Ella Nurlaela
#Horor
#Kisah_nyata
Sebut saja namaku Indra. Kisah ini kualami saat kelas tiga SMA. Kebetulan aku sekolah di kota Purwakarta, sementara rumahku ada di Maniis--perbatasan Purwakarta-Cianjur. Yang artinya, perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah melewati area danau cirata. Jalan cirata memang terkenal sedikit angker, selain karena sepanjang jalan disuguhi pemandangan gunung, hutan dan danau. Banyak cerita-cerita mistis yang bisa didengar dari masyarakat atau orang yang sering melewati jalur cirata.
Langit mendung, saat ceritaku ini di mulai. Hari itu, aku menyelesaikan bimbingan belajar sekitar pugul tiga sore. Meski cuaca tak mendukung, aku tetap memaksakan diri untuk pulang. Maklum---waktu itu malam minggu, kalau aku gak pulang pasti kelabu.
Sebelum pulang, aku sempet telpon pacar yang kebetulan rumahnya satu kampung denganku.
"Sana ujan ga, teh?" Tanyaku sambil pakai jaket.
"Belum. Tapi kayanya bentar lagi." Jawab seorang wanita bersuara lembut dari ponsel yang kutempel di telinga.
"Bentar lagi juga aku sampe." Kataku sambil tersenyum.
"Gak usah pulang!" Ketusnya.
"Kenapa?" Tanyaku kesal karena dia gak ngerti kalau rindu itu berat.
"Mau ujan. Perasan gak enak lagi."
"Tanggung. Udah siap-siap mau OTW." Timpalku.
"Dih...dibilangin gak nurut. Ya udah."
Setelah itu sambungan telepon terputus. Dia emang cuek dan irit bicara, jadi aku gak ada feeling apa-apa dan tetep nekat pulang meski udah dilarang.
Singkat cerita, di perjalanan ban motorku bocor. Aku mulai panik karena cuaca semakin mendung dan mulai terdengar suara gemuruh guntur yang menandakan hujan akan segera turun.
Hatiku mulai gelisah, tapi perjalanan yang kutempuh sudah lebih dari setengah. Akhirnya aku tetap meneruskan perjalanan.
Saat memasuki area cirata, langit semakin gelap. Suasana pun sedikit mencekam. Aku sudah yakin akan kehujanan.
Dan benar saja, saat memasuki area jembatan pertama...hujan mulai turun.
Tidak terlalu besar, namun cukup membuat pakaian basah.
Tentu saja, aku ragu antara meneruskan perjalanan atau berhenti menunggu reda hujan. Kulirik jam yang melingkar di tanganku--menunjukkan jam empat sore, namun cuacanya membuatku merasa bahwa magrib akan segera tiba.
Pakaianku semakin basah. Kuperhatikan pengendara motor lain banyak yang menepi di warung-warung pinggir jalan.
Saat memasuki area bendungan, hujan yang semakin deras membuat pandanganku jadi tidak jelas. Padahal aku tak akan lagi menemukan area warung yang bisa kujadikan tempat berteduh.
Samar-samar aku melihat dua orang yang duduk di sebuah saung yang terbuat dari bambu.
Karena tak ingin terjadi kecelakaan, aku menepi. Segera turun dan berlari menghampiri dua orang tadi.
"Ikut neduh, Kang." Kataku seraya membuka helm dan jaket yang basah.
"Iya, Jang. Hujannya deras pisan. Takut kecelakaan." Jawab laki-laki berbaju hitam yang tengah duduk bersama teman perempuannya.
Kulirik disamping laki-laki itu, duduk seorang perempuan berbaju merah yang terlihat menerawang menatap hujan.
Aku pun ikut duduk di bangku bambu sambil megusap-usap kedua telapak tangan, berharap sedikit kehangatan.
Tempatku berteduh adalah sebuah bangunan kecil dari bambu yang biasanya dipakai berdagang kopi atau sekedar mie instan. Tak ada dinding, atapnya pun dari jerami yang dilapisi plastik.
"Dari mana mau kemana, Jang?" tanya si Akang yang duduk di sebelahku.
"Pulang sekolah, Kang." Jawabku sok ramah.
"Pulangnya kemana?"
"Rumah di maniis, Kang." Timpalku lagi.
"Sama. Saya juga dari Maniis."
"Ooh... mau kemana?" Tanyaku basa-basi
Saat aku bertanya, si Teteh berbaju merah menatapku sinis.
"Mau pulang." Jawab si Akang pelan, hampir tidak terdengar.
Kulihat motor berwarna hitam yang ada di dekat motorku. Motornya kotor, aku tidak tahu itu motor Merk apa karena sebagian onderdilnya sudah dipreteli.
"Dari mana gitu, kang?" Tanyaku lagi
Si Teteh berbaju merah itu kembali menatapku, kali ini dengan tatapan sedih. Sungguh aku dibuat speechless dengan tatapan wanita itu. Dalam hati malah suudzan jangan-jangan dia naksir sama aku.
"Abis belanja buat seserahan, kami mau nikah." Kata Si Akang lagi.
"Ooh...iya-iya." Kataku sedikit lega.
Suasana kembali hening, hanya terdengar suara hujan bercampur angin kencang yang sesekali disauti gemuruh.
Aku menatap motorku yang kehujanan, lalu tanpa sadar kembali memperhatikan motor butut si Akang yang terlihat rusak di mataku. Lampu depannya pecah, stangnya pun sedikit bengkok.
Aku memandang berkeliling, tak ada satupun kantong belanja atau benda lain selain Helm, Tas dan Jaket milikku. Padahal tadi si Akang bilang habis belanja buat seserahan.
Aku menggelengkan kepala, menyadarkan diri sendiri supaya gak Kepo sama urusan orang. Akhirnya aku merogoh tas dan mengambil Handphone ku.
Agar menunggu tak membosankan, akhirnya aku memutuskan kembali menelepon sang pujaan hati.
Terdengar nada tunggu yang membuat hatiku gelisah. Hatiku semakin tak karuan karena teleponku tidak diangkat.
Karena gak ada kerjaan dan perasaanku semakin tidak enak aku terus menerus menelepon siapapun yang terlintas di pikiran.
Dari mulai menelepon Ibu, Ayah, Kaka, Adek sampai tiga orang teman. Tapi tak ada satu pun yang mengangkat teleponku.
"Astagfirullah...pada kemana sih?" Kalimat itu meluncur begitu saja.
Dan saat itu juga, ponsel ditanganku bergetar dan kulihat nama pacarku yang menelepon.
"Halo." Kataku sumringah begitu mengangkat telepon.
"Dimana?" Katanya to the point
"Keujanan di Cirata." Jelasku
"Dibilangin jangan pulang," katanya kesal.
"Kemana aja? Ko diteleponin gak diangkat?" Tanyaku.
"Kapan nelpon? Gak ada." Katanya sinis
"Idih diteleponin dari tadi." Kataku tak kalah kesal
"Sumpah. Gak ada." Tegasnya
"Sinyal kali," kesalku yang gak mau debat
"Neduh di mana?"
"Di warung kecil. Deket jalan yang lurus itu." Jawabku senang karena tumben dia perhatian.
"Emang jualan? Bukannya kosong."
"Emang kosong sih."
"Ooh... sama siapa?" Tanyanya lagi
"Ada akang-akang sama..." aku berhenti bicara, memandang berkeliling keheranan karena aku sendirian. Ku lihat motor hitam yang sejak tadi kuperhatikan pun raib.
Seketika tubuhku merinding, speechless tak tahu harus bagaimana. Aku masih bisa mendengar suara dari telepon yang terus memanggilku.
"Teh, nanti aku telepon lagi." Untuk pertama kalinya aku menutup telepon darinya. Buru-buru aku beberes dan menaiki motor sambil terus membaca ayat kursi.
Tanganku pun sedikit gemetaran mengingat semua apa yang terjadi.
Rasa takut akan si Akang dan si Teteh membuatku lupa akan hujan yang begitu deras.
Sepanjang jalan aku tak menemui pengendara lain, mulutku tak henti komat-kamit beristigfar. Bulu kudukku terus meremang karena terus terbayang wajah kedua orang yang tadi ngobrol bersamaku.
Aku pun tidak tahu bagaimana prosesnya, aku sampai di rumah dalam keadaan lemas. Dengan terus beristigfar membuat keluarga panik.
Itulah pengalamanku. Dan aku baru tahu, bahwa pernah ada sepasang calon pengantin yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas tak jauh dari tempatku berteduh.
Di mana pun kalian berada, jangan lupa untuk tetap mengingat Tuhan. Karena aku sadar, bahwa dua mahluk yang menemaniku hilang, saat aku tak sengaja beristigfar.
Tamat
Iklan
Tag Terpopuler
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Test komentar
BalasHapus