Bagi anda yang suka hiking atau camping
ke gunung, bagaimana perasaan kalian ketika bisa sampai di puncak
gunung? Yupz, pastinya seru dan pemandangannya indah.
Tapi
sadarkah kalian? Ada sesuatu yang tak kasat mata sedang bersama anda di
tempat tersebut. Siapkah anda bertemu dengan mereka?
Ngomong-ngomong
tentang gunung. Kali ini aku ingin berbagi pengalaman seram, menakutkan
dan hampir melenyapkan nyawaku yang baru saja aku alami.
Karena pengalaman bertemu nenek tua di gunung artapela ini aku harus berhenti update blog PS ini untuk sementara dan harus melakukan beberapa terapi untuk menghilangkan trauma dan sisa-sisa gangguan gaib pada diriku.
Dua
minggu yang lalu aku bersama beberapa temanku mencoba untuk menjelajah
dan kemping di salah satu gunung yang terkenal dengan keindahannya.
Apakah
anda pernah mendengar nama gunung artapela? Yupz, salah satu gunung
yang sedang happening sebagai tempat hiking atau kemping favorit para
pecinta alam.
Mendengar testimoni
dari para pendaki tentang keindahan gunung artapela, aku dan beberapa
temanku pun segera berangkat menuju gunung artapela dengan modal nekat.
Singkat
cerita, kami telah sampai di kaki bukit artapela melalui jalur
pangalengan. Ketika itu kami sampai sekitar pukul 7 malam. Bermodalkan
GPS kami memulai perjalanan menapaki setiap jengkal jalur menanjak
menuju puncak bukit itu.
Kami
berjalan dalam suasana yang sangat gelap gulita bahkan cahaya bulan pun
seolah tak mau menyinari kami karena terhalang oleh rimbunnya pepohonan.
Hanya
bersandar pada cahaya senter, kami meraba-raba untuk sampai ke puncak
gunung. Dan ketika sedang menapaki jalur pendakian, tanpa sengaja
senterku menyorot seorang nenek tua yang sedang duduk di sebuah gubuk
reot.
Aku terpaku sejenak melihat nenek tua itu. wajahnya keriput namun menatap tajam padaku.
“Praakk! Jalan bro..” ujar temanku sembari menepuk bahuku.
“Itu ada nenek-nenek ngapain disitu” ujarku sambil menyorotnya dengan senter.
“Udah jangan ngomong sembarangan, ayo jalan!” ujar temanku yang ternyata tidak melihat siapapun di gubuk reot itu.
Aku melanjutkan perjalanannku menuju puncak bukit. Dan setelah kejadian itu, pendakian panjang kamipun dimulai.
Entah
mengapa langkah kami semakin berat, bahkan temanku pun tiba-tiba
mengalami sesak napas. Dan salah satu teman yang lain tiba-tiba tidak
kuat melangkah lagi dan merasa ingin pingsan.
Sekedar
informasi, gunung artapela merupakan gunung dengan ketinggian sekitar
2000 mdpl dan jalur pendakiannya sangat cocok bagi pendaki pemula.
Karena beberapa teman kami kecapean, maka di pertengahan jalan kami harus beristirahat sebentar untuk memulihkan tenaga.
Saat itu aku kebelet pipis dan segera mencari semak-semak. Beberapa temanku yang juga kebelet mengikutiku dari belakang.
Kami
pun mulai bersiap-siap dengan berdiri berderet untuk pipis setelah
menemukan tempat yang cocok. “Punten” ujarku dalam bahasa sunda yang
berarti permisi. Tiba-tiba aku mendengar suara “emmmm” tepat dari
sebelahku.
“ahh mungkin suara pohon yang terkena angin “ pikirku saat itu.
Setelah
selasai aku kembali berkata “nuhun” yang berarti terima kasih. Dan
lagi-lagi aku mendengar “Emmmm” seketika itu bulu kudukku mulai
merinding.
Aku berusaha merahasiakan
apa yang baru saja aku dengar dari teman-temanku. Sesegera mungkin aku
mengajak mereka melanjutkan perjuangan kami menuju puncak gunung
artapela.
Ketika
itu aku berjalan di depan memimpin teman-temanku. Jalan yang kami lalui
saat itu sangat menanjak dan gelap gulita sehingga memaksa aku untuk
menyorot senterku.
Tanpa sengaja aku
menyorot sesuatu di ujung jalan. Dalam cahaya yang remang-remang aku
melihat ada seseorang yang sedang duduk di ujung jalan sana.
“ayo bro, ada pendaki lain di depan!” kataku menyemangati teman-temanku yang sudah mandi keringat.
Setelah
sampai di lokasi tempat aku melihat pendaki tersebut, aku diam sejenak
mencari pendaki itu. barusan aku masih melihatnya duduk namun kini sudah
tidak ada.
Teman-temanku masih agak jauh dariku saat itu. aku coba mecari-cari di sekita tapi benar-benar tidak ada orang.
“Neangan saha sep (cari siapa nak)?” terdengar suara dari samping kiriku.
Reflek
aku menoleh sambil menyorot muka orang itu. seketika itu seluruh
darahku serasa naik hingga ubun-ubun kepala dan jantungku berhenti
berdetak. Ternyata nenek tua yang aku lihat pada gubuk reot di bawah
kini sudah ada di sampingku.
Matanya menyolot tajam padaku. Kulit wajahnya keriput tanpa terhias senyuman pada wajahnya yang sangat menyeramkan bagiku.
“Mana pendakinya? Tanya salah satu temanku yang baru saja sampai di lokasiku.
“Gak ada, aku salah lihat!” ujarku sambil menyembunyikan apa yang baru saja terjadi.
Wajahku
sangat pucat sekali dan kakiku gemetar lemas setelah melihat sosok
nenek tua itu. Dengan tekad bulat akhirnya kami melanjutkan perjalanan
tanpa ada gangguan berarti lagi.
Semua belum berakhir…
Kami
pun sampai di puncak sulibra yang merupakan bagian dari gunung
artapela. Kami segera mendirikan tenda serta tidak lupa bersyukur dan
menikmati malam itu bersama.
Kira-kira pukul 12 malam kami pun memutuskan untuk tidur. Kami semua tidur dalam satu tenda dan aku mendapat tempat di pinggir.
Ketika
sedang tidur, aku mendengar seperti ada yang jalan di samping tendaku.
Memang ada pendaki lain juga yang sedang kemping di tempat itu. Tapi
menurut anda, buat apa mereka iseng mengelilingi tenda kami?
Aku coba cuek dan mencoba menenggelamkan diriku dalam dinginnya suasana malam gunung artapela.
“Tong ngabala didieu! (jangan buang sampah sembarangan di sini)” terdengar suara yang berbicara padaku dari luar tenda.
Seketika
itu mataku melotot kaget. Aku sangat terganggu sekali dengan suara itu,
sepertinya suara itu tidak asing dan pernah aku dengar sebelumnya.
Oh iya! Aku inget, itu adalah suara nenek-nenek yang menyapaku saat perjalanan tadi.
Aku
segera keluar tenda dan mencoba memeriksa sekelilingku. Aku mencoba
menyorot senter ke berbagai tempat namun memang tidak ada siapa pun. Dan
keadaaan saat itu sangat sepi karena pendaki lain sudah bersembunyi di
balik tenda mereka masing-masing.
“Ah pipis dulu sebelum tidur lagi” ujarku dalam hati.
Aku
mencoba mencari semak-semak di sekitar lokasi kemping, kira-kira 50
meter aku berjalan aku menemukan lokasi untuk pipis yang cukup sepi.
“Punten!” ucapku.
“Mangga!” jawab seseorang dari sampingku.
Reflek aku menoleh dan ternyata nenek tua yang aku lihat di bawah tadi sedang berdiri di sampingku.
Kakiku
gemetar dan sulit digerakan, ingin sekali aku berteriak tetapi mulutku
terkunci rapat. Karena sulit untuk melangkah, aku menjatuhkan diri dan
mencoba untuk merayap meninggalkan nenek tua itu.
Mulutku benar-benar terkunci saat itu, tanpa bisa berbuat banyak aku pun menangis sambil berusaha meninggalkannya.
Perasaan
sudah merayap sejauh mungkin tapi ternyata aku hanya bergerak maju
beberapa langkah. Dan tiba-tiba nenek itu sudah berdiri di depan ku yang
sedang merayap.
“Bade kamana atuh sep? (mau kemana nak)” tanyanya.
Mendengar
ia bertanya padaku, aku hanya bisa menangis meraung-raung tanpa bisa
berbuat banyak. Aku sangat takut sekali hingga benar-benar emosi ingin
berteriak sekencang-kencangnya.
Namun
entah kenapa tiba-tiba badanku bertenaga kembali, segera aku bangkit
dan berlari menghindarinya. Aku berlari ke dalam tenda dan menutup
seluruh tubuhku dengan sleeping bag.
“kenapa bro?” tanya salah satu temanku.
Aku
tidak menjawabnya dan tidak peduli pertanyaan apapun. Aku sangat
ketakutan sekali saat itu, dan akupun masih menangis tanpa suara dalam
balutan sleeping bag itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar