

"Iya mas! Ninggal," (Iya mas! Meninggal,) jawab Jamilah tersedu.

"Ninggale kenang apa?" (Meninggalkan karena apa?) tanyaku dengan nada tinggi.

"Milae ora weruh, mas! Ayu sing mai weruh!" (Milanya tak tahu, mas! Ayu yang ngasih tahu!) jelas Jamilah, "Kah! Bocae gah ana ning ruang tamu!" (Tuh! Anaknya juga masih ada diruang tamu) sambung Jamilah.

"Ayu tanggane kang Warkam?" (Ayu tetangganya kak Warkam?) teriakku.

"Iya, mas!" jawabnya singkat.

Kita langsung berdiri dari tempat tidur tuk menuju ruang tamu dimana Ayu berada.
Lalu kita semua, termasuk anakku yang masih kecil keluar rumah dan pergi menuju ke kediaman kak Warkam.

                    

Prapto adalah anak kak Warkam.
Dia anak semata wayang.
Prapto sudah bersekolah dan duduk dibangku kelas 4.
Sedangkan anakku bernama, Suci. Umur Suci masih 5 tahun.

Kita langsung bergegas menuju rumah kak Warkam yang jaraknya tak begitu jauh. Hanya berbeda Rt saja.

Kita tiba dirumah kak Warkam dan sudah ramai lalu lalang orang bertakziah atau melayat.

Suara isak tangis memecahkan telinga.
Aku pun ikut menangis dan tak percaya, kalau Prapto telah tiada.
Padahal, belum memasuki rumah dan belum melihat Prapto secara langsung.

Setelah masuk kedalam rumah, Jamilah langsung lari mendekati jenazah Prapto.
Sedangkan aku berhenti, tak mengikuti Jamilah. Karena melihat sesuatu yang tak masuk di akal. "Sing bener bae? Masa anake ninggal, sing dadi bapane ora sedih ora apa?" (Yang benar saja? Masa anaknya meninggal, yang jadi ayahnya tidak sedih sama sekali?) tanyaku dalam hati. Benar-benar aneh!

Sifatnya berubah drastis semenjak pulang dari tempat yang bernama, P itu.
Padahal kan, Prapto anak kesayangan dia, anak semata wayangnya. Tetapi, aku memilih diam dan tak menegur kak Warkan.
Karena kalau aku tegur, pastinya rumah ini akan menjadi sangat ramai.

"Kesal ... Kesal ...!"

Aku terus menahan kekesalanku dan berjalan mendekati Jamilah.
Lalu, aku membisikan sesuatu kepadanya,

"Bapak macem apa iku? Benere sedih, kuen si meneng bae kaya patung!" (Ayah macam apa itu? Bukannya sedih, malah diam saja kaya patung!)

"Ngomong apa si, mas? Sing paling sedih ning kene kuh, ya kang Warkam!" (Ngomong apa si, mas? Yang paling sedih disini tuh, ya kak Warkan!) jelas Jamilah balik berbisik.

"Heh?" tanyaku heran, "Mila! Sira kan weruh, sing awit balik lagi kaen, kang Warkam kuh dadie sejen?" (Mila! Kamu kan tahu, sewaktu pulang dari sana, kak Warkam tuh jadi berbeda?) timpaku kembali berbisik.

"Ikuh, mung perasaane mas bae! Jare Mila si, laka sing aneh!" (Itu, cuma perasaan mas saja! Kata Mila si, tidak ada yang aneh!) seru Jamilah berbisik meyakinkan.

Aku terdiam, bingung! Semua bercampur menjadi satu.
Siapa yang benar dan siapa yang salah? aku tak tahu!
Intinya setelah kak Warkam keluar dari ruangan itu, aku merasa dia begitu berbeda.

Tetapi yang jadi masalahnya, apa yang aku lihat dan orang lain lihat itu berbeda. Karena tak ada yang merasakan keanehan atau keganjilan yang aku rasakan.

Aku tahu itu, saat melihat sekitar. Tepatnya beberapa orang yang datang dan mereka bersikap biasa saja. Bahkan, ada yang pamit sama kak Warkam untuk pulang.
Tetapi di mataku, semua masih sama. Kak Warkam tak membalas salam dari orang-orang.

"Yah, Ayah ...!" ucap Suci mengayunkan bajuku sambil sesekali menariknya.

"Ana apa, nok?" (Ada apa, nak?) tanyaku sambil sedikut menunduk dan mendekatkan pendengaran ke mulut Suci.

"Mang Warkam kosi meneng bae si, yah? Apa mang Warkam kelaran?" (Om Warkam kok diam saja si, yah? Apa om Warkam sakit?) tanya Suci berbisik.

Aku kaget dan terdiam untuk sesaat.
Rupanya selain aku, Suci pun mengetahui kejanggalan tersebut.

"Oh iya, yah! Lagi kaen mang Warkam ning umah kuh karo bu Ijah kedik, kan?" (Oh iya, yah! Waktu itu om Warkam datang ke rumah sama bu Ijah juga, kan?) tanyanya lagi.

"Bu Ijah?" tanyaku bingung.

"Iya, Yah!" jelas suci meyakinkan.

"Aneh! Kan waktu kaen kang Warkam dewekan?! Bisa-bisane Suci ngomong ana bu Ijah? Aduh! Pecah kih endas, mikir sing ora-ora. Sing bener endi si?!" (Aneh! Kan waktu itu kak Warkam sendirian?! Bisa-bisanya Suci bilang kalau ada bu Ijah? Aduh! Pecah nih kepala, mikir yang tidak-tidak. Yang benar yang mana si?!) gumamku dalam hati.

                    

Dipikir dari pada bingung, aku pun melangkahkan kaki mendekati mbak Raeni, istri dari kak Warkam.

"Mbak Ra! Pengen nakon! Prapto ninggal kenang apa? Kan tak deleng kuh ora kelaran ora apa?" (Mbak Ra! Mau nanya! Prapto meninggalnya kenapa? Kan aku lihat dia tidak sakit tidak apa?) tanyaku penasaran sambil sesekali melirik kearah patung yang bernyawa (Warkam).

"Jarene si, Prapto nemu duit 100 perak ning arepan umah. Tapi, tak menengaken bae karena melas, wis pirang-pirang dina ora jajan. Terus, duite go tuku es karo jaburan," (Katanya si, Prapto menemukan uang 100 rupiah di halaman rumah. Tapi, tak aku hiraukan karena kasihan, sudah beberapa hari tidak beli jajan. Terus, uangnya buat beli es sama cemilan,) jelas mbak Raeni diiringi dengan tangisan.

"Terus, kok bisa mengonon?" (terus, kok bisa seperti itu?) tanyaku lagi yang masih penasaran.

"Tes kuen kuh glendeng, lara weteng! Terus mutah-mutah sampe teka ning lemes, toli toli temu-temu bocah kuh wis laka bae." (Habis itu mengeluh, sakit perut! Terus muntah-muntah sampai lemas, terus tiba-tiba dia tiada.) jawab mbak Raeni sambil menangis.

Aku memilih diam, mencoba tuk meresapi kejadian tersebut dan tak lagi berani bertanya, karena takut membuat mbak Raeni semakin sedih.

"Gara-gara sira nakon priben kejadiane, mas Warkam nangise tambah kejer!" (Gara-gara kamu yang nanya perihal kejadian, mas Warkam nangisnya tambah kencang!) seru mbak Raeni dengan nada membentak.

"Hah? Sing bener bae? Boro-boro nangis. Melotot, iya! Kosi raine dadi tambah abang mengkonon? Toli melototi ning Kirun," (Hah? Yang benar saja? Mana mungkin dia nangis. Melotoin, iya! Sampai wajahnya tambah merah begitu? Terus, melototin Kirun,) gumamku dalam hati.

"Wah ..! Wis ora beres kinih!" (Wah ...! Sudah tak beres nih!) gumamku lagi dan pergi menjauh.

Singkat cerita, acara pemakaman pun selesai dan aku langsung pulang meninggalkan istri dan anakku.

Matahari kian condong ke barat, namun masih siang dan aku tak bisa membendung lagi rasa kantuk ini.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kedalam kamar dan merebahkan tubuh, lalu tertidur.

Tak terasa, sudah pukul 16 sore.
Cacing di perut pun, sudah mulai demo.

"Eh bocah! Sing mau dikon balik bli gelem balik!" (Eh anak! Dari tadi disuruh pulang tak mau pulang!) terdengar teriakkan dari depan rumah, suaranya seperti Jamilah.

Aku langsung bergegas keluar kamar dan melihat apa yang sedang terjadi.
Lalu, aku pun menegur Jamilah,

"Ana apa si? Bocah aja di sewoti mengkonon! Melas ...!" (Ada apa si? Anak jangan di marahi begitu! Kasian ...!) teriakku.

"Kih mas! anake sampean di kon balik bli gelem! Ngomonge, Prapto ngejak dolan. Prapto kan wis ninggal! Kih bocah aneh-aneh bae," (Nih mas! Anakmu di suruh pulang tidak mau! Bilangnya, Prapto ngajakin main. Prapto kan sudah meninggal! Nih anak aneh-aneh saja," jelas Jamilah.

"Wis kih, cekelen anake! Mila pan masak dikit!" (Sudah nih, pegang anakmu! Mila mau masak dulu!) pinta Jamilah memberikan Suci padaku yang kala itu tengah menangis.

Aku membawa Suci masuk dan menyuruhnya duduk di ruang tamu.
Lalu, aku menanyakan suatu hal,

"Suci! Ayah pengen nakon! Ana apa karo Prapto?" (Suci! Ayah mau tanya! Ada apa dengan Prapto?) tanyaku dengan tutur lembut.

"Ka-ka-kang Prapto, jaluk tulung ning Suci! Ka-ng Praptoe ora gelem digawa ning wong kaen!" (Ka-Ka-Kak Prapto, minta tolong sama Suci! Ka-k Praptonya tidak mau dibawa sama orang itu!) jelasnya sesenggukan.

                    

Aku diam untuk sesaat sambil berpikir kalau yang dikatakan Suci benar atau tidak?!
Aku hanya takut, kalau anakku mempunyai kehalusinasian yang tinggi.

"Wong sapa?" (Orang siapa?) tanyaku penasaran.

"Uwong sing endase kaya tikus. Tapi, cungure gede." (Orang yang kepalanya seperti tikus. Tapi, hidungnya besar.) jelas Suci yang masih sedikit tersedu.

"Ya wis, ko ayah sing nyelametaken kang Prapto! Tapi Suci aja nangis terus ya? Toli, gampang ko cerita maning," (Ya sudah, nanti ayah yang menyelamatkan kak Prapto! Tapi Suci jangan nangis ya? Terus, nanti cerita lagi,) bujukku dengan nada lembut.

"I-iya, ayah!" seru Suci.

Sembari menunggu Suci mulai tenang dan sambil menunggu Jamilah selesai masak, aku mencoba kembali bertanya kepada Suci, tentang apa yang terjadi.
Tetapi, belum sempat aku bertanya, Suci kembali menjelaskan,

"Mengkenen, Yah! Suci ndeleng kang Prapto melayu. Ning gurie ana wong kuen sing gedag-gedag. Kang Prapto jaluk tulung, tapi laka wong sing ngeladeni." (Begini, Yah! Suci lihat kak Prapto lari. Dibelakangnya ada orang itu yang mengejar-ngejar. Kak Prapto minta tolong, tapi tak ada orang yang meladeninya.) jelas Suci.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang Suci utarakan.
Tetapi aku berpikir, tak mungkin anak sekecil Suci pandai berbohong.

"Suci kan ngomong karo ibu, tapi ibu meneng bae! Sampe kang Prapto digered ning wong kuen. Lamon bli percaga, takon ning Siska!" (Suci kan ngomong sama ibu, tapi ibu diam saja! Sampai kak Prapto diseret sama orang itu. Kalau tak percaya, tanya sama Siska!) jelas Suci kembali.

Siska yang aku tahu adalah teman imajinasi Suci.
Sedari kecil Suci suka bermain sendiri dan terkadang, kerap ngobrol seorang diri. Tetapi saat ditanya main sama siapa, selalu jawab main sama Siska.

"Ayah! Suci! Ayo, mangan dikit!" (Ayah! Suci! Ayo, makan dulu!) teriak Jamilah dari arah dapur.

Kita pun bergegas pergi ke dapur untuk makan siang.
Makan siang di jam 16.30.

Seperti biasa, aku dan Jamilah makan didekat dapur dan duduk di tikar anyaman.
Sedangkan Suci, makan sambil lihat televisi.

"Yah! Ayah ...!" teriak Suci.

"Apa, nok?" (Apa, nak?) tanyaku balik.

"Yah! Mene dikit ...! Gage!" (Yah! Kesini dulu ...! Cepat!) pinta Suci.

"Iya, iya ... Ana apa?" (Iya, iya ... Ada apa?) tanyaku sambil berjalan mendekatinya.

"Wis mas aja diladeni! Mangan bae dikit!" (Sudah mas jangan dihiraukan! Makan saja dulu!) seru Jamilah, teatapi aku tak menghiraukannya dan terus berjalan mendekati ruang televisi.

"Ana apa, Ci?" (Ada apa, Ci?) tanyaku.

"Ikuh, Yah! Iku ...!" (Itu, Yah! Itu ...!) seru Suci sambil menunjuk kearah televisi.

"Iya, ana apa?" (Iya, ada apa?) tanyaku bingung.

"Ikuluh, wong sing gawa kang Prapto, raine mirip kaya kuen!" (Ituloh, orang yang bawa kak Prapto, wajahnya mirip seperti itu!)

Aku tercengang, kaget.
Karena yang ada di acara televisi saat itu, tepatnya yang ditunjuk Suci, adalah babi.
Seketika, bulu kudukku langsung meremang.

"Siska ning endi?" (Siska dimana?) tanyaku kepada Suci dan mulai mempercayai kalau anakku ini mempunyai kemampuan lebih.

"Ikih ning iring kiwe, lagi mangan bareng!" (Ini disebelah kiri, sedang makan bareng!) jelas Suci.

Sebenarnya aku ragu untuk menannyakan ini.
Tetapi, apa yang akan aku lakukan?
Bahkan, aku pun tak tahu apa yang tengah terjadi!

"Bisa takonaken ning Siska?" (Bisa tanyakan sama Siska?) tanyaku ragu.

                    

"Bisa! Pengen takon apa?" (Bisa! Mau tanya apa?) Siska balik bertanya.

"Takon ning bature! Sing raie kaya sing ning tipi, kuh sapa?" (Tanya sama temanmu! Yang wajahnya seperti yang di televisi, itu siapa?) tanyaku ke Suci.

Suci terdiam untuk sesaat.
Lagaknya, seperti seseorang yang tengah mendengarkan.

"Raja siluman babi!" jelas Suci.

"Hah ...? Raja Siluman babi?" Aku kaget dan balik bertanya.

"Iya! Jare Siskae mengkonon!" (Iya! Kata Siskanya seperti itu!) jelas Suci.

"Aduh mas! Omongane bocah cilik kok dirongokaken? Arane bae gah bocah, ngomonge ngelantur" (Aduh mas! Omongannya anak kecil kok didengerin? Namanya juga anak-anak, omongannya suka ngelantur!) teriak Jamilah mendekati kita.

Aku memilih diam!
Mencoba menerka siapa yang benar!
Suci beranggapan kalau dia tahu dunia sebelah.
Sedangkan Jamilah, dia tak mempercayai adanya hantu atau semacamnya.

Selesai makan, kita habis kan waktu sore dengan menonton acara televisi.
Hingga azan magrib berkumandang.

Aku pun langsung pergi ke kamar untuk berganti pakaian dan meniatkan diri tuk mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa.
Namun, setelah keluar kamar,

"Hahaha, pengen mendi? Tahlil? Dau gah magrib!" (Hahaha, mau kemana? Tahlil? Baru juga magrib!) jelas Jamilah menertawakanku.

"Pan sembahyang!" (Mau salat!) jawabku.

"Lah ...? Ana angin apa sampean sembahyang?" (Lah ...? Ada angin apa Anda salat?) tanya Jamilah ragu.

"Mila! Sembahyang gah kena!" (Mila! Salatlah) pintaku.

Bukannya Jamilah menuruti perintahku, dia malah tertawa.
Suci pun ikut-ikutan senyum.

Ya, memang keluarga kita jauh dari agama.
Tetapi saat seseorang mulai berubah dan ingin mendekatkan sama yang maha kuasa, apa salah?

Aku tak menghiraukan apa yang diucapkan Jamilah, lalu bergegas pergi keluar rumah menuju musalah yang jaraknya hanya beberapa meter saja.

Sehabis salat magrib, aku tak langsung pulang.
Tapi ngobrol dengan marbot yang namanya sama denganku. Yaitu, Kirun.
Kita ngobrol sampai datang waktu isya.
Sehabis salat isya, aku mewakili kak Warkam tuk mengajak para jama'ah tahlil di rumah dia.

Dari awal datang, sampai semua jama'ah tahlil pada pulang ke rumahnya masing-masing, kang Warkam tak menampatkan batang hidungnya.
Membuatku bertanya-tanya dan mendekati mbak Raeni,

"Mbak! Kang Warkame endi?" (Mbak! Kak Warkamnya mana?) tanyaku.

"Ora weruh! Jarene si ana perlu," (Gak tahu! Katanya si ada keperluan,) jawab mbak Raeni.

"Keperluan apa si? Sampe tahlilan anake dewek ora melu?" (Keperluan apa si? Sampai tahlilan anak sendiri tak ikut?) tanyaku lagi. Tetapi, mbak Raeni tak menjawab dan pergi tuk meladeni tamu yang datang untuk melekan (bergadang).

Aku merasa iba sama mbak Raeni dan ikut membantunya menyambut warga yang datang, serta menyiapkan keperluan guna melekan.

Tak berselang lama, mbak Raeni terlihat lelah dan duduk melamun di kursi ruang tamu.
Aku kembali mendekatinya untuk menanyakan sesuatu,

"Mbak! Ngerasa aneh bli karo kang Warkam?" (Mbak! Merasa ada yang aneh tidak dengan kak Warkam?) tanyaku sambil duduk disampingnya.

"Aneh priben, Run?" (Aneh bagaimana, Run?) mbak Raeni balik bertanya, tetapi tak berani menatap.

"Ya anehlah, mbak!) jelasku.

"Lah, sira sing aneh! Yong mas Warkam biasa-biasa bae!" (Lah, kamu yang aneh! Orang mas Warkam biasa-biasa saja!) jelasnya meyakinkan, "Ya, paling ... Blolih ning kamere Prapto," (Ya, paling ... Tidak boleh ke kamarnya Prapto) timpa mbak Raeni.

                    

"Bloli priben, mbak?" (Gak boleh bagaimana, mbak?) tanyaku penasaran.

"Ya embuh! Yong kamere bae sampe dikonci!" (Ya gak tahu! Kamarnya saja sampai dikunci!) jelas mbak Raeni.

Tak berselang lama, kak Warkam pun pulang.
Akan tetapi, aku tak berani menegurnya.
Karena, kak Warkam menatapku dengan tatapan benci dan mata yang melotot.

"Ya wis mbak! Mader kang Warkame wis teka, Kirun pamit ya?" (Ya sudah mbak! Lagian kak Warkam sudah datang, Kirun pamit ya?) ucapku, berdiri dari tempat duduk.

"Oh ya wis, Run! Kesuwun ...! Salam kanggo Jamilah!" (Oh ya sudah, Run! Terima kasih ...! Salam buat Jamilah!) balas mbak Raeni, aku mengangguk dan langsung pergi.

Sesampainya dirumah, Jamilah menyambutku dengan raut wajah hawatir.
Dia sampai menunggu setengah kantuk diruang tamu.

"Mas! Sing endi bae? Tes magrib ora balik, toli jarene pan tahlil? Ko, jam semene dau balik?" (Mas! Dari mana saja? Habis magrib tidak pulang, terus katanya mau tahlil? Kok jam segini baru pulang?) tanya Jamilah.

"Tes magrib ning tajug bae, nonggoni sampe isya. Tes isyae tahlilan, toli mbaturi mbak Raeni!" (Habis magrib di musalah saja, nunggu isya. Sehabis isya tahlilan, terus menemani mbak Raeni!) jelasku.

"Oh ya wis, mung pengen ngupai weruh bae, dina kien mas ana jadwal ronda," (Oh ya sudah, cuma mau ngasih tahu saja, hari ini mas ada jadwal ronda,) ucap Jamilah.

"Oh iya, ora kelingan," (Oh iya, lupa,) jawabku, "Mila wis masak, kan?" (Mila sudah masak, kan,?) sambungku bertanya.

"Uwis mas! Wis mana salin dikit terus mangan! Tes kuen, dau mangkat ronda!" (Sudah mas! Sudah sana ganti pakaian dulu terus makan! Habis itu, baru berangkat ronda!) pinta Jamilah.

"Oh iya, Suci si endi?" (Oh iya, Suci mana?) tanyaku.

"Wis turu ...." (Sudah tidur ....) jawab Jamilah.

Aku bergegas ke kamar untuk ganti pakaian, baru setelah itu pergi ke dapur untuk makan. Dan setelahnya, aku pamit untuk berangkat meronda.

Bermodalkan senter batrai, aku keluar rumah dan menyusuri jalan yang gelap nan sepi.
Sesekali, aku menggetok-getok senter, karena cahayanya kian meredup.

Aku memilih memutar lewat belakang, tepatnya jalan area pesawahan yang memang tak ada penerangan.

Angin malam mulai melambai, menerpa dedaunan.
Dinginnya menusuk tulang, sampai kain sarung pun aku kenakan.

Aku terus berjalan menelusuri jalan setapak dan langkahku terhenti, kala sampai didekat pohon beringin.

Dari jauh terlihat samar bayangan putih terbungkus kain, akan tetapi tak menyulutkan niatku untuk terus berjalan.

Senter aku sorotkan ke sosok tersebut, tapi cahanya tak sampai.
Sambil terus memastikan bahwa yang aku lihat bukanlah sesuatu yang mencurigakan, aku terus menyoroti bayangan tersebut.

Semakin dekat dan semakin jelas, ternyata sosok tersebut adalah pocong!
Ya, pocong yang berdiri membelakangiku.

Langkahku sempat terhenti, dan sosok itu mulai bergerak.
Melompat, mengitari pohon.

"Wah! Wong pengangguran kih?!" (Wah! Orang iseng nih?!) dalam batinku berucap.

Aku memberanikan diri tuk mendekati pohon tersebut.
Dengan bermldalkan bismillah, aku coba mencari keberadaannya.

"Maukuh, ngilange ning kene?!" (Tadikan, hilangnya disini?!) ucapku sambil berjalan keare belakang pohon yang tepiannya petakkan sawah.

"Eh! Aja sarat-sorot bae! Silo ...!" (Eh! Jangan sarat-sorot terus! Silau ...!) teriak seorang perempuan, yang ternyata bu Ijah.

                    

"Eh, bu Ijah! Maaf bu! Maukuh perasaan ndeleng pocong, ngilange ning kene!" (Eh, bu Ijah! Maaf bu! Tadi tuh perasaan lihat pocong, hilangnya disini!) jelasku.

"Pocang-pocong, pocang-pocong! Laka pocong! Sing mau gah ning kene lagi ngising laka papa!" (Pocang-pocong, pocang-pocong! Tidak ada pocong! Dari tadi aku berak disini tidak ada apa-apa) ketus bu Ijah sambil pergi meninggalkanku.

Aneh saja kalau bu Ijah tidak melihat dan aneh juga kalau dia berak di sawah!
Masa orang kaya berak di sawah? Atau, memang wc nya rusak? Entahlah ...!

Ya! Warga sini terkadang kalau buang hajat di area pesawahan dan terkadang ada yang dipinggir sungai. Bagi warga miskin seperti kami, tidak bisa membuat wc.

Jangan kan wc, air pam saja kita tak punya dan untuk keperluan sehari-hari, terkadang mengambil air dari sumur atau air sungai.

Aku pun lanjut berjalan dan tak berselang lama, pos ronda pun terlihat.
Dari jauh, aku melihat pak saman duduk bersender, sepertinya dia ketiduran.

"Dor!" teriakku mengagetkannya.

"Ayam, ayam ...!" teriak pak Saman, kaget.

"Hahahaha"

"Bocah semprul! Wong tua dibebeda!" (Anak semprul! Orang tua dibercandain!) keluhnya sambil mengelus dada beberapa kali.

"Sangkane! Baka ronda aja turu," (Makanya! Kalau ronda jangan tidur,) ucapku.

"Ya sirae bae ora teka-teka, sampe kitae keturuan!" (Ya kamunya saja tidak datang-datang, sampai aku ketiduran) gerutu pak Saman.

"Kopie di cong dikit pak! Bari aja ngantuk!" (Kopinya diseduh dulu pak! Biar tak mengantuk!) seruku sambil duduk.

Aku mulai duduk menghadap beliau. Tetapi, pak Saman tiba-tiba terdiam, seakan sedang memikirkan sesuatu.

"Eh, Run! Ngrungu beli ustaz Amir ngomong? Ninggali Prapto kuh ora wajar?" (Eh, Run! Dengar tidak kata ustaz Amir? Meninggalkan Prapto tidak wajar?) ucapnya membuatku penasaran.

"Ora wajar priben, pak?" (Gak wajar bagiaman, pak?) tanyaku semakin penasaran.

"Jarene si, sing di kuburaken kuh dudu Prapto. Tapi, kedebog!" (Katanya si, yang di kebumikan itu bukan Prapto. Tapi, pelepah pisang!) bisik pak Saman.

"Kita kan wis pada weruh, yen pak ustaz bisa ndeleng hal gaib. Dadia, percayalah ...!" (kita semua suda pada tahu, kalau ustaz bisa lihat hal gaib. Jadi, percayalah ...!) seruku mengiyakan.

"Sira gah weruh?" (Kamu juga tahu?) tanya pak Saman mengerenyitkan dahi.

"Weruh, pak ...!" (Tahu, pak ...!) jawabku dengan mulut terbuka lebar.

"Cocote ...! Mambu pete, hahaha, " (Mulutmu ...! Bau petai, hahaha,) gumam pak Saman sambil menutup hidung.

"Hahahaha, uh ... Gentong! Wis serius kanda malah diguyoni!" (Hahahaha, uh ... Tempayan! Sudah serius mendengarkan malah dibercandain!) teriakku sambil membuka mulut lebar-lebar dan mendekatkan ke wajahnya.

"Eh, ndlogdog! Aja pare-parek! Mambu!" (Eh, tak sopan! Jangan dekat-dekat! Bau!) ujarnya dan kita pun tertawa.

Walau pak Saman orang tua, tapi dia suka bercanda.
Makanya, aku paling suka kalau pas ronda ditemani sama beliau.

Tepat pukul 12 malam.
Mata mulai agak kantuk, karena lelah.
Tiba-tiba pak Saman mengagetkanku, menepuk-nepuk pahaku beberapa kali sambil berujar,

"Run! Run ...! Krungu beli?" (Run! Run ...! Dengar tidak?) tanya pak Saman mengagetkanku.

"Apa maning? Aja guyonan bae, ah!" (Apa lagi? Jangan bercanda terus, ah!) gerutuku ditengah kantuk.

                    

"Hust, meneng! Rongokaken!" (Hust, diam! Dengarkan!) pinta pak Saman.

Aku mencoba mengembalikan kesadaran, sambil mendengarkan apa yang beliau dengar.

"Khog, khog ..."

"Suarae wong ngorok?" (Suaranya orang mendengkur?) tanyaku.

"I-iku, Run! De-delengen ning gurie witan gedang ana apa? (I-itu, Run! Li-lihatlah dibelakang pohon pisang ada apa?) tanya pak Saman dengan nada terbata.

Aku melihat kearah yang pak Saman tunjuk!
Terlihat sikuet yang menurutku tidaklah asing.

Tiba-tiba, pak Saman berlari mendekati kentongan dan memukulnya dengan kencang.
Sambil berucap,

"Bedul dadi-daian ...! Bedul dadi-daian ...!" (Babi jadi-jadian ...! Babi jadi-jadian ...!)

Seketika, satu persatu warga berdatangan.
Pos langsung menjadi ramai.

"Hah? Bedul? Sing bener bae?" (Hah? Babi? Yang benar saja?) tanyaku dalam hati.

Ya, aku kaget! Karena apa yang aku lihat tak sama dengan apa yang pak Saman lihat.
Malah, aku melihat seseorang yang sepertinya ku kenal.

Ya, kak Warkam!
Aku melihat sosok kak Warkam!
Bukan babi jadi-jadian, seperti yang dikatakan pak Saman.

"Endi bedule?" (Mana babinya?) teriak salah satu warga.

"I-ikah mana! Melayue ning kebun-kebun" (I-itu sana! Larinya ke kebun-kebun) jelas pak Saman.

"Wis! Ayu digedag!" (Sudah! Ayo dikejar!) pinta salah satu warga.

Aku, pak Saman dan beberapa warga pun, mulai mengejar yang dikatakan pak Saman babi jadi-jadian.
Bermodalkan obor dan ada yang bawa senter, serta para warga yang membawa batu sama kayu, kita mulai masuk kearea kebun yang berada di seberang pos.

"Apa kien jare mbah Raksa? Sing diarani baka mareki deweke bisa sugih?" (Apa ini kata mbah Raksa? Yang dibilang kalau mendatangi beliau bisa kaya?"

Malam ini sunyi sepi, hanya ditemani suara binatang malam yang menemani kesunyian ini.

Karena aku lebih memilih berdiam dipos ronda sendiri dan masih mencerna dari setiap kejadian yang baru saja terjadi.

Aku beralasan tidak ikut pergi untuk mengejar mengejar babi, karna tidak mungkin  membiarkan pos dalam keadaan kosong.
Ya! Itu alasan yang ku ucapkan, ketika warga hendak pergi mengejarnya.

(Sedikit penjelasan tentang kejadian malam ini, atau tempat ronda.)

Jadi pos menghadap kearah utara, dan disebelah utara area perkebunan salah waktu warga yang terkenal akan kekayaannya.
Yaitu, bu Ijah. Orang yang bisa dilihat sederhana, tetapi memiliki area perkebunan yang begitu luas.
Konon, walau dia kaya tetapi betah tinggal didesa ini.

(Untuk memperindah cerita, kita bisa sebut Desa ini, Desa Eceng Gondog. Kecamatan Eceng duwur, Kabupaten Ilalang.)

Pos tepat disebrang jalan kecil yang membelakangi rumah warga.
Pos ini hanya beralaskan bambu, dan disetiap sudut pos terdapat 4 tiang yang mengarah keatas dan tertutup genteng asbes.

Walau ini pos, sudut pandangnya begitu luas, bisa melihat kesemua arah. Karena tidak ada tembok atau papan yang bisa menghalangi.

(Kita mundur beberapa saat sebelum para warga datang dan mengejar babi ngepet.)

Waktu itu, tepat 50 meter disebelah timur, sosok yang mencoba menutupi dirinya dengan pohon jambu kecil.
Aku penasaran dengan sosok tersebut, karena begitu mirip dengan sosok yang ku kenal.

                    

Tetapi pak Saman yang sedikit ketakutan berucap, " Bedul dadi-dadian ...! Bedul dadi-dadian ...! (Babi jadi-jadian ...! Babi jadi-jadian ...!)

Karena penasaran, aku tidak melepaskan pandangan dari sosok itu, sampai pak Saman lari membunyikan kentongan.

Namun aku tak menghiraukan pak Saman dan tak melepaskan pandangan!
Kaget juga, karena sebelum lari ke samping, bayangan itu lari mendekat.
Dari situ aku tahu, kalau sosok tersebut kak Warkam.

(Lanjut setelah kejadian ....)

Suara ranting kering bergesekan, puluhan langkah kaki terdengar menyusuri kebun milik bu Ijah.

Warga masih mencari keberadaan sang babi.
Tetapi, sekan hilang ditelan bumi.

Dengan penuh kekecewaan, warga berbondong-bondong keluar kebun dan kembali ke pos ronda.

"Jo! Sira si kurang sregep! Bener beli kuh, langsung ngilang!" (Jo! Kamu mah kurang cepat! Benar kan, langsung menghilang!) suara dari salah satu warga yang mulai kembali ke pos.

Kemungkinan sebelum sosok tersebut menghilang, warga sudah mengepungnya.
Aku menyimpulkan hal tersebut, karena adanya percakapan itu.

"Wor! Ngelamun bae? Kelaran?" (Wor! Melamun terus? Sakit?) tanya pak Somad dari balik kerumunan.

"Iya pak! Lagi kelaran!" (Iya pak! Lagi sedang sakit!) jawabnya.

"Ya wis! Balik bae yu?" (Ya sudah! Pulang saja yu?) ajak pak Somad kepada pemuda itu.

"Ayolah ...!" balasnya.

Kedua orang itu pun pergi, kemudian disusul sama warga lain.
Satu persatu para warga meninggalkan pos ronda, tetapi masih ada beberapa warga yang menetap, untuk berjaga.

"Pak Saman! Kirun balik dikit ya?" (Pak Saman! Kirun pulang dulu ya?) teriakku sambil langsung memutar badan hendak pulang.

"Hey! Wayae jaga malah balik!" (Hey! Waktunya jaga malah pulang!) cetus pak Saman, namun aku tak meladeninya dan meneruskan untuk melangkah.

Tetapi sebenarnya, pulang bukanlah tujuan awalku.
Karena, aku malah mampir ke rumah Kak Warkam untuk memastikan kalau apa yang aku lihat tidaklah benar!

Sesampainya di rumah kak Warkam, aku mengetuk pintu, seraya memanggil-manggil namanya.

Tak lama, pintu dibuka!
Aku kaget! Karena kak Warkam ada di rumah dan berada persis disamping mbak Raeni yang masih memegangi daun pintu.

"Tengah wengi gedar-gedor umae uwong! Ana apa?" (Tengah malam gedor-gedor rumah orang! Ada apa?) ketus mbak Raeni.

"Mung mastiaken, kang Warkam ana ning umah beli," (Cuma memastikan, kak Warkam ada di rumah atau tidak,) jawabku dengan senyuman bingung.

"Kih! Kakangira! Ana perlu apa?" (Nih! Kakakmu! Ada perlu apa?) tanya mbak Raeni sambil sesekali melirik kearah kak Warkam.

"O-ora papa si, mbak! Mung pengen weruh kondisie bae! Sukur, lamon bli pa-pa," (Ti-tidak apa-apa si, mbak! Cuma mau tahu kondisinya saja! Syukur, kalau tidak kenapa-napa,) jawabku meringis.

"Awas lamon ngomong ning uwong! Anake sira tak dadekaken wadal!" (Awas kalau bilang sama orang! Anakmu ku jadikan tumbal!) sela kak Warkam dengan nada menggema dan tatapan datar.

" DEG "

Aku langsung syok, tubuh pun bergetar hebat!
Selama pulang dari P, inilah ucapan pertama kak Warkam yang tak bisa aku percaya.

Tanpa permisi, aku langsung melangkah pergi dengan keringat dingin dan kaki yang bergetar.
Lemas! Tetapi aku harus segera pulang .....

Aku pulang dengan pikiran mengambang.
Takut, bercampur kekecewaan.
Sampai di rumah pun, aku memilih diam dan berusaha untuk tidur.
Namun mata enggan terjepam, hingga azan subuh berkumandang.

                    

Aku bergegas ke kamar mandi dan selesai mandi, langsung memakai perlengkapan salat.
Sebelum keluar kamar, aku memandang Jamilah dan Suci dengan tatapan haru.
Karena takut kalau apa yang dikatakan kak Warkam, itu terjadi.

Lamunanku begitu lama, sampai tak sadar waktu salat pun, terlewat sudah.
Sesegera aku keluar kamar dan pergi ke musalah.
Namun, sudah sepi.

"Pengen subuan? Ayo, bareng!" (Mau subuhan? Ayo, bareng!) ucap Ahmad, menepuk pundakku dari belakang.

"Aduh, Mad! Ngageti bae," (Aduh, Mad! Ngagetin saja,) gerutuku menatap dia yang ada dibelakang.

"Sira si ngelamun bae! Sing mau gah wis ana ning guriane sira!" (Kamu si melamun saja! Dari tadi juga sudah ada dibelakangmu!) jelas Ahmad.

Ya! Aku masih melamunkan akan hal itu.
Masih tak percaya dan hawatir kalau kak Warkam bakal menumbalkan Suci.

Pagi hari, sekitar pukul 9.
Aku duduk sendiri di teras rumah, melamuni nasib sebagai seorang pengangguran.

"Durung ana sing ngecak kerja, Mas? Beras ning pawong wing pan entok!" (Belum ada yang mengajak kerja, Mas? Beras di dapur sudah mau habis!) ujar Jamilah dari dalam rumah sambil menyapu.

Namun, aku memilih diam dan mengabaikannya.
Sambil terus mengamati lalu lalang warga yang lewat dibdepan rumah.

Curi dengar dari salah seorang warga yang lewat, kalau mbak Raeni mendatangi orang-orang yang perlu pinjaman uang.
Dan yang satu laginya bilang, kalau malam itu kak Warkam pergi, karena ada yang mengajak bisnis.

Aku tak bertanya kepada orang tersebut, hanya mendengarkan saja.
Karena entah mengapa, aku menjadi benci dengan kakakku sendiri.

Disetiap malam menjelang tahlil, kak Warkam sudah tak ada di rumah.
Dan pulang, setengah jam setengah acara tahlilan sudah selesai diselenggarakan.

Walau seperti itu, tak ada warga yang curiga.
Karena mbak Raeni bilang, kalau jam segitu suaminya pergi berbisnis dengan seseorang.

Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu.
Aku dengar, mbak Raeni tengah mengandung.
Jamilah yang memberitahukan akan hal itu.
Aku tak tahu akan hal itu, karena sebulan terakhir bekerja di desa lain, tuk merenovasi rumahnya.

Kembali merenung didepan teras rumah, dengan disandingkan kopi.
Seperti biasa, ramai lalu lalang para warga melewati jalan kecil depan rumah.

"Ana sing ngejak kerja maning beli ya?" (Ada yang ngajak kerja lagi gak ya?) tanyaku dalam hati.

Ditengah lamunan, ada seseorang mendekatiku.
Bak orang kaya baru, memakai perhiasan banyak tuk di pamerkan.
Gelang emasnya saja, sampai lengan dan anting panjang mirip ondel-ondel.

"Run! Masih kerja ning kana?" (Run! Masih kerja disana?) tanya orang itu, yang tak lain adalah mbak Raeni.

"Wis ora, mbak," (Sudah tidak, mbak,) jawabku singkat.

"Kakangira tuku kebun sing ning sebelahe kebun dake bu Ijah. Gelem beli, sira sing garap?" (Kakakmu beli kebung yang disebelah kebun milik bu Ijah. Mau tidak, kamu mengelolanya?) tanya mbak Raeni lagi.

"O ...." belum sempat menjawab 'oke', Suci langsung keluar dari rumah, memotong pembicaraanku.

"Yah! Siska mau ngomong sama Ayah!" seru Suci.

Suci kecilku, sekarang sudah menginjakkan kaki di bangku sekolah dasar.
Tepatnya, sudah kelas 3.
Dan hari ini adalah hari liburnya, hari minggu.
Makanya Suci ada di rumah.

"Siska?" tanyaku dengan nada berbisik.

"Sampun ditampi! Nek panjenengan nampi tawaranipun, panjenengan lan sakulawarga badhe celaka! " (Jangan diterima! Bila anda menerima tawarannya, anda dan sekeluarga akan celaka!)

                    

Terdengar suara yang begitu lirih, namun jelas terdengar.
Seakan jauh, namun terasa begitu dekat.
Seketika kaget, bercampur merinding. Karena kata-kata yang dia ucapkan.

"Lah, malah ngelamun! Gelem beli?" (Lah, malah melamun! Mau tidak?) tanya mbak Raeni dengan nada lantang.

"Maaf mbak, Kirune ora bisa! Ora ilok ngerti masalah perkebonan," (maaf Mbak, Kirunnya tak bisa! Tak mengerti masalah perkebunan,) jawabku dengan alasan yang baik tuk menolak.

"Ngomong baka beli gelem! Buang-buang waktu bae! Waktu adalah uang!" (Ngomong kalau tidak mau! Jangan buang-buang waktu! Waktu adalah uang!) ketus mbak Raeni, "Ya wis, kon wong sejen bae!" (Ya sudah, suruh orang lain saja!) timpanya.

Mbak Raeni berbalik dan langsung pergi, dengan jalan ala bebek kepanasan.
Aku langsung melihat ke belakang, tepatnya dimana Suci berada.

"Suci! Ayah kan nganggur! Kenangapa jare bature bloli?" (Suci! Ayah kan nganggur! Kenapa kata temanmu gak boleh?) tanyaku.

"Kogah weruh!" (Nanti juga tahu!) jawab Suci, membalikan badan dan masuk lagi kedalam rumah.

Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.
Dia datang, menawari ku pekerjaan.
Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.
Lebih tepatnya, di ibukota.

Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.
Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.
Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.

Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.
Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.
Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.
Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.

Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.
Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.

Dalam mimpi, aku berada di tempat P.
Dalam posisi duduk seperti waktu itu.

Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu tak boleh aku masuki. Ruangan yang hanya di masuki oleh kak Warkam dan mbah Raksa.

Tak seperti waktu itu yang hanya mengintip dari jendela kaca dan melihat dari sela tirai yang terbuka.
Karena kali ini, aku masuk ke ruangan tersebut.

Betapa kaget dan terkejutnya aku, kala masuk ke ruangan itu dan mendapati kak Warkam yang terikat rantai.

"Tulung ...! Tulung ...!" (Tolong ...! Tolong ...!) ucapnya sambil menangis.

Anehnya bukan hanya kak Warkam saja. Aku juga melihat bu Ijah terikat rantai seperti kak Warkam.

Pandanganku tak lepas sampai disitu, karena aku pun melihat banyak orang lain yang bernasib sama dengan mereka dan tempat ini terlihat begitu luas, hingga bisa menampung ratusan, bahkan ribuan orang dengan kondisi terikat dan badan yang terluka.

Erangan dan tangisan meminta tolong, begitu memekahkan telinga.
Tak lama, semua terlihat begitu gelap.

"Hh ... Hh ..."

Aku terbangun dengan nafas terngah, seperti seseorang habis berlari jauh.
Keringat pun bercucuran, padahal angin dari pesawahan lumayan kencang.

Aku langsung duduk dan kembali melamun sambil mengeluhkan keanehan demi keanehan yang datang akhir-akhir ini, "Duh, Gusti! Apa maning kih?" (Ya, Tuhan! Apa lagi nih?) tanyaku dalam hati.

"Assalamualaikum ...." terdengar suara seseorang mengucapkan salam, membuyarkan lamunan.

"Walaikumsalam ...." jawabku, "Eh, ustaz Amir! Duduk!" timpaku menawarkan beliau tuk duduk.

                    

"Dari mana?" tanyaku.

"Habis dari rumah pak Sarip! Anaknya meninggal," jawab ustaz Amir.

"Pak Sarip? siapa dia?" tanyaku bingung.

"Pak Sarip ... Yang mengelola kebun milik kakakmu!" jelasnya.

Aku tertunduk dan hanya bisa diam.
Ustaz Amir pun, melanjutkan ucapannya,

"Hari ini anaknya meninggal dan aku memilih pulang lewat jalan pinggir sawah, tuk menghindari teriknya matahari dan enaknya lewat sini tuh, anginnya lumayan sejuk," jelas ustaz,

"Sampai disini, malah melihat seseorang tengah tiduran dengan nikmatnya dan ternyata itu kamu!" lanjutnya sambil tersenyum.

"Oh iya, mau tanya," ucapku.

"Tanya apa?" tanyanya balik.

"Jadi begini, aku tuh bermimpi dan mimpinya lumayan aneh!
Aku melihat kak Warkam, bu Ijah dan masih banyak orang lain terikat disuatu tempat, seakan menjadi tahanan." jelasku.

"Kamu lihat anak perempuan dalam mimpi itu? Yang sekarang ada disebelah kananmu?" tanya ustaz Amir sambil menunjuk kearah sebelah kananku, "Anak itu yang menunjukannya lewat alam mimpi!" lanjut ustaz menjelaskan.

Aku diam, tak bisa menjawab.
Memang terasa begitu aneh bagiku, karena merasa ada seseorang disamping kanan.
Namun, aku tak bisa melihatnya.

Aku bingung! Karena setelah obrolan tersebut, kita berdua memilih diam.
Jadi, aku mencoba menerka, untuk mengisi obrolan lagi.

"Siska?" tangaku.

"Tuh tahu," jawab ustaz Amir tersenyum.

"Sebenarnya dia siapa? Apakah jahat?" tanyaku dengan nada sedikit berbisik.

"Dari sewaktu Suci kecil, mahluk ini sudah mengikutinya! Tenang saja, aman kok! Dia bukanlah mahluk yang jahat!" jelas ustaz Amir.

"Oh, gitu ya? Memang si, selama ini dia sudah menjaga Suci dan pernah menolong kami juga di waktu itu," ucapku.

"Menolong?" tanya ustaz Amir, "Oh iya memang benar! Kalau waktu itu kamu menerima tawarannya, mungkin yang jadi tumbal bukanlah anaknya pak Sarip. Tapi anakmu!" jelas ustaz Amir, membuatku terdiam untuk sesaat.

Anehnya, ustaz Amir seakan tahu semuanya.
Walau dia tak menyebutkan nama mbak Raeni, tetapi aku tahu apa yang dia maksud.

Merasa tak enak dengan pembicaraan ini, aku mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
Tepatnya, kearah mimpi aneh itu.

"Oh iya, maksud dari mimpiku itu apa, ya?" tanyaku.

"Nanti juga tahu!" jawab ustaz tersenyum, "Kenapa dari tadi diluar saja? Apa keluargamu belum kembali?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Memangnya keluargaku tak ada di rumah? Pantas saja, aku ketuk pintu beberapa kali tak ada yang buka," ucapku.

"Kamu tak tahu kalau kakak iparmu mau melahirkan?" tanya ustaz.

"Tak tahu! Kan aku baru pulang," jawabku.

"Oh iya, lupa! Hehe ...." ucap ustaz tertawa kecil.

Kita mengobrol cukup lama dan tak terasa, azan ashar mulai di kumandangkan.
Ustaz Amir langsung berdiri dari tempat duduknya dan mengajakku pergi salat ke mushola.

Kita pergi ke musalah tuk melaksanakan salat ashar.
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin aku tanyakan, akan tetapi disepanjang jalan menuju musalah, aku lebih memilih diam.

"Ko baelah, tes sembahyang ashar?!" (Nanti sajalah, habis salat ashar?!) pikirku.

Salat pun usai dilaksanakan, namun ustaz Amir belum keluar musalah, karena masih terus berzikir seorang diri.
Jadi aku memilih duduk didepan musalah, sambil menunggu dia selesai.
Tak lama, pak marbot Kirun pun ikut duduk disebelahku.

                    

Pak Kirun ini, usianya sekitar 70 tahunan.
Walau pun sudah tua, pak Kirun adalah sosok yang ramah dan suka bercanda.

Hampir setengah jam berlalu, namun ustaz Amir tak kunjung keluar dari musalah.
Walau lama menunggu, aku tak merasa bosan. Karena mengobrol dengan pak Kirun.

"Run! Naripah wis tua bae kuh, masih tetap ayu ya?" (Run! Naripah kan sudah tua, tapi masih tetap cantik ya?) tanya pak Kirun membuka obrolan ngaconya.

"Wis pak! Lamar bae! Deweke kuh, seneng ning wong tua sing laka untune," (Sudah pak! Lamar saja! Beliau kan, suka dengan orang tua yang tak bergigi,) candaku.

"Wah, bagen laka untue gah, goyangane masih yahut, coy ...!" (Lah, walau tak ada gigi, goyangannya masih yahut, coy ...!) selanya dan kita pun tertawa.

Lebih dari setengah jam, ustaz Amir pun keluar dari musalah.
Dan menemui kita.

"Aduh, kayaknya ada yang sedang ngobrolin janda?" tanya ustaz Amir.

Pak Kirun langsung bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi ke belakang untuk menganbil alat bersih-bersih dan mulai membersihkan bagian dalam musalah.

"Masih disini? Kenapa tak langsung pulang? Kali saja, keluargamu sudah ada di rumah," ucap ustaz.

"Jadi sebenarnya begini! Aku masih disini, karena mau bertanya perihal mimpi itu! Apalagi ustaz enggan tuk bercerita, jadi aku semakin penasaran!" jelasku.

"Bukannya tak mau memberitahukan. Tapi, kamu bisa marah kalau ku jelaskan," balas ustaz.

"Insya Allah, tidak!" ucapku meyakinkan.

Setelah mengatakan hal tersebut, ustaz pun memulai menceritakan semua hal yang dia ketahui.

Akhirnya aku pun tahu maksud dari semua ini.
Dan mengapa kak Warkam melanggar pantangan dengan membawa anggota keluarga ke tempat tersebut.

Mungkin kak Warkam tahu, kalau dia takkan bisa kembali.
Tetapi mengapa dia melakukan hal tersebut, kalau tahu ujung-ujungnya dia akan tersiksa?
Dan sedari awal aku tak sadar, kalau yang pulang bersamaku, bukanlah kak Warkam.

Setelah mengetahui semu kebenaran tersebut, aku pun pamit dan langsung pulang.
Karena ku pikir, mungkin keluargaku sudah ada di rumah.

"Sira kuh, sing awit cilik baka ngomong sing beli-beli! Kaen kuh ponakane sira! Malah di omong babi!" (Kamu tuh, dari kecill kalau ngomong yang tidak-tidak! Dia itu sepupu mu! Malah dibilang babi!) terdengar teriakan dari dalam rumah.

"Assalamualaikum ...." ucapku.

"Walaikumsalam ...." jawab Jamilah.

"Ribut apa si? Kenangpa Suci disewoti?" (Ribut apa si? Kenapa Suci dimarahi?) tanyaku sambil menarik tangan Suci dan memeluk tubuhnya.

"Anake sampean wirang-wirang aken! Wis weruh lagi ning rumah sakit, ngomong padu ceplok bae! Wirang, mas! Akeh uwong ...! Salahe sampean sing wis manjaaken!" (Anakmu memalukan! Sudah tahu di rumah sakit, tapi asal ngomong saja! Malu, mas! Banyak orang ...! Salahmu yang selalu memanjakan!) cetus Jamilah.

Aku tak mendengarkan apa yang Jamilah katakan.
Dengan segera aku membawa Suci ke kamar.

Suci yang menangis begitu hebat, aku coba tenangkan dia.
Tak lupa, tas yang aku bawa, langsung ku lempar keatas ranjang.

"Ana apa si, Ci?" (Ada apa si, Ci?) tanyaku.

"Be-bedul! Dedek bayie bedul, dudu menusa, Yah! Tapi bedul," (Ba-babi! Dedek bayinya babi, bukan manusia, Yah! Tapi babi,) jelas Suci dengan suara sedikit terisak, "Oh iya, Yah! Siska wis gawa Ayah dolan?" (Oh iya, Yah! Siska sudah bawa Ayah main?) timpa suci dengan pertanyaan.

                    

"Dolan?" (Main?) tanyaku bingung.

"Iya, dolan! Siska gah pernah ngejak Suci ketemu mamang! Melas aken, Yah! Mang Warkam ditaleni rante," (Iya, main! Siska juga pernah mengajak Suci ketemu Om! Kasian, Yah! Om Warkam diikat rantai,) jelas Suci.

"Oh iya, bener! Ayah get ndeleng." (Oh iya, benar! Ayah juga melihat.) jawabku bingung.

"Jadi, apa sing ustaz cerita aken kuh bener!" (Jadi, apa yang ustaz ceritakan memang benar!) ucapku dalam hati, sambil mengingat apa yang ustaz ucapkan.

Waktu masih di musalah, sebelum aku pulang ke rumah.
Ustaz menjelaskan,

"Sebenarnya itu bukanlah mimpi, tapi sukmamu dibawa sama Siska ketempat itu, untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi! Kakakmu pelaku pesugihan, sama dengan bu Ijah dan orang-orang lain yang kamu lihat disitu," jelas ustaz.

"Kalau benar kak Warkam ada disitu? Lantas yang ada disini siapa?" tanyaku.

"Itu bukanlah kakakmu, tapi Jin yang menyerupai dirinya. Memang beda tempat beda pula perjanjiannya," jelasnya lagi.

"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran.

"Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,

"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,

"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,

"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.

Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.
Semuanya sudah nampak begitu jelas.
Sekarang tergantung tindakan yang harus aku lakukan.
Membiarkannya? Atau mengakhirnya?!

Tak terasa sudah malam, lebih tepatnya waktu isya sudah terlewat.
Aku dan jamaah pun pergi menuju rumah pak Sarip, untuk menghadiri acara tahlilan.

Aku pikir, anak pak Sarip meninggal jadi tumbal kak Warkam?!
Karena pak Sariplah yang menerima tawaran mbak Raeni dan aku yakin akan hal itu, karena Siska waktu itu langsung berbisik langsung padaku!

Kalau dipikir, sudah tak ada lagi warga yang melihat seekor babi di Desa ini.
Karena kak Warkam selalu pergi di saat malam datang dengan mobil, untuk keluar Desa.
Warga pun mulai bertanya-tanya tentang pekerjaan kak Warkam.

Tetapi kalau ada yang bertanya padaku, aku suruh dia bertanya langsung sama istrinya, karena aku juga tak tahu.

Kemungkinan kak Warkam ngepet di tempat lain, atau di Desa maupun kota lain.
Aku pun tak tahu kenapa harus jauh? Apa karena takut warga curiga? Atau karena sedikitnya orang yang kaya di desaku?
Entahlah ...?!

Disaat acara tahlilan dimulai, ada hal ganjil yang terjadi.
Karena yang duduk diluar rumah, tiba-tiba merangseg masuk kedalam.

Tahlilan sampai sempat berhenti, karena kejadian tersebut.
Katanya si, ada yang mendengar suara anak kecil meminta tolong. Tetapi tak ada sesiapa pun.

Ada pula yang bilang, melihat sosok hitam tinggi besar menyeret anak kecil, lalu membawanya pergi.

Dan masih ada yang bilang lain lagi, kalau dia melihat dedaunan yang berserakan tiba-tiba tersapu, seolah ada yang lewat.

                    

Apa yang dilihat dan didengar orang-orang yang ada diluar berbeda-beda.
Mungkin karena kesensitifan mereka akan mahluk halus yang berbeda pula.

"Wis aja wedi! Ko tak usir setanne! Kari di cepreti bae karo banyu kembang." (Sudah janga takut! Nanti hantunya aku usir! Tinggal di ciprati saja pakai air bunga.) ucap pak Kirun dengan nada bercanda, tuk meredam suasana.

Ketakutan yang mencekam, berubah menjadi riuh suara tertawa.
Dan tak lama, acara kembali dilanjutkan dan masih dipimpin oleh pak Kirun.

Pak Kirun memimpin acara tahlilan, karena katanya ustaz Amir keluar Desa sewaktu habis magrib.

Selesai tahlilan, aku pulang seorang diri.
Karena hanya aku warga dari Rt 07, yang ikut tahlil di rumah pak Sarip.

Aku memilih pulang lewat area pesawahan.
Dari jauh, nampak seorang perempuan tengah berjalan mendekat.
Semakin dekat dengan orang tersebut dan ternyata, beliau adalah bu Ijah.

"Bu Ijah! Pan mendi?" (Bu Ijah! Mau kemana?) sapaku.

"Ora mendi-mendi, mung pengen luruh angin," (Tidak kemana-mana, cuma nyari angin,) jawabnya.

"Luruh angin kok liwat mene? Ora liwat dalan arep bae?" (Cari angin kok lewat sini? Tidak lewat jalan utama saja?) tanyaku lagi.

"Liwat mene kuh enak! Adem! Akeh angin," (Lewat sini tuh enak! Sejuk! Banyak angin,) ucapnya.

"Ya wis, bu! Kirun permisi dikit, bokat dienteni wong ning umah!" (Ya sudah, bu! Kirun permisi dulu, takut ditungguin orang rumah!) jelasku.

"Ya wis! Ibu gah pengen lanjut luruh angin!" (Ya sudah! Ibu juga mau lanjut nyari angin!) ucapnya, lalu mulai kembali berjalan meninggalkanku.

Anehnya, aku masih melihat sosok tersebut itu bu Ijah!
Berbeda dengan kak Warkam yang bahkan tak bisa diajak berintraksi.
Mungkin karena aku masih saudara kak Warkam dan malah mengantarnya ke tempat itu?!
Sedangkan bu Ijah, aku tak tahu kalau dia juga begitu dan baru tahu sekarang!

***

Siapa bu Ijah?

Bu Ijah adalah Janda, Janda kaya yang hidup seorang diri.
Dulu dia mempunyai tiga orang anak dan kedua anaknya sudah meninggal.
Hanya tersisa satu anak perempuan bernama, Santi.

Santi tak ada di rumah, karena dia kuliah diluar kota.
Namun sesekali Santi pulang, untuk menjenguk ibunya.

***

Dirasa bu Ijah sudah jauh, aku melanjutkan melangkah.
Namun rasa penasaran seakan membuatku enggan tuk melangkah dan mencoba berbalik ke belakang tuk melihat bu Ijah.

Aneh!
Bu Ijah sudah tak terlihat!
Padahal jalan yang dilalui tak ada pohon atau bangunan yang bisa menutupi seseorang dari pandangan.

Kalau tak jauh dari rumah beda lagi, karena di sana ada pohon besar yang waktu itu aku melihat sosok pocong.

Dirasa tak melihat bu Ijah, aku kembali membalikan badan.
Kaget bercampur syok!
Karena bu Ijah tiba-tiba ada dihadapanku dengan mata melotot, seakan menyimpan kemarahan yang teramat dalam.

Wajahku dan wajah bu Ijah hanya berjarak satu jengkal.
Apalagi, melihat ekpresi wajahnya yang seperti itu.

"Ana apa, Kirun? Penasaran? Pengen weruh sapa bu Ijah?" (Ada apa, Kirun? Penasaran? Mau tahu siapa bu Ijah?) tanyanya dengan nada sedikit berteriak.

Seketika, seluruh anggota tubuh bu Ijah mengeluarkan asap yang hitam pekat.
Perlahan asap kian menghilang dan nampak sosok yang begitu menyeramkan.
Wajahnya hitam legam, seperti orang yang habis terbakar.

                    

Mata bulat, yang hampir seakan mau keluar.
Mulut berliur nanah bercampur dengan darah.
Wajah dengan belatung menggeliat, yang seakan sedang menikmati bagian wajahnya.

Busuk! Baunya begitu busuk!

Belum sempat melihat ke seluruh anggota tubuhnya, aku langsung lari, karena begitu ketakutan!

Dengan nafas terengah, aku terus berlari.
Hingga sampai belakang rumah.

Pintu rumah aku ketuk dengan keras dan sesekali memanggil orang didalam rumah.
Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang menjawab panggilanku.

"Semoga ora nggedag ...! (Semoga tak mengejar ...!) ucapku dalam hati.

Ekor mata menangkap sesosok bayangan putih terbang dan perlahan mulai turun.
Aku pun semakin merasa takut dan kembali mengetuk pintu dengan lebih keras.
Akan tetapi, tetap saja. Tak ada jawaban dari dalam rumah.

"Hihihihi, Kirun ...! Kirun ...! Hihihihi." ucapnya membuatku semakin takut.

Tanpa menoleh kearah sosok tersebut, aku berlari mengitari rumah sambil teriak, "Tulung ... Tulung ...." (Tolong ... Tolong ....)

Anehnya, tak ada sesiapa pun yang keluar rumah.
Padahal kalau jam segini kan, biasanya masih ada saja orang yang bergadang.
Dan yang lebih anehnya lagi, semua rumah warga tak ada yang menyalakan lampu.

"Sepi temen ...! Ana uwong beli ...?" (Sepi sekali ...! Ada orang tidak ...?) teriakku, mencoba memanggil. Namun masih tak ada satu orang pun yang datang menghampiri.

"Hihihihi, Kirun ...!" suara itu kembali terdengar.

Aku terus lari dan hampir keluar desa.
Seakan tak ada kata menyerah, sosok itu selalu mengejar kemana pun kaki ini melangkah.

Saking begitu takutnya, aku pun lupa tuk berdoa.
Dan anehnya baru teringat, sekarang.

Aku mencoba berdoa dan membaca surat maupun ayat yang ku bisa.
Tetapi, sosok itu tak menghilang dan malah semakin dekat dan semakin dekat lagi.

Tak ada lagi kemampuan untukku berlari, aku pun pasrah dengan apa yang akan terjadi!
Sampai-sampai, sosok itu sudah berada tepat didepanku. Tepat, dihadapan wajahku ...!

Tiba-tiba, penglihantanku kian memudar.
Gelap ...!

Semakin lama, pandanganku kian membaik.
Alangkah terkejutnya ketika aku membuka mata.

Para warga sudah mengerumiku yang ternyata, tergeletak di jalan setapak.
Jalan yang aku lalui, ketika berpapasan dengan bu Ijah.

"Nang! Bisane turu ning kene?" (Nak! Bisanya tidur disini?) tanya seorang kakek membungkukan badan.

Aku masih kebingungan dan tak bisa menjawab pertanyaannya.
Karena sehabis kakek itu bertanya, warga lain pun menanyakan hal yang sama.

Tak menemukan jawaban dan aku hanya memilih diam.
Warga mengangkat tubuhku.
Karena entah mengapa, aku merasakan lemas dan tak kuat tuk bangkit.

Sambil diangkat menunju rumah, pak Sardi yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani pun angkat bicara dan menjelaskan ke para warga.

Dalam perjalanan menuju rumah, pak Sardi bilang, kalau aku sudah menghilang selama tiga hari dan tanpa sengaja, beliau menemukanku yang tergeletak dijalan itu.

Padahal jalan itu sering dilalui petani, kalau hendak pergi ke sawah.
Tetapi mengapa, tak ada satu orang pun yang melihat adanya aku disitu.
Seakan-akan pandangan mereka tertutup sesuatu dan entah mengapa, tiga hari kemudian tubuhku yang tergolek lemas bisa terlihat.

                    

Sesampainya di rumah, badanku diletakkan di kursi kayu yang berada di ruang tamu.
Awal kedatanganku membuat jamilah syok dan sempat pingsan.
Si Suci menangis, sambil mendekap tubuhku.

"Pa-pak Sardi! Apa bener Kirun ngilang lawase telung dina?" (Pa-pak Sardi! Apa benar Kirun menghilang selama tiga hari?) tanyaku pada pak Sardi.

"Iya nang! Jare Mila, tes tahlilan sira ora balik! Bengi kuen langsung pada goleti, sampe teka ning dalan kuen. Tapi laka pa-pa. Toli gah, gal dina liwat mono, laka uwong laka uwing. Plos bae, anae dalan!"

(Iya dek! Kata Mila, habis tahlilan kamu tidak pulang! Malam itu kita langsung mencari, sampai ke jalan itu. Tapi tak ada apa pun. Lagian setiap hari lewat situ, tak ada orang sama sekali. Cuma adanya jalan, tak ada apapun!) jelas pak Sardi.

Aku diam, tubuhku masih lemas dan mulut pun sukar tuk berucap.
Pertanyaan demi pertanyaan para warga mulai di lontarkan,

" selaman ini kamu pergi kemana?"

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan kamu?"

Dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tetapi ku jawab dengan menggelengkan kepala, karena aku pun tak tahu apa yang terjadi.

Warga yang kecewa dengan jawaban itu, akhirnya mulai meninggalkan rumahku, satu persatu.

Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang.

"Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.

Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.
Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!

Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.
Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.

Pandangan mulai memudar, gelap.
Perlahan membaik dan,

"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.

Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.
Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.

Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.
Tetapi, berbeda dengan mimpi yang sekarang.

Mataku mencoba menelisik dan mencari tahu dimana aku berada!
Saat melihat kearah kanan, disampingku ada anak perempuan, cantik.
Dia tersenyum padaku.

Usianya sekitar 5 tahun. pipi gembil, kulit putih bersih, mata yang indah bak mutiara. Senyumnya juga manis.
Sebagian rambutnya di sanggul, dan sebagian dibiarkan teruai memanjang sampai pinggang.

Dia mengenakan kebaya berwarna merah, serta selendang merah yang terikat diantara pinggang.
Dia juga mengenakan kalung emas, dengan batu liontin yang berwarna merah menyala.

Dia langsung membuang pandangan, menatap lurus kearah depan tanpa menunjukan ekpresi wajah yang sebelumnya.
Dia menatap kedepan dengan tatapan datar, lalu mengangkat tangan kanan sambil menunjuk.

Aku mengikuti arah tangan yang dia tunjuk.
Aneh dan kaget bercampur jadi satu.

Aku melihat diriku yang tengah berpapasan dengan bu Ijah.
Lebih tepatnya, seperti melihat masa laluku.

Tetapi disini begitu berbeda!
Kalau yang waktu itu aku lihat bu Ijah. Tetapi sekarang lebih mirip seperti sosok Sundel bolong.

Sempat bingung dengan wujud asli dari sosok yang menjadi bu Ijah.
Karena apa yang aku lihat berbeda-beda.
Namun tuk kali ini aku yakin, kalau inilah sosok yang sebenarnya.

                    

Keanehan kembali terjadi!
Setelah bertatapan wajah, aku langsung pingsan.
Sedangkan hari itu, aku merasa kita berpapasan dan sempat ada tanya jawab.
Bu Ijah menghilang, menghampiri dengan wujud menakutkan dan mengejarku.
Tetapi yang aku lihat, justru sebaliknya.

Selepas aku pingsang, terdengar riuh ramai suara tertawa.
Perlahan, terlihat beberapa sosok menyeramkan menertawakanku.
Rumah warga dan seisinya seakan tak ada!
Semua berubah!

Lingkungan, lapangan, pos ronda, bahkan musalah saja tidak ada!
Semua terlihat seperti hutan dan sosok-sosok menyeramkan itu berada di pohon-pohon sambil menertawakan aku yang tergolek lemas di jalan itu.

"Apa yang terjadi?" tanyaku dalam hati. Seketika pandangan berubah menjadi gelap gulita.
Tetapi terlihat sebuah pusaran, seakan pintu tuk menuju dimensi berbeda. Perlahan, pandangan mata kian membaik dan aku berada di tempat berbeda.
Yang tadinya aku hanya melihat diriku yang pingsan, tetapi sekarang melihat diriku yang dikejar sundel bolong. Yang tadinya tak ada perumahan warga, sekarang ada. Tetapi sosok-sosok lain masih ada. Mereka melihat dan tertawa, seolah aku saat itu menjadi tontonan yang menghibur mereka. Tiba di saat aku berdoa dan mulai pasrah.
Nampak cahaya putih datang menyilaukan mata.
Aku yang dimimpi mulai pingsan dan yang tadinya cahaya, berubah menjadi seorang lelaki menggunakan pakaian serba putih dan sorban yang menempel di pundaknya. Rupanya, ustaz Amir.
Dia memukulkan tasbihnya ke wajah sundel bolong.
Mahluk itu langsung menjerit. Teriak, "Panas ... Panas ...!" dan terbang, menjauh .... Riuh ramai suara tertawa, berubah menjadi hening.
Satu persatu mahluk tersebut menghilang. Ustaz amir mendekati tubuhku yang tergeletak di tanah.
Dia mengangkat tubuhku dan pandanganku pun beralih, ke jalan waktu aku pingsan. Ya, aku masih melihat tubuhku yang terbaring di jalan itu.
Tapi ada diriku lain, yang masih di gendong sama ustaz Amir. Ustaz mulai menurunkan tubuhku dengan perlahan, dia meletakkan tubuhku diatas tubuhku yang tergeletak dijalan.
Aneh! Tubuh yang dia letakkan diatas tubuh yang tergeletak, menyatu. Tubuh yang dia gendong dan pegang, masuk kedalam tubuh yang tergeletak di jalan setapak itu. "Apakah itu tubuhku? Apa yang tadinya dia gendong arwah atau ruhku? Terus aku yang sekarang ini apa?" tanyaku dalam hati.

Aku terbangun dan orang pertama yang ku lihat adalah, Suci.
Dia tersenyum, seolah mengatakan kalau temannya sudah menunjukan apa yang telah terjadi padaku.

"La! Wis turu pirang dina?" (La! Sudah tidur berapa hari?) tanyaku pada Jamilah yang duduk di kursi sebelah sambil memperhatikan.

"Sewulan, mas!" (Sebulan, mas!) jawabnya, "Tapi ...." lanjutnya.

"Tapi apa?" tanyaku penasaran.

"Tapi bo'ong ...!" jawabnya sambil tertawa, "Turu limang menit bae laka kok, mas!" (Tidur lima menit juga tidak ada kok, mas!) timpanya mulai serius.

"Mila kih! Ditakoni serius malah guyonan," (Mila nih! Ditanya serius malah bercanda,) keluhku sambil sesekali melihat Suci dan dia pergi meninggalkan aku dan Jamilah yang masih di ruang tamu.

"Mas! Wis bisa ngomong ya?" (Mas! Sudah bisa ngomong ya?) tanya Jamilah tersenyum, "Telung dina mendi bae?" (Tiga hari kemana saja?) timpanya, mulai berdiri dari tepat duduk sambil melotot dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.

"Aduh ...! Semua berubah setelah negara api menyerang!" gumamku dalam hati.

"Ora mendi-mendi, keturuan ning dalan," (Tidak kemana-mana, tiduran di jalan,) jawabku bingung, karena tak mungkin memberitahu kejadian yang sebenarnya.

                    

"Ora mungkin!" Paling gah, due wadon maning!" (Tidak mungkin! Pasti punya cewek simpanan!) ketusnya memicingkan mata.

"Ora lah bos! Sumpah, inyong ra bo'ong! Iya ora, Son?" (Tidaklah bos! Sumpah, aku tah bohong! Iya gak, Son?) jawabku mencari Suci, namun dia tak ada dan mungkin tahu akan terjadi hal seperti ini, jadi dia menghindar dan mungkin sedang nguping didalam kamar.

"Alesan apa kuen kuh? Wis, ngaku bae!" (Alasan apa itu? Sudah, mengaku saja!) teriaknya sambil mengambil sapu dan memukulkan kearah kursi.

"Mila sayang! Ayah ini bukan buaya! Ayah setia kok sama kamu! Bukannya kamu tahu? Bahwa aku berjanji akan setia. Bahkan bulan dan bintang, yang menjadi saksinya ...!" tuturku dengan gaya bahasa lembut dan mencoba duduk, sambil memegang kedua tamgannya.

(Cie, jomblo! Baper yo?! Sampai senyum-senyum sendiri!

"Iya, mas! Mila percaya!" jawab Jamilah tersenyum, "Tapi ...." timpanya terpotong. "Tapi apa?" tanyaku penasaran. "Tapi ko bengi turu ning jaba! Aja ning kamer!" (Tapi ntar malam tidur diluar! Jangan di kamar!) ketus Jamilah sambil melepaskan pegangan tanganku dan bangkit berdiri meninggalkan aku. "Lah, La! Ora percaya?" (Lah, La! Tidak percaya?) tanyaku, sambil terus melihat kearahnya. "Percaya!" jawabnya. "Ngomonge percaya, tapi kok mengkonon?" (Bilangnya percaya, tapi kok bilang gitu?) tanyaku. "Iya! Mase turu ning jaba dikit! Ko baka Suci ye turu, dau manjing! Biasa kah mas, bengi-benggian!" (Iya! Masnya tidur diluar dulu! Nanti kalau Suci tidur, mas masuk! Biasa mas, agak malaman!) jawab Jamilah tersipu, lanjut berjalan pergi kearah dapur untuk masak. Beberapa tahun pun berlalu ....
Tiba lagi, di masa susah! Masa di mana aku hanya bisa makan dan tidur di rumah.
Aku menganggur dan stok makanan di dapur, sudah kian menipis. Malam ini, kita hanya makan seadanya.
Tetapi yang membuatku sedih, kedua orang yang ku sayang tak pernah mengeluh dengan semua keadaan ini. Aku takut, kalau besok sudah tak ada yang bisa di makan.
Sehabis makan, aku beranikan diri ke rumah kak Warkam, tuk meminjam uang. Sampai di rumahnya, pintu ku ketuk beberapa kali sambil mengucap salam, "Assalamualaikum, Tuk! Tuk ... Oh, Atuk!" Penulis Eror, dah mulai ngaco. Sedikit-dikit kasih humor gak apa kan, biar gak tegang! Oke lanjut ... .)

Aku terus mengetuk sambil mengucap salam.
Namun, tak ada yang menjawab. Ku coba memegang daun pintu dan ya, pintu bisa ku buka.
Pintunya tidak di kunci. Karena merasa ada yang aneh dan takut ada maling masuk, aku pun masuk ke rumah dengan mengendap-endap. Aku terus mengendap, sampai terlihat kamar yang terbuka, tak sengaja di tutup.
Kamar Pendi, anak kedua kak Warkam yang tengah tertidur pulas seorang diri.

Aku teruskan mengendap, sampai di kamar almarhum Prapto.
Aku langsung teringat, kalau mbak Raeni pernah bilang, kak Prapto melarangnya masuk ke kamar tersebut.

Jiwa penasaranku bergejolak!
Sambil melihat kanan dan kiri, di rasa tak ada orang, aku mencoba mengintip kedalam kamar, melalui lubang kunci. "DEG" Jantung berdegup kencang, tak percaya dengan apa yang ku lihat.
Ku lihat mbak Raeni ada didalam sedang menjaga lilin yang menyala.
Diantara lilin, ada bunga dan beberapa sesaji.

                    

"Hey!" teriak mbak Raeni dari dalam kamar.

Aku bingung dan berusaha kabur.
Namun, dengan sigap mbak Raeni membuka pintu.

"Oh, sira Run! Wis weruh apa sing terjadi?" (Oh, kamu Run! Sudah tahu apa yang telah terjadi?) tanya mbak Raeni menghentikan langkah kakiku.

Aku mematung dan masih membelakangi mbak Raeni.
Belum sempat aku menjawab, dia lanjut berucap,

"Mbak sing ngongkong kakangira ngepet! Masa urip pan melarat bae? Mbak gah pengen sugih! Gobloge kakangira, gelem tak kongkon mengkonon! Hahahaha, " (Mbak yang menyuruh kakakmu ngepet! Masa hidup mau miskin terus? Mbak juga mau kaya! Bodohnya kakakmu, mau disuruh begitu! Hahahaha,) jelasnya sambil tertawa.

Ucapannya mbak petir menggelegar.
Hatiku langsung sakit, setelah mendengar ucapannya itu.

"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci. "Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal. Sakit ...! Hatiku sakit ...!
Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.
Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.
Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku! "Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab! Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan mbak Raeni sendiri yang mengucapkan kalimat itu. Aku terus berguman dalam hati, sampai tak memikirkan orang-orang yang berpapasan. Hingga, "Assalamualaikum! Hey, Run! Kamu kenapa? Harus berapa kali lagi aku mengucapkan salam?" tanya seseorang yang ternyata ustaz Amir. "Walaikumsalam! Maaf, tidak tahu!" jawabku. "Sedari tadi aku perhatikan, kamu mengeluhkan sesuatu? Memang ada apa?" tanyanya lagi. "Mmm ... Tidak ada apa-apa!" jawabku.

"Yakin tidak ada apa-apa?" tanyanya tak percaya. "I-iya, tidak ada apa-apa," jawabku meyakinkan.

Aku menunduk dan terdiam.
Tangan ustaz, masih memegang pundak kananku.
Lalu, aku teringat kejadian waktu itu dan sampai sekarang, belum berani bertanya apalagi berterima kasih.

"Oh iya, terima kasih untuk waktu itu," ucapku.

"Terima kasih untuk apa?" tanya ustaz Amir tersenyum.

"Karena waktu itu sudah menolongku!" jelasku mengangkat kepala dan melirik kearah wajahnya. "menolong apa?" tanyanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak beberapa kali dan semakin lama semakin keras. Aku mengerti apa maksud ustaz seperti ini.
Mungkin, agar aku diam dan tak menceritakan kejadian tersebut pada orang lain. "Tong, tong, tong ..." suara pukulan kentungan terdengar. Seraya, disusul dengan teriakan, "Bedul ... Bedul ...!" (Babi ... Babi ...!) "Ayo kita kesana!" pintaku reflek, mendengar suara kentungan dan ada yang meneriakkan babi. "Ayo!" balas ustaz singkat. Dengan segera, kita berlari kearah suara tersebut.
Tepatnya, di pos ronda. "Semoga, dudu kang

Warkam!" (Semoga, bukan kak Warkam!) gumamku yang entah kenapa masih tak rela kalau terjadi apa-apa dengannya. Padahal aku tahu, kalau kakakku yang asli ada di tempat berbeda.

                  

Sampailah di area pos ronda.
Beberapa warga mendekati pak Somad dan pak Sakri sambil bertanya perihal apa yang mereka lihat. "Ni-ning kanalah, Bedule!" tunjuk pak Sakri ke area kebun milik bu Ijah. Aku dan ustaz hanya diam, sambil mengamati apa yang tengah terjadi.
Lalu, ada salah satu warga mendekat. "Eh, ada ustaz," ucap Gepeng dengan sedikit sempoyongan, disertai aroma naga. (mabuk) "Iya mas Gepeng! Ada apa?" tanya ustaz tersenyum. "Ya ... Kalau ada ustaz, kami tak takut," jelasnya. "Ih, aku mah takut! Kalian saja kesitu! Biar aku sama Kirun tetap disini!" pinta Ustaz dengan ekpresi ketakutan sambil bersembunyi di belakangku. "Lah ...! Ustaz penakut! Ayo! Biar aku yang maju didepan!" ujar Gepeng menyombongkan diri dan menggiring para warga ke kebun milik bu Ijah. Para warga mulai masuk.
Tak jauh, mereka melihat sosok hitam mirip binatang, atau babi. Namun, bertubuh agak besar. "Hey, Sakri! Kaen bedule?" (Hey, Sakri! Itu babinya?) tanya Gepeng. "I-iya, kuen!" jelas Sakri. "Cul! Kih, Gepeng sing ora wedi ning bedul apan marek! Minggir kabeh!" (Awas! Nih, Gepeng yang tak takut sama babi mau mendekat! Minggir semua!) ucap Gepeng menepuk dada beberapa kali. Gepeng berjalan sempoyongan, mendekati sosok yang dibilang babi.
Tetapi sebelum mendekat, dia mencari ranting. Mumgkin, guna untuk memukul babi tersebut. Semakin dekat gepeng dengan mahluk itu.
Dia pun sudah mengambil kuda-kuda, sambil menaikan ranting tinggi-tinggi keudara.
Lalu memukulkannya tepat, kearah pantat sambil berujar, "Ikih babie! Hm, rasakaken ...!" (Ini babinya! Hm, rasakan ...!)

"Plak ... Plak ..." Mahluk itu dipukul beberapa kali.
Lalu, membalikkan badan seraya berucap, "Oeee ...." Dan menanduk perut Gapeng, hingga dia terpental.
Warga mulai panik! Tetapi kepanikan warga berubah menjadi suara tertawa. Saat mahluk itu membalikkan badan, warga masih tak tahu.

Tetapi saat melempar Gepeng hingga terpental, barulah warga sadar, kalau sosok itu bukan babi. Tetapi, anak kerbau. "Wah, kuen mah dudu bedul! Tapi Sadul! Hahaha," (Wah, itu mah bukan babi, tapi Sadul! Hahaha,) ucap Parmin. "Enak bae, anake sira paling gah, Min! Hahaa," (Enak saja, anakmu kali, Min!) balas Sadul. Pak Somad dan pak Sakri hanya diam, keduanya menunduk karena merasa malu.
Namun, seakan tak ada satu warga pun yang menyalahkan keduanya. "Lalah ... Gudel! Gudele sapa kuh ucul? Hahahaha." (Lalah ... Anak kerbau siapa itu lepas? Hahahaha,) teriak pak Somad sambil tertawa, untuk menutupi kesalahannya. "Lah, Gudeleku kinih!" (Lah, anak kerbauku ini!) jelas pak Rokim mendekati anak kerbau tersebut. Akhirnya, warga beramai-ramai membantu pak Rokim untuk menangkap anak kerbau peliharaannya yang lepas.
Sedangkan aku dan ustaz Amir, minum kopi di pos.
Sambil melihat saat warga berbondong-bondong menggiring anak kerbau tersebut. Mungkin inilah alasan ustaz Amir pura-pura takut dan lebih memilih tinggal di pos.
Tetapi aku bingung, kok bisa dia tahu? Padahal belum kesana tuk melihatnya?! "Kamu gak pulang?" tanya Ustaz

"Masih ingin disini!" jelasku "Memangnya ada masalah apa? Cerita saja sama aku. Lagian, kita kan teman. Mungkin aku bisa membantu?" tanya ustaz sambil menyeruput kopi.

                 

" 'Sruput ... Ehm.' Aku sedang pusing! Soalnya akhir-akhir ini tidak bekerja, dan stok makanan didapur sudah kian menipis," jawabku sambil meminum kopi.

"Oh ...! Mau tidak mengurus kambing punyaku? Soalnya Pak Duryat yang biasa mengurusi kambing, sedang sakit." pinta ustaz.

Betapa senangnya mendengar kalimat tersebut.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menerimanya.

"Iya, mau! Maaf nih, sudah merepotkan," ucapku tersipu.

"Yang ada, aku yang merepotkan kamu! Karena menyuruhmu mengurus kambing punyaku!" jelas ustaz tersenyum kecil.

Tak lama, pak Duryat meninggal dunia dan mengurus kambing, menjadi pekerjaan sehari-hariku.

Tanpa terasa, waktu cepat berlalu ....
Kini, Suci sudah menginjakkan kaki di kelas 6 sekolah dasar.
Dan tak lama lagi, menuju hari kelulusan.

Sedangkan kak Warkam, sudah mempunyai satu anak lagi. Berjenis kelamin perempuan dan namanya, Ita.
Ita berumur 2 tahun. Sedangkan Pendi, sudah masuk sekolah dasar.

Sedari dulu, aku dan Jamilah tidak mau punya anak lagi.
Karena berpikir, satu anak sudah cukup.

Untuk pekerjaan yang awalnya hanya menjadi penggembala kambing, kini berubah menjadi peternakan kambing.

Pagi ini, sebelum berangkat kerja.
Jamilah menghentikan langkah kakiku yang hendak keluar rumah.

"Mas!" panggil Jamilah.

"Ana apa, La?" (Ada apa, La?) tanyaku.

"Mila ... Mi-mila ... Mila meteng, mas!" (Mila ... Mi-mila ... Mila hamil, mas!) jawabnya tersipu malu.

"Sing bener? Alhamdulillah ...." (Yang benar? Alhamdulillah ....) balasku menghampirinya dan langsung memegang perut Jamilah.

"Suci wis weruh?" (Suci sudah tahu?) tanyaku yang dijawab Jamilah dengan menggelengkan kepala.

Aku langsung bergegas ke kamar Suci, untuk memberitahukan kabar gembira ini.
Suci pun senang, kala dia dengar mau punya adik.

Yang awalnya tak ingin punya anak lagi, tetapi setelah diberikan anugerah dengan hamilnya Jamilah, semuanya berubah.

Awal kebahagiaan yang begitu sempurna dan akan menjadi sebuah akhir bagi si NYUPANG BEDUL (Pesugihan babi ngepet).

Selang beberapa bulan, kandungan Jamilah mulai membesar dan tak lama lagi, anak keduaku akan lahir kedunia.
Senang bercampur bimbang, itulah yang ku rasakan.
Karena Akhir-akhir ini, kambing ustaz Amir banyak yang mati diserang penyakit.

Bingung dengan biaya persalinan dan bingung pula dengan biaya tuk Suci yang sudah mau masuk sekolah menengah pertama.
Mau pinjam uang sama ustaz, hati berasa tak enak.

"Mas! Aja dilamuni! Kogah rejeki si ora bakal mendi! Dadi, mending nyilih duit bae ning kang Warkam! Ko baka ana duit, gari bayar bae!" (Mas! Jangan di lamuni! Nanti kalau rejekinya gak bakal kemana! Jadi, mending mas pinjam uang saja sama kak Warkam! Nanti kalau punya uang, tinggal bayar saja!) pinta Jamilah.

"Ora!" (Tidak!) jawabku dengan nada tinggi, karena emosi saat teringat keluarga terkutuk itu.

Aku langsung bangun dari tempat duduk dan pergi dari rumah tuk menyegarkan pikiran yang sedang tak karuan.

Hari berikutnya, libur kerja.
Jadi, aku menghabiskan waktu tuk tiduran.

Tidurku terganggu, kala mendengar suara tangisan.
Aku terbangun, karena suaranya seperti Jamilah.

"La! Sira kenang apa?" (La! Kamu kenapa?) tanyaku. Tetapi Jamilah hanya menggeleng, tak mau menjawab.

Aku mencoba tuk terus menenangkannya.
Tak lama, akhirnya dia mau memberitahukan kenapa dia sampai menangis.

                    

"Mi-mila lunga marani umae kang Warkam. Niat pengen nyilih duit, malah diledek entok-entokan." (Mi-mila pergi ke rumah kak Warkam. Niat mau pinjam uang, malah di hina habis-habisan.) jelas Jamilah yang masih sedikit terisak.

Marah! Ya, aku sangat marah ketika mendengar apa yang Jamilah jelaskan!
Emosiku tak lagi bisa terbendung.

"Run! Patenana ...! Pateni! Kaen kuh dudu kakangira!" (Run! Bunuhlah ...! Bunuh! Dia tuh bukan kakakmu!) terdengar suara yang seakan berbisik.

"Pateni, Run! Pateni ...!" (Bunuh, Run! Bunuh ...!) suara itu kembali berbisik.

Suara itu terus berbisik sepanjang hari.
Sampai tiba waktu sore dan aku langsung bergegas pergi ke dapur.
Mengambil golok yang biasanya untuk motong rumput.

Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.

Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.
Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut.

"Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir.

"Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.

Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.

Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.
Karena memang tak pernah di kunci.

Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.
Namun, disini tak ada seseorang pun.

"Bagus! Berarti si bedul ora lunga luruh mangsa." (Bagus! Berarti si babi tidak pergi tuk mencari mangsa.) gumamku, karena melihat kamar dan barang-barang tuk ritual ditinggalkan begitu saja.

Kini tujuan selanjutnya kamar si babi dan perempuan iblis.
Tanpa ragu, aku melangkah mendekati kamar tersebut.

Pintu ku buka dengan perlahan.
Terlihat, kak Warkam tidur pulas dengan posisi tengkurap.
Disampingnya ada mbak Raeni, yang tertidur menghadap tembok.

"Matia, bedul!" (matilah, babi!) teriakku mengangkat golok ke udara dan menghujamkan ke tubuhnya beberapa kali.

Mbak Raeni kaget, dia terbangun sambil teriak meminta tolong.
Tetapi, aku tak memikirkan dia dan terus melanjutkan tindakanku.

Darah membanjiri ranjang.
Dan tak lama, sosok kak Warkam berubah menjadi babi seutuhnya dengan tubuh tercabik-cabik.

"Kuen kuh kakangira! Kenangpa tegel pisan?" (Itu tuh kakakmu! Kenapa tega sskali?) tanya mbak Raeni menangis.

"Dia kakakku, tapi bukan kakakku!" ucapku, "Mendadak kaya! 'cuih' tapi dengan cara yang salah!" lanjutku teriak dengan nada emosi.

Membunuhlah, seakan tak puas!
Aku melangkah keluar kamar mereka berdua.
Dan kali ini, aku menuju kamar kedua anaknya.

"Run! Uwis, Run! Uwis ...!" (Run! Sudah, Run! Sudah ...!) pinta mbak Raeni sambil menangis. Sedangkan kedua tangannya, memelukku dari belakang dengan begitu erat.

Dengan sekuat tenaga, aku melempar mbak Raeni.
Dia tersungkur ke lantai, sedangkan kepalanya berdarah, membentur dinding.

Akumemasuki ke kamar anaknya dan menghujamkan golok ke leher ke kedua anak tersebut.
Dan, ya! Kedua anaknya sama, tubuh mereka berubah menjadi babi.

Teriakan dan tangisan mbak Raeni, terdengar oleh warga sekitar.
Lalu, warga pun mengumpulkan masa dan berbondong-bondong mendatangi ke kediaman kak Warkam.

Semua warga merangseg masuk.
Warga kaget dan tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Mereka melihatku berlumuran darah sambil memegang golok.

"Astaghfirullah, Run! Istighfar!" teriak ustaz Amir.

"Astaghfirullahal'adzim ...." ucapku, "Mir! Apa yang telah aku lakukan?" tanyaku terduduk sambil melepas golok dan menangis.

Ustaz Amir berlari mendekati ku dan menendang golok yang terjatuh di lantai, agar menjauh dariku.
Dia memeluk dan mencoba membangunkanku.

Warga mulai berlarian.
Ada yang masuk ke kamar kak Warkam dan ada yang masuk ke kamar Ita dan Pendi.
Dan ada juga yang berusaha menolong mbak Raeni.

"Astaghfirullah .... Taz, ustaz!" teriak salah satu warga dan di susul warga lain dengan teriakkan sama.
Mereka tak percaya dengan apa yang dilihat.

Berita tentang kejadian ini menyebar luas ke seluruh warga.
Namun, warga melarang kalau sampai kejadian tersebut sampai didengar warga dari desa luar.

Perkebunan milik kak Warkam, habis terbakar.
Seakan ada warga yang membalas dendam dengan apa yang pernah keluarga kak Warkam lakukan.

Tak itu saja!
Rumah yang tadinya seperti rumah bebek dan sekarang menjadi rumah yang megah bak istana.
Habis dirusak warga dan dibakar.
Mobil, motor dan harta benda lain pun ikut hangus terbakar.

Dan untuk nasib mbak Raeni, dia menjadi orang gila.
Kita yang berusaha menampungnya ditolak dan dia menjadi gembel jalanan.

_TamaT_

Inilah akhir kisah nyupang bedul atau pesugihan babi ngepet.
Aku pun berpesan, agar kalian tidak mempercayai cerita ini sampai 100%.
Karena apa yang mungkin orang ceritakan, akan berbeda dengan apa yang aku ceitakan.

Bahkan orang yang ditinggal di desa tersebut pun tak tahu dengan cerita ini.
Entahlah ...!
Apa mungkin saking lamanya, atau dari satu orang ke orang lain menjadi berbeda dan sampai salah menamakan desa asli untuk kejadian ini?!.

"Wallahu'alam ...."

Intinya, kita ambil saja hikmah yang ada dalam kisah ini.
Karena sesusah-susahnya kita hidup, kita punya tuhan.
Kita bisa minta padanya, bukan minta sesuatu ke Setan yang jelas dilarang oleh Agama.

Dan kalau kita memang tergolong orang mampu, ingatlah! Karna harta yang kita punya adalah titipan semata dan kalau tuhan menghendaki untuk mengambil harta kita, itu sangat mudah baginya.

Janganlah menjadi sosok yang sombong dikarenakan kita kaya, lantas kita bisa dengan enaknya mencaci maki orang-orang miskin.
Pernahkah berfikir, tanpa orang miskin maka tidak ada orang kaya? Orang kaya yang punya perusahaan, pasti mereka membutuhkan bantuan dari si miskin! Karna takkan mungkin dia kaya tanpa bantuan dari seseorang.

Akhir kata ...

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wa barokatuh ... .

2 komentar:

  1. Susah di baca tak terlihat tulisan ujungnya apa kenapa ya ?

    BalasHapus
  2. Terlalu panjang ceritanya mas , mungkin tidak terbaca di hp

    BalasHapus

×
Cerita Terbaru Update