Kalau suara salawat tarhim subuh tidak terdengar, mungkin saya masih terjebak di jalur gaib itu. Jalur gaib di sepanjang jalur Ponorogo-Wonogiri.
Pernah bekerja di sebuah tabloid beraliran mistik gaib membuat saya beberapa kali mengalami peristiwa menyeramkan yang tak bisa dinalar. Yang paling menyeramkan adalah pengalaman terjebak jalur gaib ketika sedang menempuh perjalanan pulang kampung dari Solo ke Tulungagung.
Sekitar pukul setengah dua pagi, mata saya belum bisa diajak tidur. Hari itu, saya punya rencana pulang kampung dan sarapan di rumah. Jadi, ketika kantuk yang saya rindukan belum tiba, saya putuskan untuk pulang saat itu juga.
Saya tidak menyangka kalau keputusan keliru itu menuntun saya masuk ke jalur gaib. Nekat pulang ke Tulungagung hari itu membuat saya mengalami peristiwa menyeramkan yang tak terlupakan hingga kini.
Sebenarnya, melakukan perjalanan jauh seorang diri di “jam rawan” sudah sering saya lakukan. Dulu, saya pernah motoran dari Solo ke Surabaya. Berangkat dari Solo pukul satu pagi, sampai di Surabaya sekitar pukul 09.30.
Walau harus melewati beberapa hutan jati, perjalanan saya waktu itu lancar-lancar saja. Di hutan jati wilayah Saradan yang konon angker, saya tak menjumpai kejadian mistis. Pengalaman inilah yang membuat saya memberanikan diri pulang dari Solo ke Tulungagung ketika makhluk gaib beraktivitas.
Usai menutup gerbang kos. Motor saya lajukan dengan perlahan. Perjalanan dari Solo sampai perbatasan Sukoharjo-Wonogiri pagi itu berjalan lancar. Pagi itu, hanya beberapa mobil pick-up pengangkut sayur dan beberapa orang yang mungkin hendak ke pasar yang saya temui.
Apabila pulang dari Solo ke Tulungagung lewat jalur Wonogiri. Untuk memangkas jarak, saya punya kebiasaan lewat jalan trabasan yang terletak di daerah Sidoharjo. Meski jalannya rusak dan sering terlihat singklu karena di salah satu sisi jalan terdapat punden, saya tetap memilih melewati jalan itu ketimbang lewat jalur provinsi. Alasannya sederhana, dengan melewati jalan itu saya bisa memangkas jarak sekitar dua kilometer.
Biasanya, ketika lewat sana tidak terjadi apa-apa, tetapi pagi itu beda. Usai membunyikan klakson tiga kali saat lewat punden sebagai tanda permisi, tiba-tiba dengkul saya ngowel dan terasa lemas seperti tak ada tenaganya. Kejadian semacam ini tak pernah saya alami sebelumnya. Saat itu, saya belum sadar kalau sudah terjebak jalur gaib.
Selain dengkul terasa lemas, tiba-tiba jantung saya berdegup lebih kencang. Tidak berhenti di sini, usai melewati punden yang berbentuk pohon tua itu, muncul perasaan tak enak. Imajinasi-imajinasi menyeramkan mulai muncul.
Untuk menghalau pikiran-pikiran menyeramkan ini, saya mulai membaca ayat kursi. Kata guru ngaji saya, ayat ini ampuh sebagai penolak gangguan setan. Anehnya, perasaan tak enak malah kian menjadi. Mungkin karena jarang mengamalkannya membuat ada bagian yang terlewatkan.
Usai lewat jalan trabasan tadi dan motor Supra X keluaran 2005 yang saya kendarai mulai ngaspal di jalur provinsi Wonogiri-Ponorogo keadaan tak kunjung membaik. Dua tahun lewat jalur Ponorogo-Wonogiri membuat saya hafal betul keadaan kiri-kanan jalan. Tapi pagi itu, pemandangannya berubah total. Di sisi kiri dan kanan jalan yang biasanya ada rumah penduduk dan sejumlah toko berubah menjadi pohon-pohon raksasa menjulang tinggi.
Merasa tanggung kalau balik lagi ke Solo dan samar kalau mengalami peristiwa yang jauh menyeramkan, saya nekat melanjutkan perjalanan sambil terus membaca doa. Kecurigaan masuk ke jalur gaib mulai muncul.
Perasaan saya agak sedikit lega ketika jauh di depan saya terlihat lampu belakang motor menyala merah.
“Wah, kae ana kancane,” batin saya.
Motor saya percepat agar bisa mendahului kendaraan di depan. Ketika nyalip kendaraan itu dan saya menoleh ke arah pengendaranya, wajah pengendara motor itu terlihat pucat. Melihat pemandangan semacam itu bulu kuduk saya berdiri.
“Gek kuwi mau apa ya,” batin saya.
Saya terus melajukan motor dan mulai sering menyalip serta berpapasan dengan beberapa kendaraan. Tetapi, di sepanjang jalur gaib itu, semua kendaraan yang berhasil saya salip dan kendaraan yang berpapasan semua pengendaranya berwajah pucat. Tentunya ini berhasil membuat ketakutan saya kian tumpuk undhung. Belum lagi pemandangan di kiri dan kanan jalan yang saya lewati pagi itu masih berupa pohon-pohon raksasa yang tak pernah saya lihat sebelumnya.
Saya akui pagi itu saya benar-benar ketakutan. Tak banyak yang bisa saya lakukan selain melanjutkan perjalanan dengan hati was-was dan mulut yang terus membaca berbagai doa. Rasa takut yang saya rasakan pagi itu jauh melebihi rasa takut yang saya rasakan saat liputan ke tempat yang ditengarai sering dipakai mencari pesugihan.
Pengendara bewajah pucat dan pohon-pohon raksasa yang asing itu terus terlihat sampai terdengar suara salawat tarhim subuh dari sebuah masjid. Begitu suara tarhim subuh yang menyejukkan hati itu terdengar. Tiba-tiba makplasss….
Pohon-pohon raksasa yang sedari tadi menghiasi jalur Wonogiri-Ponorogo hilang. Rumah penduduk yang sebelumnya tak terlihat mulai nampak kembali. Berkat suara tarhim subuh itu, perasaan was-was yang berjam-jam saya rasakan hilang tak berbekas. Alhamdulillah.
Hilangnya perasaan was-was membuat saya lebih nyaman melanjutkan perjalanan. Beberapa kali, saya mengucap syukur bisa terbebas dari jalur gaib itu.
Saat sampai di perbatasan Ponorogo-Wonogiri. Saya berhenti untuk istirahat. Guna menghilangkan kantuk yang mulai menyerang, saya memutuskan untuk merokok. Sambil enak-enak udud, saya ambil hape dari saku celana untuk membuka beberapa pesan yang masuk dan melihat jam.
Saat hape menunjukkan pukul 05.30 pagi, saya sangat kaget. Sebab biasanya untuk perjalanan dari Solo sampai tempat saya berhenti, senyantai-nyantainya saya melajukan motor, waktu yang dibutuhkan tidak sampai lebih dari dua jam. Terlebih saat menempuh perjalanan tadi jarum speedometer saya selalu di angka 60 km/jam.
“Kok bisa suwene semono. Terus aku mau menyang ngendi wae?”
Usai habis satu batang rokok dan membasuh muka dengan air mineral yang saya bawa dari kos, saya melanjutkan perjalanan. Saya baru sampai Tulungagung sekitar pukul 08.30 pagi.
Ketika balik lagi ke Solo, saya masih dibuat penasaran dengan pohon-pohon raksasa yang saya lihat kemarin. Demi mengobati rasa penasaran, saya putuskan untuk lewat jalan yang sama.
Anehnya, pohon-pohon raksasa yang saat lihat pagi itu tidak terlihat lagi. Memang, di jalur itu masih ada beberapa pohon besar yang tumbuh di kiri-kanan jalan. Tapi pohon itu berbeda dengan pohon yang saya lihat waktu pulang kemarin. Pohon yang saya lihat saat perjalanan pulang kemarin tak hanya besar tapi memiliki aura menyeramkan.
Suatu ketika, setelah selesai wawancara dengan seorang tokoh spiritual, sambil ngobrol, peristiwa menyeramkan yang saya alami saya ceritakan kepada beliau.
Beliau berkata, “Alhamdulillah, Mas. Sampeyan bisa keluar dari jalur gaib itu dalam keadaan selamat. Lain kali kalau bisa jangan melakukan perjalanan di jam-jam itu. Bahaya. Jam-jam jelang tarhim subuh itu jam-jam makhluk halus pulang. Biasanya mereka itu suka jail. Dan bentuk kejahilannya mereka itu seperti yang sampeyan alami itu, Mas.”
Usai mendapat pengetahuan ini, mulai saat itu sampai sekarang, jika tidak dalam keadaan sangat terpaksa. Saya tidak akan melakukan perjalanan ke mana pun sebelum terdengar tarhim subuh dari masjid. Saya kapok dan tidak ingin mengalami berkendara di sebuah jalan yang nyalawadi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar