Oleh:
Gentah Babay
& Vhyo Tantika
"Kenalkan, ini Pak Arif dan Bu Ani. Orang tua baru kalian." Pak panti memperkenalkan kami berempat sesampainya di rumah besar dan megah ini.
Ya, kami baru saja mendapat orang tua asuh setelah bertahun-tahun tinggal di panti. Mungkin karena ekonominya bagus dan dengan tujuan mengangkat derajat anak panti, maka sang pemilik rumah langsung mengambil empat anak panti.
"Sekarang kalian anak kami, ya. Panggil saya Bapak, dan istri saya Ibu." Keduanya melempar senyum hangat.
Aku, Dewi, Bang Gen, dan juga Riki, semuanya bergiliran menyalami dua sosok yang kini kami panggil Bapak dan Ibu. Senyum mengembang di wajah kami, apalagi Dewi. Dia yang paling mendambakan orang tua baru.
Setelah Pak Panti pulang, Bapak dan Ibu menunjukkan kamar untuk kami tempati. Dua ruangan bersebalahan terletak tak jauh dari dapur, menjadi kamar kami.
"Di rumah ini, kalian tidak boleh salat, ya, buat yang muslim." Bapak menjelaskan.
"Kok tidak boleh salat, Pak? Kata Pak panti ...." Riki tidak meneruskan bicaranya setelah Bapak memotong.
"Hanya sementara, kok. Nanti kalau Bapak dan Ibu sudah bilang boleh, kalian boleh salat. Nggak papa, kan?"
Kami berempat saling adu tatap. Kemudian menganggukan kepala ragu.
Aku dan Dewi, menempati kamar berdua. Begitu juga Abang dan Riki yang menempati kamar sebelah.
Entah mengapa, semenjak memeriksa kamar masing-masing, raut wajah Bang Gen tak biasa. Seperti ada suatu hal yang ingin ia bicarakan. Namun, aku tak berani bertanya jika Bapak dan Ibu masih ada di sini.
"Ya sudah, kalian boleh keliling di rumah ini. Lihat-lihat rumah ini. Ibu sama Bapak pergi sebentar, ya. Kalian mau pesan makan apa? Nanti Ibu belikan." Ibu mengusap rambutku. Tampaknya ia begitu sayang pada kami.
"Apa saja, Bu. Kami biasa makan seadanya," jawab Bang Gen. Disusul anggukanku juga Dewi dan Riki.
"Baik. Oh iya, kamar lantai atas paling pojok, jangan ada yang buka, ya," pesan Ibu dengan raut wajah serius.
"Memangnya kenapa, Bu?" tanyaku penasaran.
"Sst ...." Bang Gen menatapku seakan memberi kode agar aku tak banyak bertanya.
Bapak dan Ibu beranjak pergi. Keduanya keluar dari pintu garasi. Kami membantu membukakan pintu gerbang agar mobil dapat keluar.
Suasana di komplek ini sangat sepi. Langit mulai gelap, dan sayup-sayup terdengar suara tadarus Al-Qur'an yang sepertinya berasal dari masjid depan sana.
Setelah mobil tak terlihat, kami berempat memasuki rumah. Kata Ibu, biasanya ada asisten rumah tangga yang kerja pulang pergi. Ia masuk pagi, dan sekitar pukul empat sore sudah pulang. Namanya Mbak Nah.
"Eh, kita lihat-lihat dulu, yuk!" Riki paling bersemangat melihat-lihat rumah ini.
Dia berada paling depan menaiki anak tangga menuju lantai atas.
Terlihat beberapa ruangan berjajar. Sepertinya kamar dan ruang kerja Bapak Ibu. Satu ruangan di pojok, tampak berbeda. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Baru ingat, kalau kamar itu tidak boleh di masukki.
Saat Riki dan Dewi mengamati hiasan di bufet, Bang Gen mendekat ke arahku.
"Via, sumpah, perasaanku nggak enak dari tadi. Aku ngerasa ada yang aneh dengan Riki."
Deg.
"Maksudnya, Bang?" Sebenarnya enggan mendengar hal-hal seperti ini dari Bang Gen. Karena setiap kali ia merasakan hal tak enak tentang teman panti, biasanya akan ada yang meninggal. Ya, dia memiliki kepekaan dengan dekatnya kematian.
Masih teringat jelas tujuh hari sebelum meninggalnya Zaskia di panti. Bang Gen mengutarakan hal yang sama seperti saat kematian Elen yang juga anak panti. Ia bisa merasakan dekatnya kematian kedua teman kami waktu itu.
"Entah. Aku takut terjadi sesuatu dengan Riki." Wajah Abang terlihat murung. Hingga meminta kami turun dan kembali ke kamar.
____
Adzan magrib mulai terdengar, tapi Bapak dan Ibu belum juga pulang.
"Kita salat aja, yuk!" ajak Riki.
"Loh, bukannya nggak boleh salat, ya?" tanyaku.
"Kita cepat-cepat saja salatnya." Bang Gen menyetujui.
Baiklah, jika ia yang menyuruh, aku jelas saja ikut. Dia paling tua di antara kami. Kelas dua SMP. Sedangkan aku dan Riki, masih duduk di kelas satu SMP. Berbeda dengan Dewi yang masih kelas 6 SD.
Kami bergegas mengambil air wudhu sebelum Bapak dan Ibu pulang. Sialnya, aku harus kebelet dan membiarkan mereka lebih dulu ke kamar.
Untungnya, setelah keluar dari kamar mandi, masih ada Dewi di depan keran. Jujur saja, aku agak penakut.
"Untung aja ada kamu, Wi. Kedengarannya sepi banget di kamar mandi." Aku benar-benar lega.
Dewi mengangguk, lalu menutup keran. Dia terlihat menungguku yang mendapat giliran wudhu.
Setelah selesai, kami berjalan menuju kamar. Karena kamar mandi letaknya lumayan jauh di halaman samping yang tembus dapur, maka adanya Dewi di sini bagaikan malaikat penolong.
Ia berjalan mengekor di belakang. Aku membuka pintu tembusan dapur. Kemudian berjalan lurus ke arah kamar.
Semakin dekat dengan kamar, terlihat ada empat orang berdiri di satu kamar dengan pintu terbuka. Mereka sudah memulai salat.
Aku menghentikan langkah, memahami sebenarnya apa yang terjadi. Kenapa rasanya ada yang janggal? Setelah mata kembali fokus, ternyata benar. Ada yang janggal.
Imam salat terlihat Bang Gen di depan. Lalu belakangnya lagi terlihat Riki. Belakangnya lagi ada Dewi dengan mukenanya yang berwarna gold. Lalu sebelah Dewi siapa yang memakai mukena putih?
Tunggu! Lalu siapa yang mengekor di belakangku?
____
NEXTAR
Yang mau peluk novel kolab Gentah sama Vhyo boleh komen, novelku yang lain juga lagi lagi promo, Kak!
KEMATIAN ANAK PANTI
(Normal 90k | PO 85k)
GARIS DARAH PARAKANG
(Normal 90k | PO 84k)
Bundling KEMATIAN ANAK PANTI & GARIS DARAH PARAKANG
(Normal 175k | PO 169k)
Yang mau PO bisa komen, inbox, atau WA wa.me/6287756616713
---
Bisa juga menghubungi marketer di daerah Akak
List Marketer *MCM* (Marketer Cetar Membahana) Biru Magenta IV :
2. Nama : Nia
Fb : Heba Raouf Ezzat
WA : wa.me/6287804660670
Daerah : Jabodetabek, Banten, Lampung, dan Palembang
7. Nama : Esa Fitrayanti
FB : Esa Fitra Yanti
Ig : esafitrabook_store
Wa : wa.me/6285265226730
Daerah : Sumatra Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar