Notification

×

Kategori Berita

Cari Cerita

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Entri yang Diunggulkan

DIJADIKAN TUMBAL PESUGIHAN

  Kang Asep Hidayat DIJADIKAN TUMBAL PESUGIHAN By. Kang Asep Hidayat Assalamualaikum, salam sejahtera buat sahabat kang Asep Hidayat semua ...

Indeks Berita

Iklan

Lingsir wengi

Kamis, 29 Oktober 2020 | Oktober 29, 2020 WIB Last Updated 2020-11-04T07:50:37Z

 

 
 
 
 
 

 


"Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo
Jin setan kang tak utusi
Dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet"
Tuk ... Tuk ... Tuk
Suara langkah kaki itu makin jelas terdengar dari arah koridor di samping kamarku. Aku yang terbaring lemah dengan selang infus menggelantung di pergelangan tangan, tak mampu menengok ke arah jendela.
Suara itu makin mendekat ke arah pintu kamar tempatku dirawat selama beberapa hari ini. Tak ada tanda-tanda pintu akan terbuka, hening, suara ketukan sepatu itu pun tak lagi terdengar.
Keringat dingin mengucur membasahi keningku, degup jantungku juga belum mereda. Sudah tiga hari ini selalu ada langkah kaki yang berhenti di depan kamar perawatanku, namun selalu saja tiada seorangpun yang masuk. Seperti hilang begitu saja ketika di depan pintu.
Aku melirik ranjang kosong di sebelah yang tirainya terbuka. Tiga hari lalu ada seorang korban kecelakaan yang meninggal disitu, setelah semalaman dirawat oleh tim dokter.
Masih teringat jelas ekspresi wajah ketika ajal menjemputnya. Sakratul maut yang dia alami sepertinya sangat menyakitkan, matanya membeliak, luka di kepalanya yang tertutup perban mengalirkan darah segar. Urat-urat di wajahnya menegang kaku, dan saat ajal menjemput, wajahnya terkulai menghadap kearahku.
Wajah itu begitu mengerikan, dengan mata melotot tajam ke arahku, bibirnya membuka dan darah segar mengucur dari rongga mulutnya. Dia seolah berbicara padaku "Kamu berikutnya!" aku bergidik ngeri saat membayangkannya.
Malam sebelum dia meninggal, aku melihat sesosok perawat berdiri di sampingnya membelakangiku. Rambutnya panjang, berpakaian putih dengan topi perawat tersemat di kepalanya. Anehnya, perawat itu hanya berdiri mematung, tak melakukan apapun ketika pasien korban kecelakaan itu mengerang kesakitan.
Saat aku memalingkan muka untuk melihat dan membenarkan posisi kabel infus yang membelit lenganku, perawat itu sudah tak ada entah kemana, dan hanya suara langkah sepatu yang kudengar di koridor depan kamar, menjauh dan semakin menghilang.
Sejak itulah, aku selalu mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah kamar setiap tengah malam.
Aku hanya berpikir mungkin memang ada perawat jaga yang bertugas untuk melihat keadaan pasien, namun saat aku menanyakan pada dokter yang menangani kesembuhanku, ternyata tak pernah ada perawat yang bertugas untuk mengecek keadaan pasien di tengah malam.
Ahh entahlah, aku sendiri tak mampu berpikir jernih, kecelakaan yang aku alami membuatku harus terkapar di tempat ini. Aku tak tahu siapa yang menabrakku dari belakang, karena setelah kejadian itu aku tak sadarkan diri hingga dua hari.
Aku dirawat di ruang ICU, karena luka yang kuderita cukup parah. Luka dalam di bagian dada dan gegar otak, sehingga aku kesulitan untuk bernafas dan harus selalu memakai alat bantu pernafasan. Tiada seorangpun yang diperbolehkan masuk ke ruangan ini kecuali dokter dan perawat yang bertugas.
Saat aku dalam keadaan koma, aku seperti dibawa oleh anak-anak kecil yang bertelanjang dada. Bukan hanya satu tapi banyak anak kecil yang mengelilingiku, menarik-narik tanganku juga ada yang menaiki punggungku.
Lalu tiba-tiba saja mereka menghilang saat seorang perempuan dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya datang. Anak-anak kecil itu seperti ketakutan saat melihatnya.
Aku melihat jam yang tergantung di dinding, hampir pukul satu pagi. Sayup-sayup kudengar lolongan anjing dikejauhan, tak pernah biasanya aku mendengar lolongannya kemarin.
Suara seperti kereta dorong tiba-tiba memecah keheningan malam. Pintu kamar terbuka, dua orang perawat tampak mendorong seorang pasien yang kemudian ditempatkan di ranjang kosong sebelahku dirawat.
Perawat-perawat itu tak berkata sepatah kata pun. Diam dan membisu, dan bahkan pasien itu pun tak mereka urus seperti diriku. Tak ada selang infus, tak ada alat bantu pernafasan yang harus dia pakai.
Ahh kenapa dengan pasien itu, sakit apa dia? Pertanyaan bergumul di benakku. Aku terus saja memandangnya lekat dari tempatku berbaring.
Tiba-tiba dia memalingkan wajahnya ke arahku, aku terbelalak saat mulutnya membuka lebar tersenyum padaku. Gigi-giginya yang runcing terlihat merah seperti habis menggigit potongan daging yang berlumuran darah.
Laki-laki itu beringsut mendekat ke arahku, tangannya menggapai ke arah pegangan ranjangku. Dia menyeringai lebar saat itu, bau busuk tercium dari mulutnya yang meneteskan air liur tepat di sampingku berbaring.
Dia menengok ke arah pintu, saat tiba-tiba pintu itu terbuka dan anak-anak kecil yang kulihat saat aku koma mulai masuk dan menyerbu ke arahku. Menaiki ranjangku, menarik-narik selimutku dan bahkan bermain-main dengan selang infusku.
Aku ingin berteriak, namun tenggorokanku seperti tercekat dan tak ada suara yang bisa keluar dari bibirku. Seorang anak kecil dengan kepala pelontos, dengan wajah yang mengerikan mendekat ke arah kepalaku. Bola matanya tak hitam legam sama seperti kelopak mata yang mengelilinginya.
Tangannya yang berkuku tajam dan hitam melepas alat bantu pernafasan yang menutupi hidung dan mulutku. Aku tersengal, nafasku seolah tertahan di rongga dada.
Tiba-tiba sebuah tangan terjulur dari bawah ranjang tempatku berbaring, tangan yang keriput dengan kuku-kuku tajam yang runcing memegang erat lenganku. Aku mencoba meronta namun tangan itu memegang makin kuat, kukunya menancap makin dalam, perihnya luar biasa.
Dari bawah ranjang, sosok pemilik tangan itu muncul keluar, seorang nenek berwajah menyeramkan dengan rambut putih panjang terurai menutupi sebagian wajahnya, mulutnya menyeringai lebar dan menampakkan belatung-belatung kecil yang menempel dan berjatuhan dari sela-sela giginya.
Wajahnya mendekat sangat erat padaku, bau busuk menyengat menusuk hidungku. Mereka mengerubuti diriku, menarik dan menancapkan kuku-kuku mereka ke tubuhku, aku meronta, berteriak, tapi tak seorangpun datang menolongku.
****
Sinar mentari jatuh diantara celah-celah jendela, seorang perawat yang datang memeriksa keadaanku mendadak kalut dan ketakutan, segera berlari menuju keluar. Sesaat serombongan perawat dan dokter datang mengelilingiku, memeriksa denyut jantung juga nadiku. Mereka saling berpandang-pandangan, dan hanya mampu menundukkan wajah seolah menyesali apa yang telah terjadi.
"Pasien telah meninggal."
Suara yang parau dari dokter itu membuat semua perawat yang berkumpul disitu bergegas melepas semua alat yang menempel di tubuhku, dan menutup wajahku dengan selimut putih yang kukenakan.
Di sudut kamar aku meringkuk menangis dan meratap, hanya mampu melihat kedua orangtuaku yang menjerit histeris dan berurai airmata. Ibuku bahkan hingga pingsan dipelukan ayahku.
Aku menatap anak-anak kecil yang masih saja menyeringai sembari memegangi kedua tangan juga kakiku. Mereka tertawa terkekeh dan beramai-ramai menyeret tubuhku yang telanjang tak berdaya ke dalam satu kamar yang hitam dan gelap di ujung koridor rumah sakit, mereka seolah berlomba dan berpesta menikmati isi bagian dalam tubuhku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Cerita Terbaru Update